bukan elegi bertawar kabung galau
tapi tentang kejahilan yang menyisakan luka
pada gugur rimbun berbalut duka
Kemarin, adaku menjanjikan uap segar bayu
menyesak hampa kepak pundi dan batang paru
hingga lidah-lidah tiada menjulur layu
mengecap butiran embun di tengah kemarau
Kemarin, adaku siratkan mata air firdaus
kala seribu serabut menghisap tetesan surga
darinya dahaga membunuh haus
tiada ratap dan tetes air mata
Kini, air mata mengubang nanah
meratapi tetes akhir mata air sembah
sebab serabut-tunggang bahkan rimbunku dikepang
oleh jahilnya telapak tangan dusun dalam tebang
Tangis langit yang menjelmakan rintik hujan
kini tiada teduh, mewadah
segala telah direnggut badai serakah
menghempasku pada kehampaan
Tahukah mereka bahwa Tuhan memisahkan langit dan bumi
menyisakan ruang di kolong hampa
agar aku bebas berhembus ke empat penjuru mata angin
memberi nafas pada segala ciptaan?
Aku tengah merindukan rimbunku kemarin
adakah mereka merindukannya?
Kupang, 16/19
HETanouf