Sebagai pengamat dan praktisi Pemilu dan Pilkada kami; Yanda Zaihifini Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah mengawal keberadaan substansi formil dan material dari PerpuNo, 1 tahun 2014, UU No. 1 tahun 2015 dan UU No. 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Menurut kami tujuan yang baik seperti format Pilkada langsung, proses pembuatan dan isi materi undang-undangnya harus juga baik. Jangan sampai format Pilkada langsung seolah menjadi hadiah bagi rakyat Indonesia, tetapi ternyata justru menjadi bencana. Materi UU Pilkada yang mengabaikan dimasukkannya ancaman pidana dan denda terhadap pelaku politik uang dan jual beli suara partai, justru akan menyebabkan ketegangan sosial di masyarakat. Undang-Undang seolah merestui dan melegalkan tindakan politik uang dan jual beli suara partai politik.
Keberadaan UU Pilkada ini memungkinkan pelaku politik uang bebas memberikan uang kepada pemilih agar pemilih memilih pasangan calon tertentu. Disisi lain partai politik dapat menjadikan Pilkada sebagai ajang politik transaksional untuk mendukung Pasangan Calon Tertentu. Institusi penegak hukum menjadi lumpuh dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kondisi yang tidak demokratis tersebut. Bahkan potensi konflik horizontal baik antar pendukung pasangan calon dan masyarakat karena Pilkada akan bertambah marak. Lalu, apakah kita akan tetap berpuas diri dengan dimunculkannya hadiah Pilkada langsung dalam UU No. 1 tahun 2015 dan kemudian revisinya UU No. 8 tahun 2015, padahal ketentuan di dalamnya sangat tidak demokratis? Tentu saja kita tidak boleh berpuas diri selama UU Pilkada secara formil dan material merusak prinsip-prinsip tatanan demokrasi.
Awal dari tidak demokratisnya UU No. 1 tahun 2015 dan UU No. 8 tahun 2015 berawal dari terbitnya Perpu No. 1 tahun 2014 yang tergesa-gesa. Namun semua pihak seperti DPR dan Presiden seakan tutup mata dengan aturan yang tidak demokratis tersebut dengan memberikan persetujuan untuk menjadi UU No 1 Thn 2015 dan tidak ada upaya untuk menolak aturan yang tidak demokratis tersebut. Justru DPR mengambil sikap untuk menyetujui dengan catatan akan memperbaiki setelah disetujui. Namun pada akhirnya proses perbaikan di DPR tidak memperbaiki aturan yang tidak demokratis tersebut.
Kami sebagai pemohon sejak awal sudah mengajukan pengujian Perpu No. 1 tahun 2014 di MK dengan nomor register 119/PUU-XII/2014 dan mengingatkan kepada wakil pemerintah yang hadir di persidangan terhadap aturan yang tidak demokratis ini. Namun dikarenakan proses persetujuan di DPR mendahului proses di Mahkamah Konstitusi sehingga gugatan kami dinyatakan tidak dapat diterima karena kehilangan obyek.
Perjuangan untuk melawan aturan yang tidak demokratis tidak berhenti dengan tidak diterimanya perkara Nomor 119/PUU-XII/2014. Penggugat memasukkan kembali uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No.1 Thn 2014 menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dengan nomor perkara 26/PUU-XIII/2015 dan 51/PUU-XIII/2015.
Untuk diketahui Pasal 73 UU No.1 Thn 2015 menegaskan adanya larangan politik uang namun pengenaan sanksi terhadap kejahatan politik uang tidak dapat dilakukan. Mengingat diskualifikasi pasangan calon menurut pasal 73 tersebut harus didahului dengan adanya Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pengadilan tidak dapat menjatuhkan putusan pengadilan dikarenakan ketiadaan sanksi pidana. Sehingga sanksi diskulasifikasi terhadap pasangan calon dan pelaku politik uang tidak dapat dilakukan.
Selain tidak adanya sanksi politik uang, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 juga tidak mengatur sanksi bagi jual beli dukungan partai politik. Sama seperti politik uang, penjatuhan sanksi jual beli dukungan partai politik harus didahului putusan pengadilan sedangkan tidak ada materi sanksi yang dapat digunakan untuk menjatuhkan putusan pengadilan. Tentu saja masih banyak cacat materil yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Proses revisi yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 ternyata tidak memperbaiki ketentuan-ketentuan yang tidak demokratis didalamnya. Revisi yang dilakukan hanya menambahkan frasa kata “wakil gubernur”, “wakil bupati”, dan “wakil walikota”. DPR dan Pemerintah telah gagal dalam menciptakan Pilkada langsung yang demokratis.
Penggunaan Pasal 149 KUHP pun tidak dapat menjerat politik uang dikarenakan politik uang di dalam KUHP hanya 2 unsur yakni “agar pemilih tidak menggunakan hak pilih” dan “agar pemilih menggunakan hak pilih dengan cara tertentu”. Pasal 149 KUHP tidak mengenal unsur “agar memilih pasangan calon tertentu”. Padahal politik uang di Indonesia ditujukan agar memilih pasangan calon tertentu.
Beberapa Putusan Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah yang diputus Mahkamah Konstitusi seperti putusan terhadap Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Mandailing Natal sudah menyatakan bahwa Politik uang dan jual beli dukungan partai politik merupakan kejahatan yang merusak sendi-sendi demokrasi. Pasangan calon yang menang dalam Pilkada Langsung yang akan berlangsung bisa dipastikan hanya mereka yang punya uang, modal, dan kekuasaan saja.
Keberadaan UU No. 1 Tahun 2015 dan UU No. 8 tahun 2015 yang tidak demokratis terus kami tuntut untuk dibatalkan secara materiil dan formil. Gugatan sudah diajukan dan diregistrasi di MK dengan Nomor Gugatan 26/PUU-XIII/2015 dan Nomor Gugatan 51/PUU-XIII/2015. Pemohon berharap Mahkamah Konstitusi menegakkan keadilan subtantif dengan berani memutus untuk membatalkan ketentuan yang tidak demokratis tersebut. Tentu saja pemohon tidak bisa berjalan sendiri melainkan butuh dukungan masyarakat luas, Apakah kita sebagai rakyat akan berdiam diri terhadap ketentuan yang tidak demokratis tersebut? Saatnya bersatu melawan aturan Pilkada Langsung yang tidak demokratis.