Bunga Trotoar kusut masai
beraroma matahari lagi berdaki
di perempat lampu merah
tempatnya mengais remah
tanpa kenal secuil lelah
Berjibaku dengan tubuh dewasa
singkirkan malu demi bisa bersekolah
meniti hari depan yang bukan hanya
sekedar milik mereka yang berpunya
namun juga milik si miskin papa
Bunga trotoar acapkali
mengetuk kaca jendela tatkala
lampu merah di sudut jalan
baru saja menyala membuat jeda
dari menggilas muka beton hingga rata
Bunga trotoar menghampiri
kendaraan yang terhenti
lengan-lengan nan mungil
perlahan mengetuk kaca gelap berkilat
seraya mengintip ke dalamnya
Namun sia-sia belaka sebab si empunya
enggan menyembulkan kepala
apalagi membeli makanan dijajakannya
dipandanginya kaca jendela
berharap ada keajaiban di sana
Namun rupanya dewi fortuna
belum menghampiri diseretnya
langkah-langkah gontai seraya
menenteng barang dagangan
yang sedari tadi tetap utuh
Belum ada satu pun juga
yang mencolek tergerak guna
membelinya kendati harga
yang dijajakannya tak seberapa
buatan tangan sang Ibu
Disela tubuh lunglai seraya disekanya
bulir peluh yang becucuran di dahi
mencetak di baju hingga mengering
dengan hati diliputi kesedihan
sebab membayang di pelupuk mata
Bayangan seraut wajah
perempuan paruh baya
yang dipanggilnya Ibu
tengah menanti lembar-lembar
rupiah yang tak seberapa
***
Hera Veronica Sulistyanto
Jakarta | 1 Februari 2021 | 15:28