HENRI NURCAHYO Tanggal 13 April 2014, tepat 4 (empat) tahun Kadaruslan meninggal dunia. Kalangan seniman Surabaya lantas membuat acara Tribute to Cak Kadaruslan hari Sabtu (12/4) di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda Surabaya. Tidak banyak yang menyadari, bahwa sejumlah warisan monumental dari Cak Kadar ternyata sudah tidak ada lagi sekarang ini. Kemanakah nyala api yang pernah dikobarkan oleh kompor kesenian Surabaya ini?
Sosok Kadaruslan, yang akrab dipanggil Cak Kadar, pernah menorehkan jasanya sebagai wartawan, pejuang revolusi fisik, aktivis Angkatan 66, pendidik, pembina kesenian, budayawan dan khususnya penggerak aktivitas seni budaya di Surabaya serta berbagai aktivitas sosial budaya tanpa kenal batasan.
Lelaki kelahiran Jumat Kliwon tahun 1931 itu pula yang ikut membidani Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) tahun 1967, dan kemudian yang menghidupkannya kembali tahun 1986, ketika sempat vakum bertahun-tahun. Meski secara akademik lebih pantas disebut sebagai Sanggar, namun Aksera adalah kawah candradimuka pelukis-pelukis Surabaya yang dikenal militan. Alumni Aksera pantas berbangga diri menjadi pelukis yang berkarakter, tidak larut dalam selera pasar, dan memiliki ciri khas sendiri-sendiri yang tidak dimiliki pelukis lainnya. Tidak ada gaya yang seragam sebagai madzab Aksera, sebagaimana produk Bandung dan Yogyakarta. Madzab Aksera justru keberagaman itu sendiri.
Sayang sekali, setelah beberapa lama sempat aktif sebagai Lembaga Pendidikan Seni Rupa, aktivitas Aksera kemudian tenggelam sama sekali. Gedung Aksera yang berada di tengah perumahan di kawasan Dukuh Kupang sudah beberapa tahun ini sunyi sepi. Tidak ada penghuni dan aktivitas sama sekali di bangunan yang diberi nama Gedung Krishna Mustajab itu. Inilah salah satu warisan Cak Kadar yang pantas disesalkan kondisinya.
Warisannya yang lain adalah Festival Seni Surabaya (FSS). Even tahunan ini sudah digagas tahun 1993 dengan nama Pekan Seni Surabaya 700, berubah menjadi Parade Seni WR Supratman, sampai akhirnya menjadi FSS dan membentuk Yayasan Seni Surabaya (YSS). Namun dalam perjalanannya FSS sempat vakum beberapa tahun, bangkit lagi, vakum lagi, dan sekarang tidak ada jejaknya. Satu-satunya sisa FSS, kalau boleh disebut begitu, adalah acara yang diberi nama Panggung Kecil Festival Seni Surabaya di halaman Balai Pemuda. Cak Kadar pasti menangis di alam sana kalau FSS tidak bangkit lagi.
Asal tahu saja, ruangan yang menjadi “sekretariat tetap” FSS selama ini adalah dulunya digunakan Cak Kadar sebagai sekretariat Yayasan 66 dan kemudian dihibahkannya. Dalam perjalanannya yang lebih banyak memanfaatkan ruangan itu adalah Sanggar Merah Putih dengan kegiatannya berupa Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI). Sanggar Merah Putih ini pula yang kali ini bersama Dewan Kesenian Surabaya (DKS) menyelenggarakan acara Tribute to Cak Kadar.
Cak Kadar memang seorang pejuang sejati. Sepanjang 79 tahun rasanya masih belum cukup untuk merealisasi gagasan dan perjuangannya. Dia cenderung mengedepankan kepentingan umum, persoalan masyarakat dan bangsanya. Dialah arek Suroboyo yang sesungguhnya, bukan hanya semata-mata karena selalu memperjuangkan eksistensi budaya Surabayan, melainkan menjalaninya dalam semangat hidupnya sehari-hari. Hidup yang egaliter, demokratis, jujur, apa adanya, dan tidak mementingkan diri sendiri.
Maka warisannya yang lain lagi adalah organisasi pemuda bernama Putera Surabaya (Pusura). Bapak dari tujuh anak ini pernah menjadi Ketua Umum Pusura, aktif menggelar diskusi dan berbagai kegiatan kepahlawanan dan kepemudaan, meski pasti dia bukan pemuda lagi. Dan sekarang, bagaimanakah aktivitas Pusura? Masihkah terdengar ada kegiatan, aksi atau apapun yang digerakkan oleh Pusura? Mudah-mudahan Cak Kadar tidak nelangsa kalau (sekali lagi: kalau) ternyata Pusura hanya tinggal papan nama saja.
Dewan Kesenian Jawa Timur (DK Jatim), boleh dikatakan tak bisa lepas dari tangan dingin Cak Kadar juga. Semasa hidupnya, Cak Kadar adalah Ketua Pleno DK Jatim. Dialah yang selalu mendorong agar lembaga kesenian ini menjadi lembaga yang berwibawa, mampu sejajar dengan Pemerintah Provinsi, dan Ketua DK Jatim harus setara dengan Gubernur Jawa Timur. Namun perkembangan terakhir, lembaga ini dipimpin oleh figur yang nyaris tidak menorehkan prestasi luar biasa tapi justru terpilih untuk masa jabatan kedua kalinya. Mudah-mudahan Cak Kadar tidak juga menangis kalau lembaga ini hanya menjadi sarana numpang hidup.
Memang sulit menyebut di kotak yang mana Cak Kadar berada. Perhatian dan kepeduliannya sedemikian luas dengan banyak kalangan. Dialah yang juga suka teriak soal nasionalisme dan pentingnya cagar budaya. Masih terngiang teriakannya mengenai patung-patung tentara Romawi di sebuah gedung dekat Tugu Pahlawan. Memang itu bangunan milik pribadi, namun lantaran posisinya sangat strategis di kawasan Tugu Pahlawan, menjadi pemandangan yang memalukan seolah-olah memang pernah ada dalam sejarah bahwa Tentara Romawi datang ke Surabaya. Bagaimanapun kawasan Tugu Pahlawan adalah ikon kota Surabaya.
Dan sekarang, masih pantaskan kita hanya sekadar mengenang Cak Kadar tanpa berusaha menghidupkan kembali warisan-warisannya yang mati? Kalau toh masih bisa diselamatkan diluruskan, diberbadayakan, dan revitalisasi, itulah yang sesungguhnya akan menjadi doa paling mujarab bagi Cak Kadar di alam keabadian sana. Apa boleh buat, sampai dengan sekarang ini masih belum lahir Cak Kadar baru di Surabaya. (*)
Henri Nurcahyo, penulis lepas
(Dimuat di Jawa Pos, Minggu, 13 April 20140