Alin, bapakku pernah bilang: seorang ayah tak akan keliru mengenali anaknya. Tahukah kau Alin, kurasa tubuh ini pun tak akan keliru bilakah nanti ia berjumpa dengan dirimu; gadis jelmaan rusuknya.
Zaman dan keadaan telah banyak berganti, tapi di tempat ku menanti ini tetap tak ada yang terganti. Saat rembulan menarik pelan halusnya jarijemari aliran sungai dan sari bunga pada tiap-tiap tujuan oleh angin yang melayang pergi, di sini tetap tak ada yang terganti. Semuanya masih begini, seperti ini dan mungkin hingga nanti; hingga kau tiba di sini, di tepian hati ini Alin.
Alin, mungkin mawar tak lagi kutatap indahnya selain hanya menantikan indahnya dirimu? Ataukah mungkin hidup ini memang terlalu membingungkan. Tapi biarlah, mungkin juga aku yang memang terlalu bodoh dalam ini semua.
Alin, pabila suatu saat nanti kita jumpa maka suatu pagi aku akan menulisimu sebuah puisi. Aku mulai puisi itu dengan rekahan untaian kalimat pertama : Aku bahagia hari ini.
Aku bahagia hari ini. Kuncup bunga yang lama kunanti sudah bersemi. Benih-benih kasih yang kutaburkan menjuntai ke seluruh tubuh bungaku. Tak kuingin bungaku layu. Sekian jauh tetes keringatku yang jatuh menantimu berlayar sendiri, kini tetesan itu menjadi bening air yang memupuk tunas jiwa dan cintamu dalam dirimu. Percayalah Alin, bersamaku pasti bahagia itu akan menjuntai ke segenap jiwa dan ragamu. Tak ‘kan hadir kesia-siaan.
Langkah tak searah telah kita lalu, tepat pada titik pusat persilangan kita bertemu dan bersatu. Bersamaku kamu akan melangkah. Dalam tiap-tiap jalan dan aliran waktu, mengemudi biduk menghadapi godaan dan terpaan yang menerjang menderu. Tapi demi hati kita harus berani bertaruh bertahan dan maju. Selembar daun, sepotong bulan tertelan awan, suara jangkrik, semua menjadi begitu indah bila hati didera bahagia,.Cinta menjadikan mungkin, bahkan kepahitan hidup terasa lebih manis; lebih mabuk.
Ikan berenang, burung terbang, kita berjalan bergandengan. Di air kita akan menjadi ikan; di angkasa kita akan menjadi burung yang terbang. Jangan cemas terhadap hujan sebab kita adalah ikan. Jangan cemas terhadap ketinggian sebab nyala kasih kita adalah sayap yang akan membawa kita terbang; menatap indah alam-alam dan nyala warna-warni bunga di taman serta hutan. Tumbuh dan merekah bungabunga di taman di hutan, di taman hati, lalu bunga mengalir menjadi cinta menjadi biola menjadi nada.
Nada biola masih mengalun di ujung hari, di setiap hari semenjak pagi (dan hari adalah sebuah lingkaran, manakah ujung manakah tepi?). Cinta memang absurd, tapi tak penting kita memikirkan segala hal dengan benar. Suatu pagi, aku ingin terbangun dengan menatapmu di sampingku.
Maka, ketika itulah akan kuberikan puisi yang aku tuliskan dari namamu: Alin.
Maka, itulah pagi yang tepat. Dimana air yang kunanti telah masak, dimana butirbutir lelahku yang jatuh menemukan pencariannya; mengakhiri pencarian; kamu.menangis, kamu tertidur, kamu tertawa, kamu bersedih, kamu tersenyum, kamu pergi, kamu terbang, kamu berenang menjadi ikan, kamu menjadi bunga, kamu menanti, kamu pecah, dirimu berderai ke udara, menjadi uap menjadi embun, menjadi beku, menjadi segalanya, menjadi ratu, menjadi burung, menjadi putri, menjadi duyung, menjadi apa, menjadi apapun … apapun aku di sampingmu, Alin.
Alin … Alin … Alin … tapi sekarang kita masih melaju, melaju menuju hari menuju titik menuju pusat persilangan yang kita sendiri pun tak tahu kapan dan dimana keadaannya. Apakah akan tepat, waktu dan langkah kita berjalan? Bagaimanakah bilamana ada satu diantara kita yang lebih dulu memintasinya, entah engkau entah aku? Bagaimanakah bila kita bertemu orang yang salah? Akankah selamanya kita akan terus berjalan tanpa pernah bertemu, Alin? Tanpa pernah bertemu, Alin.
(Sekayu, 2 Februari 2012)