Sangkar emas tak ubahnya penjara
gelang bertabur permata laksana
rantai derita mengikat erat daksa
Ia hanya sebagai Boneka Pajangan
pemanis sudut ruang beku dan hampa
dan lelaki tua bangka itu begitu tega
Memperkosa hak-haknya
keji membunuh inginnya
merajam hasratnya
Tak hanya raga yang terkungkung
dibalik tembok-tembok kaku arogan
namun jiwa ikutan merasakan memar
Tendangan dan pukulan dilayangkan
bertubi-tubi hingga membuatnya semaput
menyisakan bilur luka di sekujur tubuh
Bahkan kemarin jotosan demi jotosan
menanggalkan giginya hingga
membuat berdarah-darah
Jiwa raga teramat letih
dan hatipun merintih pedih
menangis membuatnya kian ringkih
Ia sungguh tak berdaya
patriarki amat berkuasa
dan ia tak ubahnya budak belian
Yang dijajakan dipinggiran jalan
dicomot setelah sang tuan
menggelontorkan lembar-lembar rupiah
Mahligai indah yang diimpikan
menjelma neraka penderitaan
tak berkesudahan dan ia hanya
Layaknya seorang tawanan
di Istana Gading nan megah
daksa terpenjara terali besi
Laksana butiran debu dijentikan
dengan ujung jari lalu ditiup
lenyaplah tersapu embusan bayu
Ingin ia hantam keras tembok patriarki
dengan lengan terkepal namun
apalah daya energi telah terkuras habis
Wahai Tuan lepaskanlah belenggu
yang mengikat erat daksa ini
biarkan hamba terbang bebas
Bak seekor Merpati lepas terbang jauh
lintasi langit mimpi dan memetik
bintang harapan yang bersinar terang
Jangan biarkan jiwa raga
dipenuhi lebam hingga satu saat nanti
hati karam dan hidup berkalang muram
Ujarnya lirih dihadapan tembok
menatap dingin, beku dan bisu
sedingin hasratnya yang terlanjur membatu
***
Hera Veronica Sulistyanto
Jakarta | 15 Januari 2021 | 17:38