Katamu . . .
netraku laksana kristal
yang mudah sekali pecahkan
permata bening dari telaga rasa
yang bulir-bulirnya merupa selaksa
perasaan teramat sukar diterjemahkan
Dan katamu . . .
mataku teramat jernih
sejernih telaga kesedihan
yang tak henti hanyutkan rasa
hingga jauh menuju muara sukma
lintasi riak-riak air acapkali mengalir
Dan masih katamu . . .
kau ingin hapuskan sedih
menggantung dan bergelayut
manja di pelupuk mata mencipta
pecahan kaca bening sebening hati
yang selalu tabah kendati ditikam luka
Ujarmu . . .
kau ingin menyeka
basah derai kesedihan
yang merupa gerimis tangis
hingga buatku meringis seraya
menggigit ujung tepian bibir miris
Namun nyatanya . . .
sampai detik ini kulalui
perputaran waktu dengan
klenjar-klenjar air mata yang
tak henti memerah tetes air mata
tumpah ruah berlimpah kesedihan
Maka biarkanlah . . .
tapak lengan waktu
dan jemari masa menyeka
dengan amat lembut pecahan
kristal menggenang di sudut mata
berenang-renang dalam lautan aksara
H 3 R 4
Jakarta, 01/06/2022