menuju puncak bukit Funamnatef, aku menjumpai Kol ana.
Kepak sayap kirinya seperti memanggil-manggil, minta tolong
pundi-pundinya tak cukup kuat imbangi angin kepada peluru
dari senapan pemburu. Sayap kanannya patah, berdarah.
Kol ana kehilangan induk dan kawanan lainnya
ia selamat setelah beberapa kali prak prak prak.
Bersama Kol ana, aku kembali ke rumah
di kiri bahuku ada seikat kayu bakar, pesanan mama.
Dua hari aku rawat Kol ana
ia memang belum bisa melompat, kicau pun sesekali.
Memasuki hari ketiga aku kembali ke hutan kecil itu
jumpa beberapa sosok tak berwujud.
Aku memang sudah sering jumpa dalam tutur
di bawah pohon, di atas batu, di mata air bersama sosok-sosok itu.
Selalu, di setiap akhir jumpa itu kupinta
pada mereka: saling bertukar pantun.
Aku tulis pantun-pantun itu di isi kepala
lalu simpan di hati.
Dan...
Aku pulang ke rumah mendapati tiga keponakan
tengah mengunyah potongan-potongan tubuh Kol ana.
"Nenek bakar ko kami makan e!" jawab Funteme
keponakan sulung saat aku bertanya.