Kursi Gubernur DKI Jakarta tidak cocok diduduki orang yang pendiam, canggung, apalagi gampang tunduk pada kemauan segelintir kelompok-berkepentingan (
interest group). Jakarta butuh pemimpin yang tegas, dan bila perlu, keras kepala. [caption id="attachment_176351" align="alignleft" width="203" caption="Bang Ali ketika dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh Bung Karno. (Foto:
http://ceritaindonesia.wordpress.com/)"][/caption] Pemimpin seperti itulah yang diidamkan
Founding Father kita, Bung Karno, ketika Jakarta carut-marut di akhir 1960-an. Kala itu, Jakarta masih merupakan Kampung Besar (
the big village) yang kumuh, pengangguran di mana-mana, dengan suhu politik yang mendidih, namun sedang giat-giatnya membangun. “Itu perlu dihadapi oleh orang yang sedikit keras, yang sedikit
koppig,” kata Bung Karno saat melantik Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 28 April 1966, sebagaimana terungkap dalam buku memoar “Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977” yang ditulis Ramadhan KH. Beruntung, Bung Karno menemukan Ali Sadikin, seorang marinir berpangkat Mayor Jenderal yang sebelumnya duduk di kabinet. Bang Ali—demikian warga Betawi memanggilnya—adalah gubernur yang nyaris tanpa kompromi. Ia tak segan menempeleng bawahannya yang bekerja asal-asalan. Gubernur yang lahir di Sumedang, 7 Juli 1927, ini juga tak gentar menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang menunggak pajak. Selain itu, karena kekurangan biaya, Bang Ali bahkan melegalkan judi--sebuah kebijakan yang kena hantam kanan-kiri tapi terbukti manjur. Dengan kebijakan-kebijakan yang kurang populis itu Bang Ali justru mampu membangun pendidikan, kebudayaan dan olah raga. Keberhasilan lain Bang Ali, berkat sifat
koppig-nya, ialah kondusifnya iklim perdagangan dan investasi. Ini tak lain akibat dibukanya kran kompetisi yang sehat antar pengusaha, disempitkannya peluang terjadinya pungutan liar, serta ‘kebersihan’ Bang Ali dan jajarannya menjalankan birokrasi. Meski pada era kepemimpinannnya proyek datang silih berganti, gubernur yang menjabat dua periode (1966-1977) ini tak pernah tersandung kasus korupsi. Bahkan hingga akhir hayatnya, 20 Mei 2008, Bang Ali tidak hidup dalam gelimang harta. Jauh berbeda dengan pengusaha-pengusaha yang dulu sering 'dibantunya' seperti Ciputra dan Ibnu Sutowo.
Koppig berasal dari bahasa Belanda yang berarti keras kepala. Bila diperluas cakupannya, tentu artinya tak sekedar itu. Pemimpin yang
koppig adalah pemimpin yang berkarakter kuat, punya visi yang jelas, berani dan tegas, serta tidak mudah tergoda untuk menyelewengkan kedudukannya. Di samping itu, seorang pemimpin bisa disebut
koppig bila ia merakyat dan terbuka terhadap kritik. Dengan jabaran seperti itu, Bang Ali adalah prototype yang nyaris ideal. Gubernur Jakarta sekarang semestinya mau meneladaninya. Namun sayang, di usianya yang ke-483, Jakarta justru dipimpin oleh gubernur yang jauh dari kesan
koppig. Fauzi Bowo berwajah sumringah dengan senyum merekah. Tiada seraut wajah dan sederet kalimat yang menunjukkan ia adalah gubernur yang tegas. Bahkan kumis, yang dulu dianggap sebagai lambang kegalak-galakan, nyaris tak memiliki wibawa ketika melintang di atas bibirnya. Pada musim kampanye lalu, Fauzi Bowo berteriak lantang akan memperbaiki tata ruang kota agar tidak makin semrawut. Ia juga berancang-ancang menindak tegas pemilik bangunan yang tak sesuai peruntukan lahan. Ia pun menjanjikan Jakarta bebas dari banjir. Tak hanya itu, ia juga akan membereskan persoalan sengketa tanah yang terjadi hampir di tiap sudut kota. Masalah urbanisasi juga akan ditanganinya dengan baik. Singkatnya, ia hendak menyembuhkan penyakit akut Jakarta seperti kemacetan, pengangguran, penggusuran dan kejahatan. Kini, janji sewaktu kampanye itu seperti menguap tiada bekas. Yang terhampar justru belantara masalah yang kian kompleks dan tak putus-putus. Saya teringat kata-kata politikus Nahdlatul Ulama asal Betawi, Mahbub Djunaidi, pada tahun 1970-an ketika menulis kolom mengenai kampanye. “Ini saat yang paling meriah, sarat janji dan sumpah, yang apabila segalanya terbukti, akan mengubah negeri ini menjadi semacam cerita dongeng!” tulis Mahbub Djunaidi. Memang gubernur yang
koppig belum tentu bisa mengubah Jakarta menjadi ‘propinsi dongeng’. Tapi, dengan keberanian dan keteguhan hati, ia bisa menjelma menjadi pemecah masalah yang luar biasa. Persoalannya: bisakah Fauzi Bowo menjelma menjadi gubernur yang
koppig? Jika tidak bisa, wajar bila ada orang yang beranda-andai Bang Ali bangkit dari kubur, lalu mempimpin Jakarta lagi dengan karakter
koppig-nya. Menteng, 25 Juni 2010
KEMBALI KE ARTIKEL