"Mak, nyapo sampeyan koyok ngene nang aku? Yen aku ra mbok pengeni lair, opo’o ra biyen-biyen aku mbok pateni mak. Tinimbang sampeyan akhire ra nggedhekne aku. Mesakke simbah. Saben dino nunggoki aku nang rumah sakit. Lah, sampeyan dhewe nandi mak? Mulai ceprot aku lair sampe gerang ngene, ra tau aku ngrasakke banyu susumu mak. Yen ditakoni wong-wong, mosok yo aku ngomong anake simbah? Tapi simbah dhewe ra pengen aku ketemu sampeyan mak. Simbah dhewe wis loro ati marang sampeyan mak."
Menurut cerita simbah, kelahiranku itu jadi bahan taruhan paman dan kakek dari pihak emak. Mereka ingin anak pertama harus laki-laki. Jika bukan laki-laki, mereka tidak mau mengakui sebagai ponakan ataupun cucu.
"Kok yo becik tenan nyowoku dipadhake dadu. Murah tenan aku iki yo? Luwih murah soko regane gedhang sak curung."
Tapi kalau bapakku sendiri orangnya pasrah. Laki perempuan, sama saja yang penting selamat dan sehat. Apa ini berpengaruh dengan yang namanya marga atau farm? Kutemukan surat kelahiranku yang ternyata fotocopian juga. NEU. Hanya itukah namaku? Hanya 3 huruf saja? Betapa pelitnya orangtuaku memberi nama. Yang jelas kutahu, sejak lahir aku sudah diasuh sama simbah. Waktu usia 5 bulan aku sempat dirawat di rumah sakit karena sakit panas tinggi. Tangan dan kakiku diikat disamping tempat tidur. Karena kalau tidak diikat, jari-jari tanganku bakal berdarah karena aku gigit-gigit terus. Tiap malam yang menjagaku cuma simbah. Emakku jarang datang. Mungkin memang benar, karena kalah taruhan, jadi aku dianggap ‘tiada’ oleh mereka. Lantas, kemana bapakku? Ternyata bapakku sudah pergi bersama wanita lain. Beruntung aku masih punya simbah dari bapak. Aku sadar, karena sakit hati simbahku kepada emak, akupun jadi ikutan benci sama emak. Kalau sudah seperti ini siapa yang berdosa dan siapa yang durhaka? Aku sendiri tak ingin temukan jawabnya. Berkali pula kucoba tanamkan rasa sayang pada emakku, tapi selalu saja ada tolakan dalam batinku. Aku tidak tahu, hati dan otakku sudah diracuni apa sama simbah, sampai aku tak mau mengakui kalau dia adalah emakku.
Prinsip simbah "Wong tuwomu kae yo sing nggedhekno kowe, nyekolahno, ngewei mangan kowe. Nglairno iku gampang. Wong nggawene penak kok. Akeh ibu ra nggenah nang ndunyo iki. Procot kerono kebobolan trus isin karo tonggo, dibuak. Suk, nggawe neh."
Pernah suatu kali aku ingin main ke emak yang rumahnya cuma saling berpunggungan tembok dengan rumah simbah, tapi simbah melarang.
Simbah bilang, "nyaopo awakmu dolan rono, sing ono paling yo ora direken."
Bahkan pernah terucap kalimat dari bibir emakku, "Aku gak duwe anak koyok kon yo gak pathe'en." Kalimat itu terucap belasan tahun silam, dan masih melekat dalam benak hingga kini.
Hingga aku beranjak SMA dan ayah meninggal, entah berapa tahun kemudian aku mendengar kabar emakku nikah lagi dan punya 3 anak. Aku masih tinggal bersama nenek dan bulikku.
Pernah disaat aku mudik dan bertandang ke rumah emak, dengan mudahnya emak bilang,"Emak ga mbok pikir gak popo. Tapi pikiren adik-adikmu iki lho."
Hello....adik-adik? Aku harus memikirkan ketiga adik tiriku dan dua adik kandungku? Sedangkan emakku sendiri tak pernah memikirkanku sedari kecil hingga aku dewasa?
Kalau boleh aku balik,"Pernahkah emak memikirkanku sedari kecil hingga dewasa begini?"
Kalau bukan simbah yang pontang-panting di RS, mungkin aku sudah bahagia di taman Tuhan sekarang.
Cukup lama kekecewaan ini kupendam. Berbelas tahun, bahkan berpuluh tahun. Pertanyaan yang seringkali hinggap, mengapa harus mengakui emak kandung yang tak pernah memikirkan, merawat dan membesarkanku?
Pun ketika aku memutuskan merantau, tak pernah emak menanyakan bagaimana kehidupanku di perantauan. Seolah tak peduli aku sehat atau tidak, sengsara atau tidak. Bahkan hingga kini emak tak pernah tahu jika di perantauan aku pernah ngamen di bus kota, tidur beralas koran beratap langit bersama para pengamen dan berpindah tidur di lapak pemulung. Kepahitan inipun kututup rapat, dan belum pernah kuceritakan juga pada simbah dan bulikku. Hingga 3 tahun silam, simbahku dipanggil Tuhan.
Setahun lalu, tepat di bulan Ramadhan, berhari-hari aku berpikir keras perihal emak. Entah dorongan energi darimana, lantas aku bulatkan niat untuk menelpon emak dan minta maaf. Meski aku tak tahu siapa yang salah. Atau mungkin memang tidak ada yang salah. Di tengah pembicaraan udara kita berdua, emak seolah menyalahkan simbah. Dan aku sempat tidak terima.
Ku bilang,"Emak gak oleh nyalahno simbah. Ngene-ngene, simbah sing nguripi aku. Emak ga eling ta biyen tau nawani aku busana muslim. Tak pikir emak kate ngekei aku, tibae aku sampeyan kongkon tuku. Kredit ping enem. Gelo rasane mak. Kok ono wong tuwo ngedol klambi nang anake dhewe."
Cukup panjang kita berdebat di udara, sekitar 2 jam. Hingga akhirnya isak tangisku dan emak mensenyapkan perdebatan itu. Apapun kondisinya, sepertinya hatiku terdorong untuk mengalah. Berkali-kali kuucapkan kata maaf dan mohon doa pada emakku. Setelah itu, hubunganku dan emak mulai membaik. Dan emak sesekali telpon bertanya kabar padaku. Meski sepeserpun dari kecil hingga dewasa aku tak pernah mendapatkannya dari emak, namun naluri didikan bulikku menuntunku untuk peduli pada emak.
Bulik pernah bertutu padaku,"Wis ta nduk, masio emakmu koyok ngono modele, ga usah dipikir nemen. Iku ben dadi urusane emakmu marang Gusti Allah. Saiki awakmu lek pas ono rejeki, sisihno pisan gawe emakmu. Anggep ae ngewangi gawe tuku beras. Itung-itung nabung gawe akherat."
Pitutur bulikku kujalankan. Setiap bulan, jika ada rejeki pasti kukirim juga buat emak. Tapi sayangnya, kenapa hal itu seolah jadi kewajiban ya? Sementara emakku tak pernah bertanya aku kerja apa, cukupkah rejekiku untuk biaya hidupku sendiri tiap bulan dan apakah aku selalu dapat rejeki lebih setiap bulannya. Tak pernah.
Ketika aku tak bisa mengirim padanya, emak lantas telpon dan meminta dengan alasan, "Adikmu sejak nikah, malah wis gak ngreken emak meneh. Wis jarang ngekei emak."
Sepertinya karakter lama emakku kambuh lagi. Karakter tangan di bawah, ketimbang diatas. Untungnya aku dididik almarhumah simbah dan bulikku malah kebalikannya.
Dulu waktu simbah masih hidup jika kuberi sedikit rejeki, malah bilang begini, "Walah...gayamu kathek ngekei barang. Sik cukup ta uripmu nang kono. Wis, simpenen maneh. Simbah gak butuh. Mendingan mbok tabung gawe bekal tuwekmu sesuk."
Setahun hubungan baik itupun jadi mulai retak lagi. Hingga aku memutuskan lebaran tahun ini belum ingin berkumpul bersamanya. Walau hari-hari terakhir Ramadhan, kusempatkan berkunjung ke rumah emak. Namun tetap saja suasana hati ini tak bisa dipungkiri, masih merasa hampa. Aku masih butuh waktu lagi untuk menetralisir hati ini. Meski aku tahu, pasti tetap akulah yang disalahkan. Karena setiap kali ku bertanya pada temanku, senjata pamungkasnya orang tua kandung selalu benar, bagaimanapun buruknya dia.
Kamar pecah, 6 Agustus 2013