Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Dunia Bagaikan Taman Fanfasi

12 Februari 2015   16:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:21 56 0
Ketika seseorang pergi ke taman fantasi seperti Ancol, tentu ia membawa anaknya. Di taman fantasi, seorang dewasa bermain dengan anaknya. Menikmati permainan anak menjadi si anak begitu terlibat dan terlarut yang sangat dalam. Bahkan ia bisa begitu berfantasi seakan ia adalah bagian dari taman permainan fantasi.

Sedangkan si orang dewasa tidak akan terlibat. Ia menjadi saksi atas tempat permainan tersebut. Saat waktunya tempat permainan fantasi. ia dengan rela pulang. Sangat berbeda dengan si anak. Ia akan menangis untuk tetap bermain di tempat yang sekan menjadi bagian darinya. Ia begitu terikat dengan permainan yang sesungguhnya hanya fantasi dari pikirannya sendiri.

Bukankah keadaan kita yang saat ini hidup di dunia juga bagaikan sedang bermain di alam fantasi? Fantasi ciptaan pikiran kita sendiri. Dan ketika waktu tiba untuk mengakhiri permainan, ada yang lupa bahwa keberadaan kita di dunia juga sekedar bermain.

Bagi yang dewasa atau mature, keberadaan di dunia bagaikan saksi. Saat waktunya pulang, ia sadar bahwa sesungguhnya ia bukan dari dunia. Bukan bagian dari dunia fantasi. Ia bertindak sebagai saksi atas semua permainan di dunia. Ia sadar bahwa dunia bukan tempat sejatinya.

Mereka yang belum dewasa, bagaikan anak-anak yang sedang bermain. Mereka terlibat duniawi begitu erat sehingga lupa. Inilah jiwa kanak-kanak dalam tubuh dewasa.

Fantasi dari pikiran yang didasarkan atas keinginan untuk tinggal di bumi. Tubuh memang ingin nyaman dan harus di pelihara dengan baik. Tubuh adalah tempat bagi Tuhan untuk bersinggasana dan untuk menikmati permainan dari ciptaan Nya. Tetapi jika terus berlanjut bisa menyebabkan lupa. Lupa bahwa dunia adalah tempat sementara bagi sang jiwa. Jiwa individu adalah percikan dari Sang Jiwa Agung. Sang Maha Murni.

Dunia juga bagaikan panggung sandiwara. Berperan dengan baik lah di dunia. Namun jangan lupa bahwa setelah usai bermain, kita juga harus menanggalkan peran saat bermain sandiwara. Jangan lah peran di bawa pulang. Bisa kacau keadaan atau situasi rumah.

Saat di panggung sandiwara sebagai bintang panggung juga harus tetap ingat akan jati diri. Bermain sebagai saksi atas peran menjadi kenikmatan tersendiri. badan di panggung sandiwara, pikiran selalu ingat akan jati diri bukan sebagai pemain sandiwara. Saat pertunjukan usai, semua akan berakhir dengan indah. Tanpa ada keterikatan sebagai pemain yang sesungguhnya. Tinggalkan panggung dengan senyuman akan menjadi keindahan tersendiri.

Mengisi cawan hati dengan kasih menjadikan diri terbuka akan keterhubungan jiwa individu dengan Sang Jiwa Murni. Jiwa bukan lah roh. Kita seringkali bingung membedakan antara roh dan jiwa. Jiwa adalah murni adanya. Jiwa adalah pengisi roh.

Roh adalah gumpalan: perasaan, mind, dan emosi. Inilah sebabnya ada roh yang memiliki dendam. Ia adalah badan halus. Ia masih materi, materi yang sangat halus. Ia bentuk dari keterikatan emosional manusia terhadap dunia. Sedangkan jiwa adalah percikan dari Jiwa Agung. Ia hanya sebagai penggerak. Ia bagaikan layar. Tanpa ada layar, dunia panggung sandiwara tidak eksis.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun