Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah rakyat kecil. Agama saya Islam dan saya sangat mencintai agama ini. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan politik tanah air saya melihat Islam bukan hanya sebuah simbol dalam kehidupan, sehingga dalam hingar bingar suksesi 2014 ini saya tidak mempermasalahkan sosok pemimpin yang tidak terlampau menampakkan simbol-simbol Islam. Namun yang lebih penting, tindakan dan perilakunya tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam. Barangkali tahun ini adalah tahun di mana saya meninggalkan pilihan politik yang bersimbol agama. Ini bukan berarti saya telah meninggalkan agama Islam, sama sekali bukan. Saya hanya melihat bahwa keIslaman tidaklah tergantung kepada afiliasi partai yang dipilih. Saat ini saya tidak melihat korelasi ideologi agama dengan perjuangan para politisinya. Saya lebih melihat untuk sementara ini ideologi agama masih sebatas pembeda secara lahiriah, namun ruhnya masih berkutat dengan syahwat kekuasaan. Jujur, menjelang pilpres ini saya mendukung capres Jokowi. Seperti kita lihat penampilan Jokowi adalah penampilan sederhana yang mewakili keIndonesiaan dan kerakyatan. Jokowi tidak menampilkan simbolisme agama. Jokowi adalah simbol kedekatan dengan rakyat karena ia mau menyapa rakyat dengan kesederhanaan busana, gaya hidup, keramahan dan juga etos kerja. Jokowi mau merasakan denyut nadi orang-orang yang termarginalkan yang dalam istilah Islam adalah kaum dhuafa. Meskipun tanpa menggunakan simbol agama, bagi saya Jokowi dengan PDI-Pnya telah mampu menerjemahkan pesan-pesan keIslaman dalam kehidupan nyata. Jokowi memang bukan dari kalangan Islam santri yang fasih melantunkan ayat-ayat al-Qur'an. Jokowi bukan dai atau mubaligh yang setiap kalimat lisannya diselipkan dalil-dalil ayat suci. Tapi saya melihat keIslaman Jokowi lebih pada perilaku dan etos kerjanya. Nilai-nilai Islam ditebarkannya dalam setiap langkah dan pemikirannya. Nilai-nilai Islam diterapkannya dengan mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan memihak kepada kepentingan rakyat banyak. Ia mencintai semua manusia di negeri ini, bukan sekelompok golongan saja karena ia lebih memiliki kapasitas sebagai calon pemimpin bangsa dan bukan pemimpin golongan. Karena negara ini milik semua golongan bukan satu atau dua golongan. Saya sadar partai PDI-P barangkali tidak pas untuk kejujuran, kesederhanaan dan keberanian Jokowi dalam membuat terobosan-terobasan yang brilian saat memimpin Solo dan Jakarta. Saya sadar PDI-P bukan partai yang bersih. Tapi adakah partai yang benar-benar bersih di negeri ini? Tidak perlu diukur besar kecilnya angka, karena akan bersifat subyektif dan menimbulkan perdebatan yang tak ada habisnya. Dan bagaimana dengan partai agama? Saya sudah tidak percaya lagi dengan partai yang mengklaim berasaskan agama. Seperti kata Jusuf Kalla, partai agama itu hanya ada di masa lalu di zaman orde lama. Sekarang hampir tak ada bedanya partai agama atau bukan. Bukankah politisi beragama Islam menyebar di semua partai? Dan para koruptor ada di semua partai tak terkecuali partai yang mengatasnamakan agama. Kebaikan dan keburukan bisa lahir dari setiap partai yang ada di negeri ini. Jadi tidak semua produk partai agama itu baik dan tak semua produk partai nasionalis itu buruk. Bagaimana pun, sebuah partai dibutuhkan untuk menuju tangga Istana agar dapat melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Mungkin Tuhan punya rencana yang indah dibalik pertanyaan kaum muslim, mengapa Jokowi tidak dilahirkan oleh partai Islam karena dia baik dan beragama Islam? Saya berprasangka baik saja kepada Tuhan, bahwa Tuhan akan memilihkan yang terbaik untuk nusantara yang bernama Indonesia dengan ragam suku, budaya dan agamanya. Jadi mengapa saya memilih Jokowi? Jokowi adalah protret rakyat kecil, potret kesederhanaan hidup yang tak merangsang untuk hidup dengan menghalalkan segala cara. Jokowi tetaplah makhluk beragama namun ia mampu menampung keragaman suku, agama dan budaya. Karena Jokowi adalah kita. ***
KEMBALI KE ARTIKEL