Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Bukan Dia, Romeomu

11 Agustus 2024   23:21 Diperbarui: 11 Agustus 2024   23:24 38 1
Nama Pena: Heri Haliling
Nama Asli: Heri Surahman

Bukan Dia, Romeomu

      Ujung kota metropolitan bercadar malam dengan untaian warna warni lampu jalanan. Seorang gadis dengan umur 21, berkaos putih dengan  rambut hitam lurus berlari menghimpit dinding gang berharap temukan celah pelarian.
Di belakangnya beberapa bunyi motor protol dengan angkuh knalpotnya memandang gadis itu  sebagai buruan.
      Dago pemimpin geng motor The Kill memajukan diri tatkala melihat gadis itu tersandung kerikil dan jatuh.
"Mau apa Dago!!! Jngan kurang ajar!" ucap si gadis sambil memegang salah satu lutunya yang tergores.
      Dago merupakan pemuda berperwakan hitam besar. Sebuah luka bekas sajam menyayat pergelengan otot lehernya.
"Ikut denganku Mira. Temani aku. Kau milikku."
"Haaa..kocak!"  Mira bergopoh-gopoh hendak berdiri. Sebuah tiang lampu ia genggam.
Mira memandang jijik ke Dago dan anak buahnya.
"Cuh!!! Kumuh" ludah Mira.
Tepat kena wajah Dago. Wajahnya bergetar merah.
"Jangan kau turun tangan, Dago. Cukup kami saja" kata seorang lain dengan rambut mohak penuh tindikan maju. "Bukan kau yang terhina gadis sundal ini. Tapi kami!"
"Jangan kau lukai dia, Balat!.Biar saja" cegah Dago merentangkan tangan kirinya.
"Tapi Dago. Dia sudah mengh.."
     Plakkk!!!! Sebuah tamparan melesak ke pipi Dago. Matanya membelalak.  Bibirnya berdarah.
"Mampus kau!" umpat Mira puas dan tertawa. Kelemahan itu dia mnfaatkan dengan baik.
Bagai patung Dago hanya memandang Mira dengan tajam. Dago lalu berbalik disusul tiga temanya yang bergerak maju. Mira ditangkap.
*
Sudah seharian, Demian menunggu chat balasan Mira. Di pinggir teras kontrakan yang cukup elite  itu Demian memandang akuariumnya.
"Belum datang, Dem" Kata Anjar, sang kakak.
       Demian tak menjawab. Hanya tatapan murung yang tergambar.  Jujur ekpresi itu mengacaukan karismanya. Wajah putih, berhidung mancung, dengan alis tebal khas arab seketika luntur.
"Aku akan menelpon pihak kepolisian" tukas Anjar.
" Tak bisa. Sudah ku lakukan. Belum 2x 24 jam"
Mata kuyu Demian memandang pilu ke sang kakak. Astaga, sebentar lagi dia pasti menangis.
*
Dua geng motor masing masing beranggotakan puluhan orang sedang balapan membelah jalanan dan memekikkan percik api dari dentuman mesin dan gesekan standar.
Suaranya begitu riuh menemani sang kelam. Setiap detik, di sirkuit atau medan balap liar itu malaikat maut selalu siaga dengan sabit besarnya.
Saat sedang bersiap. Balat dari The Kill memacu gas dan mengacak kopling. Raung piston model terbaru ia bunyikan untuk menggeretak pesaing lain. Pesaing sebelah kanannya tak hendak kalah. Dia buka helm dan lampu motor menyorot garang dari siluet bayang di permukaan trotoar.  Pria itu ternyata Anjar. Tubuhnya tegap dan jaket levis biru yang ia kenakan seakan meledakkan hati kaum hawa di sekitarnya. Tak ayal semua sorak sorai mendukung Anjar sebagai ketua dan perwakilan geng Taurus. Puas dengan saling gretak keduanya mulai memacu saat seorang gadis cantik mengibas kibaskan bendera balap.
      Dua motor petarung bermesin turbo itu melesat lalu meliuk bagai kilat menyambar bumi. Setiap satu putaran penonton bersorai. Makin dekat lap finish, sorak sorai kian menggila. Setelah pertarungan yang begitu sengit akhirnya Balat menjadi juaranya.
Balat dengan mata belong memutari sekitar dengan pandangnya. Mana Dago, pikirnya. Kemenangan ini telah selayaknya memperoleh pengakuan. Usai bergumul dengan puluhan orang dan berdesak desakan akhirnya Balat tak bertemu Dago.
