Aku tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Perasaanku campur aduk: senang, haru, sedih, sebal…
Semua ini gara-gara peristiwa semalam. Melalui artikel “Ndang Ndut Itu Aku!”, semula aku hanya ingin mengabari para kompasianer bahwa aku punya akun ganda. Akun bayanganku itu bernama “Ndang Ndut”. Aku jelaskan alasanku, mengapa aku membikin akun tersebut dan apa pertimbanganku membuka sendiri rahasia ini.
Reaksi yang ditunjukkan para pembaca sungguh jauh di luar dugaanku. Dengan amat narsis kuberitahukan, sebagian besar penggemar Ndang Ndut tak rela riwayat Ndang Ndut di Kompasiana berakhir. Sebagian meminta dengan halus bahkan memelas, sampai-sampai air mata mereka bercucuran di lapakku. Sebagian yang lain mendesak dengan keras, bahkan ada yang main paksa dengan mengancam akan membakar lapakku!
Sungguh, reaksi yang ditunjukkan para pembaca itu sangat mempengaruhiku. Semalaman aku nggak bisa tidur gara-gara memikirkan nasib Badut dan Rukmini. Harus kuapakan mahluk-mahluk imajiner itu kelak? Haruskah aku bunuh dalam kondisi segar-bugar dan menggemaskan seperti sekarang? Haruskah aku kubur hidup-hidup ketika banyak orang masih merindukan mereka?
Sebagai penulis, aku adalah tuhan dengan T kecil. Aku menciptakan tokoh-tokoh, menyediakan ruang untuk hidup, berkreasi, bicara, merayu, juga kentut. Haruskah kuakhiri sejarah tokoh-tokoh itu?
Awalnya aku berencana tetap membiarkan mereka, Badut dan Rukmini, hidup. Hanya, mereka akan kuungsikan ke tempat lain. Ternyata rencana ini mendapat pertentangan keras.
Berdasarkan jajak pendapat tak resmi yang aku gelar, banyak rakyat Kompasiana yang menghendaki Ndang Ndut tetap berada di bawah naungan Blog Kesatuan Republik Kompasiana (BKRK). Mereka tidak rela Ndang Ndut memisahkan diri, apalagi mendirikan negara sendiri.
Secara umum, suara-suara publik Kompasiana itu juga menuntut agar aku diberi otonomi lebih luas untuk mengelola dua akun. Kata mereka, banyak kompasianer yang punya akun lebih dari satu, tetapi mereka tidak berani berterus-terang.
Dengan segenap kenarsisan yang aku punya, berikut ini aku tunjukkan cuplikan suara publik yang menyayangi Ndang Ndut dan tak rela riwayat Ndang Ndut aku pungkasi. Aku mohon maaf banget, dari 250 lebih suara publik, hanya 19 yang aku tampilkan.
Ingin sekali aku memperpanjang tulisan ini, namun entah kenapa, rasa-rasanya aku tak sanggup lagi. Aku akan ke kamar, mengambil sapu tangan, karena.....
Hasiiinggg....!!! Aku pilek pembaca. Semoga tidak menular.
Salam hangat dari Badut dan Rukmini untuk Anda!
Menteng, 1 Desember 2010