Dikala hari ini, saya dan teman saya sangat bersemangat untuk menjadi salah satu penentu pemimpin Indonesia kedepan. Sampai di TPS, sedikit berbincang, dan ditolak. Ya, saya ditolak untuk mencobolos. Terima kasih Indonesia.
Tetapi tunggu dulu, jangan mengambil kesimpulan prematur. Apakah ini adalah sepenuhnya KPU? Saya memang sengaja tidak mengurus surat A5.
Beruntung saya dan teman saya merupakan pemuda yang dapat melakukan studi di salah satu universitas terbaik Indonesia. Saya sendiri tahu mekanisme untuk pindah TPS bilamana pemilih sedang tidak berada di wilayah domisilinya saat tanggal 9 Juli 2014. Saya pun memang sengaja tidak mengurus surat A5 karena sebelumnya saya berencana melakukan pencoblosan di tempat asal saya. Namun, apa daya ternyata H-1 waktu pencoblosan terdapat keperluan yang tidak dapat saya tinggalkan di Yogyakarta. Sehingga, saya tetap berada di luar daerah domisili saat waktu kepengurusan pemindahan TPS sudah berlalu.
Daripada pasrah dengan keadaan, saya mencoba saja peruntungan hak saya untuk tidak golput. Dan ternyata tidak beruntung berbekal bukti identitas diri, bukti sedang studi luar kota, bukti saya telah terdaftar sebagai DPT di TPS asal, dan bukti kehadiran saya di satu tempat secara temporal dan spasial! Terlepas dari ada atau tidak surat suara yang bisa digunakan (yang saya yakin pasti ada, toh walaupun tidak ada di satu TPS, pasti ada di TPS lain). Dimana hak saya untuk bisa memilih? Apakah saya tidak berhak untuk tidak golput karena tidak memiliki surat A5? Apakah dengan tidak memiliki surat A5, hak sebagai kewarganegaraan lepas saat berusaha memilih?
Tentu saya juga tidak mengatakan kesalahan ini 100% berada pada KPU. Saya sendiri menyadari kecerobohan saya. Telisik punya telisik ternyata beberapa teman saya juga mengalami hal serupa, namun beberapa beruntung dengan mengiba pada petugas dengan memanfaatkan surat suara yang tidak terpakai dan daripada dia menjadi golput. Tentunya tanpa niatan berbuat kecurangan.
Tetapi apakah KPU tidak memikirkan kemungkinan kasus yang terjadi pada saya? Apakah tidak ada mekanisme untuk memberikan solusi kepada orang-orang dengan keadaan seperti saya? Orang yang sedang mengabdi di luar wilayah komunikasi yang bagus? Lantas apa gunanya konversi KTP menjadi e-KTP ketika kita masih menggunakan mekanisme menggunakan kertas dan fotokopi KTP?
Bukankah seharusnya e-KTP memiliki kemampuan untuk mencegah pemilih klon? Bayangkan, di setiap e-KTP kita terdapat chip yang mempunyai signature code yang hanya dimiliki oleh kita (termasuk no. KTP). Mengapa teknologi ini tidak dimanfaatkan? dengan memindai chip terebut dan jaringan nasional bukankah akan dapat diketahui bila satu identitas telah digunakan?
Bagaimanapun terlepas dari hak memilih, siapapun Presiden Indonesia nanti, tentu hanya satu niat: memajukan Indonesia. Saya pikir adanya sedikit kekurangan yang bisa dievaluasi ini tidak akan menghentikan pemuda dan setiap insan Indonesia untuk terus bersatu dan bekerja demi kejayaan dan kemajuan Indonesia! Seperti yang kita mimpikan, Begitu bukan?
Semoga tulisan ini dapat menjadi masukan untuk Indonesia selanjutnya, khususnya KPU.