Thomas Alva Edison (1847-1931) sebagai orang jenius berujar "Pikiran saya tidak mampu untuk memahami hal seperti jiwa". Jiwa sangat abstrak & sukar dipelajari secara Objektif.
Pun dalam ilmu Psikologi, mengakui bahwa yang dimaksud dengan jiwa (roh) itu tak seorangpun tau persis. Bila raga itu bisa terukur, apakah jiwa bisa ter-ukur?
Apalagi kalau kita merujuk kepada surat Al-Isra ayat 85, disebutkan: "Mereka menanyakanmu (Muhammad) tentang jiwa atau roh, maka katakanlah bahwa jiwa (roh) itu adalah urusan Tuhan dan kamu tidak diberi pengetahuan (tentang jiwa itu) kecuali sedikit saja.”
Memang, awalnya ilmu Psikologi (Psyche: jiwa, logos: ilmu) pengertianya mempelajari kejiwaan sebagai bagian atau cabang ilmu Filsafat. Tapi dalam Psikologi modern, (dalam buku Psychology an Introduction - Mussen & Rosenzwing 1975) Psikologi berkembang ke pengetian mempelajari Mind (pikiran), Behavior (tingkah laku). Maka Psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Tapi bukan berarti manusia samasekali tidak diberi petunjuk tentang jiwa oleh Sang Pencipta. Dari para ilmuwan mulai Plato, Aristoteles, Descrates, Ibnu Sina dsb. Dari spiritualis syekh Abdul Qadir, Rumi, hingga R. Syahid/ Sunan Kalijaga dsb. Kita bisa banyak menggali apa itu Jiwa.
(Uraian diatas baru konteks definisi jiwa, mudah-mudahan kita tidak terjebak dengan definisi yang menjadikan polemik.)
Kembali pada kesehatan jiwa. Sederhananya... jiwa akan tenang bila jiwa kita terarah, seimbang, terkontrol, tidak terlalu terbebani. Beban yang terlalu mendalam dan tak teratasi bisa mengakibatkan gangguan jiwa dari ringan, dipresi, frustrasi hingga klimaksnya mengakibatkan bunuh diri. (yang tertinggi di Jepang 2003 bunuh diri tercatat 23.000 atau 100 orang perhari)
Bila kita sampai pada tahap tersebut (apapun gangguan ringan, sedang atau berat) di era informasi ini, kita dengan mudahnya bisa googling mencari secara spesifik penyebab hingga solusi sesuai case yang kita alami (seperti di link ini). Tentunya selain dengan cara curhat, ke orang terdekat atau ke Psikiater.
Selain merujuk mengenai gangguan kejiwaan melalui limu psikologi, ada pula jalan melalui lain yaitu Spiritualisme (misalnya New Age, Sufisme). Sebab hakikatnya bila jiwa kita kosong, lapar, makanan jiwa kita bukanlah entertain-entertain Raga (makan, minum, sex, dugem, maupun kemewahan materialisme & eksistensi) yang semakin kita turuti, bisa-bisa semakin membebani.
Sepertihalnya yang dikatakan Socrates...
”Makanan enak, baju indah dan segala kemewahan, itulah yang kau sebut kebahagiaan, namun aku percaya bahwa suatu keadaan di mana orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan yang tertinggi”.
(mudah mudahan kita selalu diberi kesehatan jiwa, amin... )