Seperti biasa setiap hari libur anak sekolah (Kamis malam Jum’at) kami sekeluarga (saya, istri dan anak-anak) selalu menyempatkan untuk berbuka puasa di halaman Masjidil Haram. Kebiasaan ini bukan hanya kami yang melakukan tetapi kebanyakan mukimin (orang asing yang tinggal di Makkah) maupun orang Saudi juga selalu terlihat lebih ramai memenuhi halaman masjid pada saat-saat seperti itu. Disamping untuk shalat berjamaah di Masjidil Haram yang pahalanya seratus ribu kali lipat dibanding shalat di masjid lain, sekaligus refreshing buat keluarga sambil mengasuh anak-anak.
Tidak ketinggalan kami sekeluarga, dengan berbekal beberapa termos teh manis panas (sahi), kurma dan ‘bakwan/bala-bala goreng (biasanya dalam porsi lebih supaya bisa berbagi dengan yang lain) kami berangkat dari rumah setengah jam sebelum adzan Maghrib berkumandang. Sebenarnya jarak dari rumah ke masjid cukup dekat tetapi supaya ada kesempatan berbagi ‘bala-bala’ goreng, kurma dan sahi buat yang mau berbuka puasa kami berangkat lebih awal. Sesampai di halaman masjid biasanya kami mendekat ke barisan non mukimin yang sedang umrah atau ziarah sebab biasanya mereka ke masjid jarang membawa bekal makanan. Setelah menata keluarga pada tempat yang cukup nyaman di bagian perempuan (tempat laki-laki dan perempuan terpisah pada saat shalat) saya beranjak ke dalam masjid. Sementara yang biasa bertugas berkeliling berbagi ‘bala-bala’, kurma dan sahi adalah anak-anak supaya mereka terbiasa berbagi dengan sesama sejak dini. Putri saya Hanifah (3 tahun) suka sekali menemani kakaknya Alifah (9 tahun) berkeliling membagikan ‘bala-bala’, kurma dan sahi sambil membawa gelas plastik, sebab biasanya dia akan mendapatkan hadiah permen atau cokelat dari beberapa jamaah yang kebetulan mereka lewati.
Usai shalat Maghrib, saat itulah nampak keluarga-keluarga berkumpul dan bercengkrama sambil berbuka. Anak-anak kecil sibuk dengan dunia bermainnya, apalagi saat ini di halaman masjid terlihat banyak sekali belalang kecil dan jangkrik ‘jadi ingat sama kampung halaman di tanah air’ anak-anak jadi tambah semangat bermain sambil mengejar bebalang dan jangkrik. Tapi malam ini terasa ada yang beda dari biasanya, penjajak bakso dan gado-gado....kemana mereka?
Ini sebenarnya yang ingin saya ceritakan. Penjajak bakso dan gado-gado yang biasa berkeliling dari satu kerumunan keluarga ke kerumunan keluarga yang lain. Menawarkan bakso, gado-gado dan jajanan khas Indonesia lainnya ‘yang juga disukai disini’ secara diam-diam dan tidak menarik perhatian petugas. Dengan menenteng plastik berisi dagangan mereka mendekat calon pembeli sambil ikut duduk layaknya satu keluarga yang sedang berbagi makanan. Sepintas sama sekali tidak terlihat ada transaksi jual beli. Tetapi buat kami, para pedagang ini sangat ditunggu karena anak-anak suka jajanannya. Sesama ‘jawiyah’ sudah tentu mereka akan menawarkan dagangan ke kami karena satu selera dan kami pun bisa jajan sambil bercengkrama dengan mereka. Terutama istri saya, dia suka sekali ngobrol sambil sedikit mengorek informasi soal mereka. Mereka tinggal dimana, bagaimana keluarganya, sejak kapan berjualan, apa tidak takut ketahuan petugas dan ditangkap, siapa yang menyiapkan dagangan, berapa omsetnya? Serta beberapa pertanyaan lain yang kami lontarkan sambil bergurau supaya tidak terkesan mencari keterangan atau mengintrogasi, karena itu memang bukan hak kami.
Usut punya usut, kebanyakan dari mereka tidak beriqamah karena ada yang datang dengan menggunakan visa umrah ada juga TKW yang kabur dari majikannya dan tinggal di penampungan. Mereka hanya menjualkan sementara yang menyiapkan dagangan orang lain. Bakso dan gado-gado dijual dengan harga 5 Riyal/porsi dan mereka dapat 1 Riyal, bakwan dijual dengan harga 1 Riyal dan mereka mendapat kelebihan 1 Riyal dari tiap 5 bakwan yang terjual. Sebagai mukimin ilegal, mereka cukup cerdik dalam mengelabui petugas. Membawa barang dagangan dengan kursi roda atau kereta bayi, disimpan di tempat yang cukup tersembunyi dijajakan dengan menggunakan plastik anti repot sedikit demi sedikit. Kalau kebetulan mereka membawa anak, anaknya mereka titipkan dulu ke jamaah umrah atau ke sesama Indonesia yang kebetulan ada disana saat itu. Aktivitas berdagang mereka seusai shalat Maghrib dan berakhir menjelang shalat Isya. Jadi seusai shalat Isya pulang bersama jamaah lainnya. Mereka tidak mau menjelaskan berapa keuntungan yang mereka peroleh, tetapi dari banyaknya dagangan yang mereka bawa dan jajakan itu bisa dipastikan sangat lumayan. Dan rata-rata dagangannya selalu habis terjual, sebab bukan hanya orang Indonesia yang membeli tetapi orang Saudi dan orang asing lainnya pun banyak yang suka. Buktinya mereka rela menghadapi resiko tertangkap dan dipenjara kalau tidak menguntungkan.
Tetapi malam itu, mereka sama sekali tidak kelihatan berkeliling berjualan menjajakan bakso dan gado-gado. Terasa ada yang kurang dari biasanya memang. Yang biasanya merasa tidak perlu membawa makanan karena bisa membeli makanan ‘jawiyah’ sama mereka sekarang harus membawa makanan lebih. Teman-teman penjajak jajanan itu bukan cuma akrab dengan kami, tetapi akrab juga dengan orang-orang Saudi yang biasa berbuka puasa di halaman masjid. Bahkan mereka sudah jadi warna kemeriahan saat berbuka puasa hari Senin-Kamis dan liburan sekolah anak-anak di halaman Masjidil Haram. Mungkin mereka juga merasakan apa yang kami rasakan dengan bertanya-tanya: “Kemana Jawiyah penjajak bakso dan gado-gadi itu?”. Ada selentingan katanya mereka tertangkap karena aktivitasnya sudah ketahuan petugas dan memang suatu saat pasti akan ketahuan karena disekitar masjid banyak sekali kamera dan intel. Tapi semoga saja tidak. Semoga saja mereka kembali ke Indonesia secara baik-baik dengan menyerahkan diri ke perwakilan dan pulang bersama warga bermasalah lainnya dengan menumpang Kapal Labobar akhir April kemarin. Tiba di tanah air dan kampung halamannya dengan selamat, aman dan kembali hidup nyaman tanpa diliputi kekhawatiran apapun. Insya Allah.