Berdiri di sudut beku nan temaram
tak ubahnya Boneka pajangan
terpampang di etalase
Di antara banyak pasang mata melucuti
seakan leluasa mengangkangi
dan memperkosa harga diri
Harga diri yang di injak-injak
para lelaki hidung belang
harga diri yang tergadai
Demi lembar-lembar rupiah
harga diri yang berada di bawah
alas kaki tuan berkantung tebal
Di antara seringai mulut-mulut
beraroma keras arak serta alkohol
meracau dengan umpatan sampah
Di antara kepulan kelabu nan tebal
seakan membuat otak serasa bebal
menyandang predikat perempuan sundal
Persetan dengan semua ocehan orang
makinya dalam hati dengan berapi-api
ada si kecil yang harus diempani
Guna beli susu serta tetek-bengek lainnya
tak cukup hanya dengan didongengi
dan mulut di sumpal nasi aking basi
Teramat berat beban yang di pikul
mendorongnya hingga terjerembab
ke lorong-lorong nan kelam
Bergelayut dalam dekap banyak lelaki
dalam pelukkan pencicip kemolekkan tubuh
guna pemuas hasrat sesaat
Entah sampai kapan menjaja cinta
di pinggir jalan mengakrabi sorot mata
buas milik para lelaki hidung belang
Entah sampai kapan wiraswasta tubuh
sementara usia mulai merambat
keriput tergurat dan terpahat
Entah sampai kapan meninggalkan
lumpur nan kelam berkubang dalam
genangan getih dan nanah nan busuk
Entah sampai kapan
sebuah tanya yang tak terjawab
membentur dinding-dinding senyap
Menggantung di langit tinggi
di telan malam pekat nan suram
sesuram hari depan
Dalam bayangan sinar rembulan
***
Hera Veronica Sulistiyanto
Jakarta | 23 Oktober 2020 | 18:25