     Ah sudahlah. Tak berpikir panjang, Balat dan kelompoknya segera memutuskan  menggunakan uang taruhan dari hasil balapan untuk membeli miras dan garam inggris yang akan membuat mereka oleng.
*
"Apa aku membuatmu, takut? Jika iya aku minta maaf" Kata Dago yang hanya memperhatikan bagian belakang Mira. Di sini, di entah tempat macam apa. Yang jelas bagi Mira, tempat ini terlalu asing. Di balik jendela kamar yang sekarang Mira tatap hanya gerumulan tanaman liar bercampur semak belukar.
     "Aku belikan kau makan malam. Ku taruh di meja ini"
Mira masih memperhatikan lingkungan liar itu . Gilanya dia lakukan itu hampir seharian. Dia lelah. Berontakpun percuma. Habis telah ia tumpahkan dari pagi tadi. Dia tak merespon  Dago. Terlalu tidak masuk akal bagi dirinya untuk tinggal terkurung di sini.
"Jangan terlalu kau pandang. Sudah ku bilang, di luar itu hutan. Lebih aman di sini. Vila ini cukup jauh dari jalan utama. Melintas ke sana sendirian atau jalan kaki hanya akan menjadi daging empuk beruang atau macan."
Tangan Mira meremat jengkel. Tahan. Tahan. Tak perlu kau respon bedebah ini Mira. Tetap berpikiran positif, batin Mira.
"Apakah malam ini kau sudah menerima cintaku?" tanya Dago lagi.
      Mira menggeleng -geleng muak. Sama seperti sejak  awal dia sampai di sini. Momentum dari pertanyaan terkutuk itu adalah berdesak desakannya kata di mulut.  Sialan! Jika ia tak hamburkan, malah membuat kerongkongannya menjadi sakit. Dago berhasil mencuri respon Mira melalui kalimat terkutuknya.
Dengan posisi masih membelakangi; sambil ia gigit bibirnya karena kesal, Mira membalas:
     "Kau masih ingin tahu jawabannya?? ujar Mira. Kali ini dia membalik. Dari yang ia lihat, Dago tengah duduk di sebuah kursi usang.
    Dago menatap Mira tanpa hawa melukai. Sementara Mira ingin Dago tahu apa yang ia rasakan.
   "Dengar pemuda hutan!  Tak mungkin aku mencintai binatang, ngerti?"
Dago segera berdiri. Mira merapatkan diri ke dinding. Hati Mira cemas sama seperti lalu lalu. Tapi segera ia pendam dalam dalam saat sebuah kalimat datar meluncur dari mulut Dago.
     "Oke, kalau begitu. Aku keluar. Nikmati makanan agar kau tak sakit. Jangan buat orang tuamu susah dan.."
"Kau yang buat mereka susah!"
     "Ya ya ya, itulah. Terserah kau saja..Selamat malam"
     Dago keluar dari kamar. Bunyi klek pintu terkunci mengakhiri dialog malam itu.
*
"Sudah sebulan, Bang. Bahkan pihak berwajib pun tak ketemu mencarinya. Tuhan?? Sudah hampir gila orang tuanya!" Kata Demian mencengkram kepala dengan kedua tangannya. Dia lalu lalang  dan gelisah akut.
"Teman temannya bagaimana? Apa kau sudah tanya?"
Semuanya menggeleng. Benar benar sial.
      "Aku dan kelompokku pun terus mencari. Namun tetap nihil" tukas Anjar.
Di tempat lain Balat dan anggota kelompoknya mulai mengamati bahwa sang ketua tampak kendur dan kehilangan wibawanya. Di sebuah ruangan tempat Mira disekap, bahkan Balat melihat ketua yang diseganinya itu sudah mirip jongos.
"Tak tahan lagi aku dengan ini!" teriak Balat sambil mengacungkan belati ke arah Mira. Balat begitu marah melihat pemandangan di depannya. Menjijikkan. Dago tampak membersihkan tempat tidur Mira.
"Hentikan Balat!!" Dago memasang dada.
"Hei sadar kau! " tunjuk Balat. "Kau pimpinan geng ini. Sekarang kau jadi babu!  Hina sekali bagiku Dago. Akulah yang malu! Jika kau tak ingin ku benamkan pisau ini ke jantungnya maka segera kembalikan saja dia! Minta tebusan sesuai alasanmu dulu menculiknya!"
"Jangan ingatkan itu Balat" seru Dago.
   "Dago!! benar kata Balat. Kembalikan aku. Apa yang kau tunggu dan mau dariku" Mira mulai memanfaatkan momen ketidaksepahaman ini.
"Sudah puluhan kali ku katakan aku tak menyukaimu. Tak sedikitpun! Hanya Demian yang ada di hatiku. Kau paham.."  Mira mendekatkan matanya dan menatap tajam ke mata Dago. " Kami telah bercinta. Dan..ya. Hanya Demian" Mira mengangguk congkak lalu mendelikkan mata " Dia lebih pantas daripada kau!"
Balat langsung hilang kontrol. Ia angkat sangkurnya tinggi tinggi sambil berlari ke arah Mira.
     "Beraninya kau, sundal!!!!"
Mira teriak tak sempat mengelak.
     Setsestset!!! Tiba tiba Balat tersungkur akibat jegalan dan bantingan yang cepat dari Dago.
    "Diam di situ Balat! Ku mohon. Jangan ceroboh lgi" bentak Dago.
Anggota lain hanya bisa bingung menyaksikan hal itu tanpa bisa berbuat apa apa.
Balat berdiri. Dia menatap Dago. Antara sedih marah dan malu campur menjadi satu. Dia melihat bahu kanan Dago berdarah tergores sangkurnya. Cukup dalam tampaknya karena membuat napas Dago naik turun.
"Kawanku! Aku coba angkat martabatmu.." ucap Balat tak lantang tapi dalam dan serius. Ini bukan kebiasannya yang ceplas ceplos dan emosian. "Tapi kau malah hinakan dirimu sendiri. Aku kenal kau. Kau bukan pemuda yang tak tergilai wanita. Kau dipuja sebagai ketua dan pemenang setiap lomba balap! Apa istimewa Dia!" tunjuk Mira.
Balat berjalan pelan mendekat. Ia buka  kedua tangannya sebagai tanda ikatan saudara.
"Ayo seperti dulu. Kembali ke tim. Mereka butuh kau." Tiba tiba mata Balat berubah. " Sementara untuknya" menarik napas sesaat " Jika kau takut polisi mengusutmu setelah kau kembalikan, kau bisa serahkan saja padaku untuk ku lempar dia ke jurang dekat sini" Balat memperhatikan Mira yang kelihatan sekali takut dengannya. Balat mendekatinya.
"Stop di sana!" ucap Dago sambil mencabut pisau.
Balat mengerti maknanya.
"Okey kawan, jika itu membuat hatimu lega." Balat angkat tangan dan mundur. Bukan dia takut. Dia segan dengan kawan seperjuangannya itu.
"Keluar dari sini!"
"Dago. Kau salah. Kembali Dago."
      "Ku bilang keluar!! Bawa anggotamu!!" hardik Dago.
Dengan tatapan dendam kepada Mira, Balat dan anggota The Kill pergi. Sebelum benar benar hilang dari pintu, Balat menyeru:
     "Pastikan kau tutup rapat pintu ini dan malam ini benar benar kau lumat perempuan itu, kawanku. Itulah lelaki!"
Dago hanya membalas dengan gebrakan pintu tertutup.
Di sofa berdebu itu Dago nyengir-nyengir menahan perih saat melepas jaketnya. Ia berdiri dengan kaos singlet di mana pada bagian kanan bahunya merembes cairan merah dari sebuah robekan. Dago berjalan menuju rak untuk mencari gunting dan perban.
Mira mengamati itu dan mendekatinya.
"Tak sejengkalpun aku berniat berterima kasih untuk ini" ucapnya ketus.
"Aku tahu" jawab Dago tanpa memperhatikan Mira dan berjalan lagi dengan membawa peralatan yang ia butuhkan.
"Aku gembira bahkan menikmati momen seperti ini. Yang ku sayangkan" kata Mira sambil menunggu Dago mendongak agar matanya kembali berhadapan. Saat itu terjadi, Mira melanjutkan "Pisau itu tak mengiris bagian ini lebih dalam. Bagus lagi jika putus!" ucap Mira sambil menunjuk leher Dago yang ada ada bekas sayatan.
Dago masih sibuk dengan perban. Sesaat itu dia berujar:
"Maafkan perlakuan anakbuahku"
Mira hanya berkeliling dan memperhatikan.
"Baju itu tampak serasi dengan warna kulitmu" puji Dago.
     Mira melihat sweternya. Selama disekap, keperluan baik sandang maupun pangan ditanggung Dago. Tak dapat Mira pungkiri bahwa ia terjanjikan dan terpelihara sangat baik di sini.
"Meskipun kau memanjakanku di sini, toh kau tetap penculik!"
Mira memutari sofa tempat Dago duduk.
"Dan tak akan mengubah cintaku bersama Demian"
Dago bangkit.
"Kau pikir dia cinta kepadamu?"
"Oh??? Sekarang kau bermain racun ya?" sindir Mira.
"Terserah kau anggap apa. Jelasnya, sebulan ini tak ada tindakan berarti darinya untukmu"
"Bohong! Kau kotori pikiranku seolah kau kenal dengannya" ucap Mira sewot. " Saat dia ke sini. Kau pasti mati!" tunjuknya.
"Pastikan pisaunya terbenam dalam sebab jika tidak..."
Dagoooo keluar!!!!! Keluar woy!!!!!
Teriakan ramai terdengar dari halam depan diikuti  bunyi meledak serta terbakar. Dago melihat dari jendela vila.
Itu geng Taurus dan The Kill tampak membuang jirigen dan benda benda lain yamg mudah terbakar ke arah selasar vila.
Sialan! The Kill berkhianat, batin Dago.
Asap mulai masuk. Dago mengajak Mira keluar.
      "Aku akan serahkanmu dalam duelku dengan pujaanmu"
Pada keadaan ini entah denyutan apa yang melesak dalam kalbu Mira. Ia serasa tak ingin keluar dan tetap bersama Dago. Ahh. Mengapa tumbuh pada titik demikian. Jiwa Mira berontak tapi makin terseret ke pusaran kesalahan. Jujur, perhatian Dago itu menyiksa hati Mira sekarang.
Mira menahan tangannya saat dipegang Dago menuju pintu utama.
"Jangan keluar" kata Mira lirih.
"Hah??? Apa??" Dago tak mendengar karena suasana depan dan samping makin keruh dan panas.
Mira diam. Bingung melandanya.
      Sampai diteras tampak 20 orang lebih sedang menunggu lengkap dengan pentungan bisball. Tepuk tangan muncul dari Balat si penghianat. Dialah yang membawa Anjar, Demian, dan orang orangnya ke sini.
"Luar biasa, Balat. Luar biasa" Dago menggeleng tak percaya.
      "Bukan aku kawan, tapi The Kill. Kau sudah loyo tak seperti dulu. Aku juga muak dengan perempuan itu. Tapi semua muak itu tak ada apa apa ketimbang malu ku karna pemimpin macam dirimu" tunjuk Balat dengan pentungan.
Sementara berdebat mulut, Mira menatap bahagia kepada Demian. Tapi wajah Mira merasa kecut dengan ekspresi datar Demian.
"Demian, selamatkan aku" teriak Mira meminta bantuan.
Tapi Demian hanya datar. Yah. Mengetahui bahwa Mira diculik Dago, geng motor saingan abangnya membuat Demian hilang selera. Selama sebulan, tentulah Mira telah dijamah bedebah itu. Membayangkan itu terasa mual. Kedatangannya ini sebenarnya hanya mau mengantarkan Mira ke tempat orang tuanya.
"Apa kau terkejut, Mira?" Dago tiba tiba bertanya.
Mira hanya menatap keramik lantai. Dia diliputi kekecewaan.
"Aku tantang duel kau Demian mengingat hanya namamu saja yang Mira sebut satu bulan ini!"
"Tak ada namanya duel!" sergah Balat. "Biar The Kill dan Taurus yang mengurus kau!"
      "Pulanglah. Datangi kekasihmu. Kini kau bebas. Terima kasih telah menemaniku sebulan ini" bisik Dago tersenyum kepada Mira.
Tiba tiba mata Mira merabang.
      "Larilah. Demi aku. Jika kau mencintaiku ku mohon larilah untuk hidup" pinta Mira dengan rasa bingung bersalah.
Dago terkekeh.
"Ini rumahku. Mereka anggotaku. Aku tak ingin berikan kenangan pengecut kepada mereka. Cepat pergi" usir Dago sambil mendorong Mira.
Mira menjauh dan berlari ke arah Demian. Mira segera memeluknya.  Tapi pelukan dingin yang dirasakan perempuan itu. Tiada energi dan hasrat yang luar biasa dari sinar mata Demian. Mira mengeratkan pelukan. Tetap sama, hambar tanpa rasa.
"Serbu!!!!!!!!" teriak Balat. Geng The Kill dam Taurus dengan menggengam besi dan rantai segera maju.
     Dago tersenyum. Di belakangnya vila itu sudah setengah hangus. Api membumbung ganas. Udara menguap hangat, Dago segera menyongsong maju  ke arah seruan seorang diri.
*Selesai*

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun