Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Membangun Budaya Bertanya

3 Januari 2012   04:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:24 416 3

Malu bertanya sesat di jalan. Sebuah ungkapan yang tak asing di telinga seringkali diungkapkan orang tua pada anaknya atau guru pada muridnya. Bertanya, merupakan aspek yang penting dalam kehidupan ini. Hidup ini penuh makna yang memang seharusnya digali dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun dalam kenyataannya sekarang, jarang orang-orang terutama kalangan muda mempertanyakan apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya mempertanyakan sesuatu seakan memudar dari kehidupan kalangan kaum muda.

Teknologi yang berkembang saat ini seakan-akan membutakan muda-mudi akan permasalahan hidup yang ada. Semua dilakukan serba instan dan terkesan tak mau ambil pusing. Toh, semua ada dengan teknologi yang serba gampang dan tak perlu repot-repot mempertanyakan masalah tersebut.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dan diakui sebagai negara yang merdeka sejak 66 tahun silam. Hal ini tak bisa terlepas dari punggawa-punggawa bangsa ini yang kritis dalam menghadapi persoalan bangsa termasuk penjajajahan. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari mulut para pendiri bangsa ini ikut menjadi suksesi pengakuan dunia akan kemerdekaan Indonesia.

Melihat kaum muda Indonesia saat ini sungguh sangat memilukan. Jauh dengan apa yang diharapkan oleh para pendiri bangsa ini jauh-jauh hari. Mereka menginginkan kaum muda esok dapat membangun bangsa ini dengan kebanggaan-kebanggan yang ada. Kaum muda esok diharapkan dapat memikirkan masa depan dengan modal dan usahanya dalam memajukan bangsa ini. Namun, apa yang diharapkan tak seindah yang dibayangkan oleh orang tua zaman dulu. Jangankan memikirkan masa depan bangsa ini, untuk mempertanyakan dirinya sendiri pun sulit. Kelas-kelas pun hening dari suasana diskusi dan sangat sulit menemukan orang-orang yang bertanya.

Tiga tahun setelah bangsa ini merdeka barulah bangsa-bangsa mencetuskan deklarasi atas hak azasi. Hal itu mendasari atas hak kritis seseorang dalam kehidupan di dunia ini. Namun, semangat atas hak-hak itu telah ada pada jiwa pahlawan bangsa dalam membangun bangsa ini jauh sebelum pernyataan bangsa-bangsa itu dideklarasikan. Berbeda dengan kaum muda sekarang yang menyia-nyiakan kesempatan haknya dalam kekritisan atas semua persoalan hidup. Padahal hak akan berpendapat telah dideklarasikan jauh beberapa tahun silam. Namun hal tersebut tidak menjadi acuan membangun sikap kritis pada kaum muda. Kamu muda sekarang ini cenderung pasif dalam menyikapi persoalan. Baik persoalan tersebut bersifat sosial maupun non sosial.

Aspek sosial menunjukan bahwa masyarakat Indonesia merupakan aspek yang sangat penting dalam pembangunan bangsa ini. Dilihat dari pendapat-pendapat yang menjadi masukan dan kritikan dalam memajukan bangsa ini. Bercermin pada aksi mahasiswa tahun 1998 dalam konteks perubahan sosial. Dapat dilihat bahwa aksi mahasiswa saat itu dapat menurunkan sebuah rezim yang mengungkung rakyat saat itu. Hasilnya, dapat dirasakan dengan kemeriahan dan kebebasan rakyat yang selama rezim dibungkam. Hal itu tak dapat lepas dari kekritisan mahasiswa saat itu dalam mempertanyakan progresi pemimpin negara dalam mengorganisir rakyatnya. Dengan pertanyaan tersebutlah reformasi yang mahasiswa usung saat itu muncul.

Allah menyeru dalam kitab suci-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Mahapemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Q.S 96:1-5.

Dalam ayat-ayat-Nya nampak kata “bacalah” tiga kali diucapkan. Secara tersirat kata baca dalam ayat tersebut memiliki bermacam-macam makna. Kata Iqra’ I dapat bermakna membaca, yang dapat berarti mencari ilmu. Karena dengan membaca ruang ilmu yang luas dapat terbuka dengan sendirinya. Baik membaca secara harfiah atau membaca ayat-ayat kauniyah berupa ciptaan-Nya.

Dalam ayat tersebut nampak jelas kewajiban akan mencari ilmu. Dalam mencari ilmu tersebut terdapat unsur pertanyaan dalam mencari jawaban ketidaktahuannya. Maka dapat ditarik secara luas bahwa bertanya itu dianjurkan dalam syariat.

Marcy P. Driscoll mengungkapkan dalam materi Membentuk Budaya Bertanya, bahwa pembelajaran efektif itu berupa student centered dan guru atau dosen berupa fasilitator yang membantu mengarahkan. Sehingga haruslah seorang mahasiswa atau siswa aktif bertanya dalam menggali apa yang mereka butuhkan dalam pembelajaran. Pemahaman siswa dapat terbangun dengan apa yang ditanyakannya, begitu pula fasilitator dapat mendapat feedback dari pertanyaan siswa tersebut.

Dalam makalahnya, Marcy yang berasal dari The Florida State University College of Education menuliskan  perlu adanya riset di bidang pendidikan agar budaya bertanya siswa ini menjadi guyup yang dibagi dalam beberapa tahap implementasi yaitu :

·Nilai penting riset pendidikan

·Tujuan riset pendidikan dan dampak yang diinginkan

·Isu-isu terkait dengan pengembangan sebuah budaya dan kemampuan dalam melakukan riset pendidikan.

Beliau mengungkapkan bahwa tantangan dalam memahami nilai penting riset pendidikan adalah terletak dalam kemampuan guru memecahkan masalah. Masalah adalah “sesuatu yang terlihat jelas” (obvousness problem), misalnya masalah keakraban (familiarity problem), dan masalah akal sehat(common sense problem)

Lazersfeld (1949) mengungkapkan pula bahwa sulit untuk menemukan sebuah bentuk perilaku manusia yang belum pernah dipelajari di tempat lain. Akibatnya, jika sebuah studi mengatakan adanya suatu hal yang lazim ditemukan, kebanyakan pembaca akan berpikir. Sehingga proses bertanya itu sangat diperlukan dalam menemukan apa yang dipikirkannya.

Namun ruang lingkup pertanyaan tersebut harus mempunyai nilai tanggung jawab sosial. Begitupun yang diungkapkan oleh Joko Martono dan ia sebut dengan pekerja profesional. Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial ialah seseorang bertanya namun ia mempunyai landasan mengapa ia bertanya dan kondisi saat ia bertanya. Sehingga pertanyaannya tidak menyimpang dan tidak menyinggung orang yang akan ditanyakannya.

Melihat kecenderungan masyarakat saat ini mempunyai tingkat kekritisan yang rendah. Sehingga hasrat ingin tahunya pun sejalan dengan tingkat kekritisannya. Maka sikap apatislah yang timbul dalam diri-diri masyarakat sekarang.

Padahal dalam perkembangan bangsa ini, perlulah ada penstabil gerakan pemerintah. Dengan sikap kritis itulah yang dapat menstabilkan sikap pemerintah dalam mengambil keputusan. Hal ini dapat dirasakan apabila pemerintah merasakan tidak ada yang bertanya akan tingkah lakunya, maka mereka seakan-akan membenarkan segala aksinya. Perilaku menyimpang pun menjadi hal yang wajar karena tak ada yang menganggap hal tersebut salah. Sikap apatis masyarakat akan lingkungannya pun menjadi salah satu faktor dalam perilaku menyimpang pemerintah atau pemangku kebijakan.

Membangun budaya bertanya dari sejak dini diperlukan dalam prosesnya menuju masyarakat madani yang penuh akan sikap kritis. Stabilitas bangsa akan sendirinya mengikuti sebagaimana tingkat kekritisan masyarakat dalam mengkoreksi kebijakan atau perilaku yang menyimpang dalam bangsa ini. Dengan hal mudah dan sepele seperti bertanya inilah sesuatu yang besar dan bermanfaat bagi bangsa ini dapat terwujud. Semoga budaya bertanya dapat menjadi suatu keharusan dalam semua aspek kehidupan meskipun dalam forum sekecil apapun.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun