Toxic positivity seringkali disamarkan dengan optimisme yang sehat. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Jika optimisme adalah sikap melihat sisi baik dari suatu situasi, toxic positivity adalah upaya untuk menekan emosi negatif dan memaksakan pandangan positif yang tidak realistis.
Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa toxic positivity dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental individu, terutama generasi muda. Ketika individu merasa tertekan untuk selalu bahagia dan menyembunyikan perasaan negatif, mereka dapat mengalami berbagai masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, dan isolasi sosial.
Pernahkah kamu melihat unggahan di media sosial yang berbunyi, "Semua akan baik-baik saja" atau "Bersyukurlah atas apa yang kamu miliki"? Ungkapan-ungkapan seperti ini, meskipun dimaksudkan untuk memberikan semangat, justru dapat membuat individu yang sedang berjuang merasa tidak valid dan sendirian.
Seorang psikolog klinis mengatakan, "Toxic positivity menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi individu untuk mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya. Ketika kita terus-menerus ditekan untuk merasa bahagia, kita kehilangan kemampuan untuk mengelola emosi negatif secara sehat."
Toxic positivity, jika dibiarkan terus-menerus, dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental generasi muda. Beberapa dampak yang paling umum di antaranya:
1. Penurunan Harga Diri