Pagi itu di Jakarta (13/11) sekitar jam 6 pagi bertepatan dengan pemberlakuan hari bebas kendaraan bermotor (car free day). Sepeda ini pun telah siap untuk berjalan menelusuri jalan-jalan Jakarta yang masih cukup sepi dari kendaraan bermotor. Tak ada suara bising yang terdengar dari cerobong asap kendaraan dan polusi yang terus mengotori kota ini. Meskipun di hari bebas kendaraan ini tidak sepenuhnya bebas dari kendaraan bermotor, karena masih saja ada kendaraan yang secara konsisten mengotori udara Jakarta yang masih bersih. Padahal jika car free day ini diberlakukan tiap hari minggu (bukan hanya 2x dalam sebulan) maka udara Jakarta benar-benar bisa lebih baik. Dan tentunya ini berdampak positif bagi kesehatan warga yang ada di dalamnya. Namun sayang, hal itu belum terjadi. Kini yang masih berjalan hanyalah car free day 2 kali dalam sebulan. Monas yang menjadi symbol kota Jakarta ini pun pada hari itu sangat ramai. Berbagai acara dan kreatifitas warga Jakarta terkonsentrasi di sini. Ada yang berlari mengitari tugu monas, bersepeda, senam, berfoto, berdiskusi, menggelar aksi dan banyak lagi aktifitas positif disana. Mereka terlihat bersemangat, tampak ceria dan menikmati lingkungannya. Pada hari-hari biasanya, tentunya kita jarang sekali melihat warga Jakarta yang menikmati lingkungan dan ceria. Yang sering kali kita lihat emosi yang mudah meledak-ledak, frustasi, dan sedikit senyum. Hal itu terjadi karena kondisi kota yang tak terlepas dari permasalahan kemacetan, polusi, banjir, kriminalisasi dan sebagainya. Maka dari itu, taman publik, taman kota, dan ruang publik (car free day) secara tidak langsung telah menjadi sebuah solusi untuk membuat warga kembali pada proses yang alami dan menikmati kotanya dengan senyumannya.
CFD di Jakarta Utara Sebagian wilayah di Jakarta telah menerapkan car free day (CFD) pada akhir pekannya. Meski hanya diadakan di sebagian daerah saja, namun kebijakan pemberlakuan CFD cukup membawa perubahan bagi masyarakatnya. Masyarakat mulai sadar bahwa kota adalah tempat hidup manusia bukan sepenuhnya robot ataupun mesin. Maka jangan sampai kota manusia ini tiap harinya selalu di kepung dengan deru-deru mesin dan polusi saja. Tentunya ini bukanlah keinginan semua pihak, termasuk para pengambil kebijakan. Untuk itu, pemberlakuan hal yang positif ini (CFD) perlu merata di semua wilayah Jakarta, termasuk Jakarta Utara. Jangan sampai kota ini selalu konsisten dalam hal mencemari Ibukota dengan polusinya. Bukankah Jakarta Utara telah mendesain kota sebagai destinasi wisata pesisir?lalu bagaimana semua desain ini dapat berjalan apabila tidak ada kebijakan postif yang turut serta mendampinginya?. Pemukiman memang sudah padat merayap dan merapat. Sedikit ruang untuk bergerak bebas. Tapi kota ini masih punya ruang yang dapat diberdayakan. Beberapa sudut kota Jakarta Utara, sebut saja Kemayoran, Sunter, Kelapa gading dan Pelabuhan bisa menjadi tempat diberlakukannya CFD. Sayang sekali jika potensi ini hanya dibiarkan begitu saja. Padahal tiap akhir pekan banyak warganya bersepeda menuju Monas bahkan hingga Bundaran Indonesia. Hal itu mereka lakukan karena di tempatnya/di rumahnya sendiri tidak ada pemberlakuan CFD?. Untungnya tipe masyarakat kota ini sudah berpikiran maju daripada para pihak yang berkepentingan itu. Sehingga mereka tidak perlu terus menunggu turunnya kebijakan yang berdampak positif ini. Kami yakin bahwa Jakarta bisa terus berubah. Seperti visi Jakarta yang dideklarasikan pada saat hari jadinya yang ke 484 yaitu “Jakarta Kian Tertata, Kian di Cinta”. Maka dari itu mulailah menata kota ini mulai dari yang kecil seperti memberlakukan CFD secara merata. Dan berdayakan masyarakatnya sebagai subyek pembangunan. Maka tujuan Jakarta yang kian di cinta (oleh masyarakatnya sendiri bahkan masyarakat dunia) bisa terwujud, bukan sekedar di atas kertas.
KEMBALI KE ARTIKEL