Sebetulnya, bukan masalah pujian turis yang kita butuhkan. Kita butuh sifat-sifat itu semata-mata untuk kepentingan hidup kita sendiri di negeri ini. Itu pertama. Kalaupun nanti ada orang lain yang memuji dan bersimpati, itu nilai plus.
Nah, sekarang yang terjadi, di tengah-tengah masyarakat kita tersebar banyak kerusakan. Baik adab, moral, akhlak sampai kerusakan akidah. Di selebaran sederhana ini, The Kanzun College sekedar akan menampilkan kutipan tulisan dari www.eramuslim.com yang terbit pada 14 Mei 2008. Sudah cukup lama memang, tapi, mungkin belum banyak pula di antara kita yang telah membacanya.
Tulisan tentang budaya Jepang ini, kiranya bisa menjadi inspirasi sekaligus bahan introspeksi dan mampu menggugah kembali semangat kita untuk berbenah diri sehingga menghadirkan wajah baru muslim, berbeda dengan yang kini tampak kurang peduli dengan ajaran-ajaran agamanya. Mari kita simak bersama pelajaran-pelajaran berharga dari budaya masyarakat Jepang.
***
Beberapa Pelajaran dari Jepang
Perjalanan dakwah ke Jepang memberikan beberapa pelajaran berharga yang bermanfaat, serta memberikan ‘ibrah yang dapat membuka wawasan baru, sesuatu yang sangat penting buat bangsa kita untuk dapat berubah secara mental.
Disiplin Waktu
Menghargai waktu sudah jadi bagian akidah dasar orang Jepang. Di Jepang, waktu tidak lagi diukur dengan ukuran bulan, minggu atau hari, tapi berdasarkan ukuran jam dan menit. Ketika naik Shinkansen, panitia hanya memberi bekal waktu saja.”Pokoknya ustadz lihat jam saja. Begitu jam yang tertera di tiket itu sudah tiba, kereta pasti berhenti dan stasiunnya pasti benar”, begitu pesan mereka.
Dan benar saja, tepat pada waktunya, kereta memang berhenti. Tidak tahu stasiun ini apa namanya, pokoknya kereta berhenti pada jadwal di mana kami harus turun. Ya, sudah, turun saja. Dan benar sekali. Pas di pintu gerbong, panitia sudah menunggu. Hebat, jam di Jepang memang dibuat dari logam, tidak seperti di negeri kita, jam rata-rata dibuat dari karet, jadi bisa ditarik melar ke sana kemari.
Jalan Kaki atau Naik Sepeda
Mau bergaya naik mobil pribadi di Jepang? Boleh-boleh saja. Tapi sebentar, di Tokyo jarang ada tempat parkir. Kalau pun ada, harganya mahal. Dan jangan coba-coba parkir sembarangan, atau melebihi batas maksimal waktu yang dibolehkan. Bisa-bisa mobil kita ditempeli surat oleh polisi.
Mau tahu dendanya? Ya, sekitar 1,2 jutaan rupiah. Wah, lumayan juga ya. Itulah mengapa kita harus berpikir berkali-kali kalau mau beli mobil di Tokyo. Apalagi sudah ada subway yang jauh lebih murah, dinamis dan juga bisa mengkases semua wilayah di Tokyo.
Walhasil, apakah dia pejabat, direktur atau pun tukang sapu, kita lihat mereka pergi ke mana-mana jalan kaki atau naik subway. Tidak ada perbedaan apakah mereka kaya ataukah miskin, semua sama-sama antri, semua sama-sama berbagi di dalam kereta subway yang penuh sesat, tapi aman dan nyaman.
Justru buat kami sedikit problem, karena tidak biasa olahraga walau pun hanya jalan kaki. Melihat orang ke mana-mana jalan kaki, kayaknya orang Jepang itu tidak ada capeknya. Sementara kaki ini sudah lecet karena dibawa jalan kaki ke mana-mana. Dan jangan coba-coba cari tukang ojek di Tokyo, ditanggung tidak ada.
Wah untung tidak ada Zaenal Abidin, kalau dia ada pasti dibilang peluang bisnis tuh. Dibuka: peluang jadi tukang ojek di Tokyo.
Di Tokyo dan juga kota-kota lain di Jepang, jalan-jalan disediakan buat para pejalan kaki dan juga mereka yang bersepeda. Nah, khusus untuk bersepeda, memang terasa sangat nyaman. Kita tidak takut kesenggol mobil atau kendaraan bermotor lain. Karena telah dibuatkan jalan khusus.
Sudah irit tanpa bahan bakar bensin, juga badan jadi sehat. Sudah lazim di berbagai gedung terdapat parkir sepeda. Mulai dari orang kecil sampai orang besar, mereka biasa bersepeda.
Tidak Mau Mengambil Yang Bukan Haknya
Masyarakat Jepang mempunyai kebiasaan baik, yaitu melaporkan kepada polisi bila menemukan barang temuan atau barang hilang.
Heran, ini bukan negara Islam, tidak pernah berjargon syariah. Tapi implementasi syariah ternyata ada juga di Jepang. Yah, walau pun kita juga tidak bisa langsung bilang bahwa Jepang itu Islam. Sebab yang mabok juga banyak. Yang kumpul kebo juga tidak kurang.
Tapi urusan keamanan dan kejujuran, bisa diuji. Kalau ada orang kehilangan dompet di tempat umum, 90 – 100% kemungkinan dompet itu akan kembali kepada kita. Terutama bila ada kartu nama atau ID cardnya.
Mungkin karena sudah ditanamkan jujur sejak masih SD, tapi dipikir-pikir enggak juga ya. Di negeri kita, penanaman akhlaq dan budi pekerti serta kejujuran juga tidak kurang. Tapi herannya, kalau kita kehilangan dompet, meski sering juga kembali, tapi duitnya biasanya sudah raib.
Nah, bedanya dengan di Jepang, dompet itu kembali sendiri, masih lengkap dengan isinya, tidak kurang sedikit pun. Kita cukup lapor saja ke pos polisi terdekat. Biasanya, dompet itu malah sudah ada di kantor polisi itu. Ada orang jujur yang mau mengembalikan dompet itu ‘apa adanya’.
Pengalaman dulu isteri di Jakarta kehilangan dompet, fungsinya laporan ke polisi hanya sekedar dapat surat keterangan kehilangan. “Lha wong saya saja kehilangan motor, pak”, begitu kata polisinya. “Makanya hati-hati kalau bawa dompet, bu”, tambah pak polisi.
Iya ya, ngapain lapor polisi, kalau polisinya saja kehilangan motor. Lalu bagaimana beliau-beliau mau nyari dompet kita? Waduh, memang serba salah hidup di negara kita sendiri.
ngat menghargai kesenyapan, jauh dari kebisingan. Jarang kami dapati orang Jepang ngobrol tertawa-tawa di tempat umum, hingga mengganggu orang lain.
Ketika kami masuk ke sebuah warung makan Pakistan, barulah aroma berisik ngobrol terasa, karena ada beberapa orang Pakistan yang lagi makan. Mereka bisa sambD
Senyap, Hobi Baca Sedikit Ngobrol
Salah satu kebiasaan masyarakat di Jepang yang kami perhatikan adalah mereka sil makan sambil ngobrol dan berisik. Sesuatu yang tidak terjadi pada orang Jepang.
Satu hal lagi yang juga tidak luput dari pengamatan kami, orang Jepang ini rata-rata pada hobi membaca. Di semua tempat, termasuk di dalam subway, mereka selalu pegang bacaan, entah buku atau pun koran. Atau kalau tidak, mereka sibuk menunduk memencet-mencet tombol HP. Tapi tidak bertelepon, mungkin lagi SMS atau malah membaca e-book.
Pemandangan ini agak berbeda dengan di negeri kita. Di dalam bus kota, kebisingan sangat kentara. Belum kondektur yang teriak-teriak, orang-orang yang ngobrol ngalor ngidul ke sana kemari. Bahkan masih diberisiki lagi dengan tukang ngamen yang tidak pernah ada hentinya.
Kebisingan sudah jadi bagian dari akidah hidup kita rupanya. Sesuatu yang kita tidak temukan di tempat umum di Tokyo. Masing-masing saling menjaga hak privasi orang lain, terutama dalam masalah kebisingan.
Menghargai Tenaga Manusia
Di Jepang, hampir semua tenaga kerja dibayar mahal. Pak Endrianto mengatakan bahwa kalau mau saja, seseorang boleh bekerja part-time dan dibayar dengan upah yang bisa buat berlibur ke pulau Bali.
“Oh, jadi turis-turis Jepang yang rajin ke Bali itu, boleh jadi di Jepang cuma tukang sampah atau cleaning service, ya?”, tanya kami. “Benar sekali, apalagi Garuda punya harga yang sangat menarik, maka penerbangan Tokyo Denpasar cukup diminati”, jawab beliau. “Dan cukup dari upah kerja kasar saja”, tambahnya.
Yang menarik, perbedaan nilai gaji pegawai rendahan atau kuli bangunan dengan pejabat tinggi tidak terlalu terpaut jauh. Sehingga jarang terjadi demo buruh di negeri ini. Semua kebutuhan buruh terpenuhi dengan cukup.
Wah, berarti kalau bikin partai yang mengusung agenda membela wong cilik, bisa-bisa tidak laku nih di Jepang. Sebab boleh dibilang tidak ada wong cilik di Jepang. Yang ada hanyalah wong cilik tapi bergaji gede. Maka sudah tidak lagi disebut wong cilik.
Budaya Malu
Orang punya budaya malu yang tinggi. Dan positifnya, kalau ada pejabat yang gagal dalam memegang amanah, tidak segan-segan mereka mengundurkan diri. Rasa malu mereka itulah yang mendorong mereka mundur.
Bagaimana dengan Indonesia? Adakah budaya malu yang sampai membuat seorang pejabat mundur dari jabatannya?
Entahlah kalau kita buka-buka sejarah. Tapi sekarang ini nyaris tidak ada. Bagaimana mau mundur, lha wong jabatan itu didapat dengan susah payah ditambah susah tidur, kok mundur?
Nanti penyandang dana kecewa. Sebab rata-rata para pejabat di negeri kita ini didanai oleh para penyandang dana alias supporter, ketika pilkada atau pemilu. Kalau hanya karena kegagalan lalu mengundurkan diri, sementara uang jarahan belum memenuhi pundi-pundi, bisa-bisa para cukongnya marah.
Jadi budaya malu lalu mengundurkan diri tidak sesuai dengan prinsip ekonomi yang berakidah: mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Dan jabatan adalah sumber penghasilan, tidak ada kamus malu. Yang ada hanya satu, maju terus menghadapi semua rintahan. Maju tak gentar membela yang bayar. Hehehe, sangat Indonesiawi.
Salam dan Sapaan
Mengucapkan salam adalah salah satu ciri masyarakat Jepang. Bahkan termasuk juga ciri polisi Jepang. Tidak jarang polisi lah yang lebih dulu menyapa anggota masyarakat.
Beda banget dengan di negara kita. Semua pengendara kendaraan bermotor kalau lihat polisi kumpul di pinggir jalan, pasti berdesir darahnya. Sebab polisi di negeri kita identik dengan ‘masalah’. Sudah tampangnya serem, eh suka minta duit pula.
Di Jepang, perilaku suka menyapa dengan ramah ini berdampak positif pada citra profesi kepolisian. Menyapa atau mengucapkan salam sudah ditanamkan sejak dini pula, sewaktu mereka menjalani pendidikan. Siswa calon polisi dilatih untuk secara terjadwal berjaga di pos pada saat-saat jam sibuk, yaitu pagi, siang dan sore hari. Mereka diwajibkan menyapa setiap warga yang lewat di depan pos tersebut.
Kalau di Indonesia, seandainya ada polisi menyapa kita di jalan, pasti kita sudah bilang, “Pak s..ss..ssaya salah apa pah, ah..eh..anu…bbbuu bukan saya malingnya, p..pak.” Suka tidak suka, memang begitulah yang terjadi di negeri kita. Sudah terlanjur kita ketakutan duluan lihat polisi. Gawat.
Jangan-jangan salah satu kegagalan pak Adang Daradjatun dalam pilkada Jakarta justru karena sulit mengubah citra pak polisi ini. Di tengah masyarakat kita ini, citra polisi nyatanya memang masih terlalu berat untuk diangkat. Buktinya, pak Adang kalah dan tidak terpilih. Jangan-jangan orang masih trauma dengan sosok polisi kita.
Selalu Minta Maaf dan Terima Kasih
Kalau sering lihat film-film ninja, kesan bahwa orang Jepang itu angker, angkuh, dingin dan kasar memang bisa terbentuk. Padahal sebetulnya orang Jepang itu tentu tidak semuanya ninja.
Yang kami dapati malah sebaliknya, orang Jepang justru sangat ramah dan kalau terjadi apa-apa, mereka lebih dahulu minta maaf.
Contoh sederhana, kalau di jalan kita tersenggol dengan sesama pejalan kaki, maka spontan akan meluncur dari mulut mereka permintaan maaf. Meski pun bukan kesalahan mereka: suimasen…suimasen (maaf…maaf…).
Kalimat lain yang paling sering kami dengar adalah ucapan terima kasih. Kalau tidak salah dengar mereka mengucapkan arigato gozaimasu (betul nggak ya tulisannya?). Tapi percayalah, itulah kalimat yang paling sering kami dengar selama beberapa hari di Jepang.
Pramugari di Sinkansen itu kalau memeriksa tiket, membungkuknya sangat dalam, bahkan ketika menyerahkan tiket yang sudah mereka periksa, bukan hanya membungkuk, tapi kakinya pun mereka tekuk, seperti orang mau berjongkok. Wah, ini sih lebih sopan dari puteri-puteri Keraton di Yogya dan Solo.
Tertib Ketika Antri
Namanya kota besar, pasti semua harus antri. Tapi yang menarik dari antrian yang di Jepang, semua berjalan dengan tertib. Tidak ada saling sodok, saling sikut dan saling dorong.
Termasuk saat antri masuk ke subway. Meski sudah sangat padat dan petugas terpaksa harus mendorong penumpang biar bisa masuk ke dalam gerbong, tapi yang belum kebagian tetap rela antri dengan manis.
Kesabaran orang Jepang dalam hal antri ini jarang kita temui di negeri kita. Bisa-bisanya mereka berdiri berjejer rapi, meski tidak ada pembatas. Mungkin sudah ‘bawaan orok’ kali ya.
***
Sekian, mudah-mudahan bermanfaat. Kata pepatah, perjalanan seribu mil dimulai dari langkah secuil. Kalau mau berubah menjadi lebih baik, mari mulai dari sekarang, dari diri kita sendiri, dari yang terkecil. “Penny by penny, becomes many,” kata anak-anak Inggris. “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit,” kata anak-anak Indonesia.