Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Socrates Indonesia Stress

14 Desember 2015   20:50 Diperbarui: 14 Desember 2015   21:09 148 0
Pledoi atau Nota Pembelaan Patrice Rio Capella yang mengibaratkan dirinya seperti Bima dan Socrates harus mau ditahan, sungguh mengharukan, terlebih pernyataan bahwa dirinya mungkin kuat menghadapi cobaan, namun bagaimana nasib anak dan istrinya; sungguh tuntutan Jaksa KPK agar Terdakwa dihukum 2tahun kurungan + denda 50juta subsidair 1 bulan kurungan terasa memberatkan dan diluar dugaanya.

Akankah Rio melakukan hal sama dengan hal dilakukan Socrates meminum racun, menghabisi nyawanya sendiri karena putusan peradilan tidak sesuai harapan ? Bilamana putusan hakim peradilan Tipikor terasa tidak memenuhi rasa keadilan baginya ? Mantan anggota DPR dan Sekjen Nasdem ini rupanya termasuk 1 diantara sekian ratus juta rakyat Indonesia Negara Hukum yang buta Hukum, jangankan menerima, namanya memberi saja adalah pelanggaran hukum bilamana maksud tujuan untuk memudahkan pengurusan penghentian penyelidikan dugaan korupsi dana Bansos dll.

Menghalangi penyelidikan dan penyidikan saja sudah merupakan tindak pidana, bagaimana cara berupaya menghentikan penyelidikan bukan tindak pidana ? Menerima dana yang peruntukannya membuat pejabat negara melakukan perbuatan melawan kewenangannya atau tidak berbuatg sesuai kewajibannya dapat dikatakan sebagai tindak pidana suap atau gratifikasi.

Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima suap atau gratifikasi diancam dengan hukuman pidana kurungan.
 
(1) Dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a.    memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya atau
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
 
Pasal 12 UU Tipikor
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewenangannya.
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewenangannya.
 
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3. Menteri
4. Gubernur
5. Hakim
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewenangannya atau tugasnya (Pasal 12B ayat [1] UU Tipikor). Secara logis, tidak mungkin dikatakan adanya suatu penyuapan apabila tidak ada pemberi suap dan penerima suap. .
 
Adapun apa yang dimaksud dengan gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor, sebagai berikut:
 
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Namun, menurut Pasal 12C ayat (1) UU Tipikor, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi (Pasal 12C ayat [2] UU Tipikor).

Tuntutan Jaksa KPK terhadap Rio Capella tergolong ringan bilamana melihat dasar hukum pidana di Indonesia, bilamana putusan hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa, sudah barang tentu akan menambah populasi pelaku tindak korupsi di Negara ini.

Rio Capella terbukti menerima suap Rp. 200.000.000 hanya dihukum 24 Bulan kurungan dan didenda Rp. 50.000.000 subsider 1 bulan kurungan, arti kata apabila terpidana Rio Capella mendapatkan Pembebasan Bersyarat cukup menjalani hukuman 16 bulan Potong Remisi ± 2 bulan + subsider 1 bulan = sekitar 15 bulan, makan tidur mandi gratis selama 15 bulan berpenghasilan Rp. 200.000.000 atau ± Rp. 13.300.000 perbulan tentu tidak terlalu buruk bagi seorang wakil rakyat yang sedianya memiliki gaya hidup merakyat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun