Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mari Kita Lawan Megawati!!!

2 Juli 2014   09:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:52 386 2
Oleh Henri Nurcahyo

Salah satu peluru yang selama ini paling sering ditembakkan untuk menyerang Jokowi adalah, “Capres Boneka”. Kalau terpilih jadi Presiden nanti, Jokowi adalah orang yang (dianggap) bakal tunduk di ketiak Megawati. Meskipun secara formal yang jadi Presiden RI Jokowi namun sesungguhnya Presiden Sejati adalah Megawati Soekarnoputri. Untuk memperkuat tuduhan ini, maka foto Jokowi mencium tangan Megawati disebarkan kemana-mana dan berulang-ulang. Apakah kita rela negeri ini bakal dipimpin oleh presiden boneka?

Capres Boneka, itulah yang juga dijadikan judul sampul tabloid Obor Rakyat yang berhasil jadi trending topic dimana-mana itu. Capres Boneka, adalah isu yang selalu diulang-ulang oleh para pendukung Prabowo untuk menyerang Jokowi. Makna tuduhan ini sudah jelas, jangan pilih Jokowi karena Jokowi hanyalah boneka belaka, hanya robot, hanya wayang, sementara yang menjadi dalang dan pemegang remote control-nya adalah Megawati. Mau jadi apa negeri ini kalau Presidennya ternyata hanya pajangan saja?

Hari Selasa pagi agak siang, dalam perjalanan menuju kantor KPUD Jakarta Barat, sopir taksi yang saya tumpangi langsung melontarkan isu Capres Boneka itu ketika saya sedang bicara dengan anak saya soal Capres. Sopir taksi itu tanpa permisi lantas menyela pembicaraan kami soal siapa Capres yang layak dipilih. Dalam beberapa kalimat saja saya sudah dapat menyimpulkan, bahwa dia pendukung fanatik Jokowi. Sedemikian semangatnya dia membela Jokowi lantaran mengaku tahu persis apa yang diperbuat Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta meski belum genap dua tahun. “Saya tahu persis Pak, saya ini sehari-hari di jalanan,” katanya. Dia cerita soal sungai-sungai yang dikeruk ketika rakyat lapor, jalan diperbaiki, waduk dipercantik, rumah-rumah kumuh pinggir sungai ditertibkan dengan cara baik-baik…. Semuanya itu adalah bukti kerja kongkrit Jokowi membangun Jakarta. “Bayangkan, baru jadi Gubernur saja dia sudah bisa begitu, apalagi kalau jadi Ptesiden,” tegasnya bangga.

“Tapi dia Capres Boneka Pak, yang jadi Presiden sesungguhnya nanti Megawati,” ujar saya menggoda.

“Apa? Boneka? Maksud Bapak nanti Jokowi hanya akan tunduk begitu saja pada Megawati begitu? Dia jadi robotnya Megawati? Begitu?”

Saya diam, tidak berkomentar. Saya perhatikan melalui kaca spion di atasnya, sorot matanya yang berapi-api ketika dia mengatakan kalimat-kalimat panjang itu. Dia melirik sejenak ke bangku belakang dimana saya duduk. Dalam hati saya bertanya, apakah dia kader PDI Perjuangan yang militan? Jangan-jangan dia Jurkam PDI Perjuangan....

Kemudian sopir taksi yang entah siapa namanya itu berkata lagi: “Kalau betul nanti Jokowi hanya jadi Presiden Boneka, kita akan lawan Pak. Kita akan lawan Megawati. Jokowi itu milik rakyat, bukan milik Megawati….”

Percakapan seperti ini bukan satu dua kali terjadi. Setiap kali saya naik taksi di Jakarta, saya sering melontarkan pembicaraan soal Capres dan ternyata semua sopir taksi (setidaknya yang kebetulan saya tumpangi) mendukung Jokowi. Bahkan ketika Jokowi masih mendeklarasikan diri sebagai Capres dan belum punya Cawapres, seorang sopir taksi dengan mantapnya berkata, “saya tetap pilih Jokowi Pak, siapapun wakilnya.”

Rasanya saya tidak perlu menjelaskan lagi perihal isu Capres Boneka itu. Ternyata sopir taksi itu lebih pinter dari saya menanggapi soal ini. Dia bicara dari hatinya sendiri, dari pengalamannya sendiri dan dari keyakinannya sendiri. Dia tahu bahwa isu Capres Boneka itu sengaja didramatisasi untuk menjatuhkan wibawa Jokowi. Padahal sejatinya tidak ada jaminan apapun bahwa Jokowi nantinya bakal benar-benar jadi bonekanya Megawati. Sampai dengan saat ini tidak ada satupun indikasi bahwa Jokowi bakal tunduk sepenuhnya kepada Megawati.

Kalau toh foto Jokowi mencium tangan Megawati dijadikan bukti, saya kira itu bukti yang sangat lemah. Jokowi itu punya kebiasaan menghormati siapapun. Bukan hanya Megawati, namun kepada para ulama, juga pada rakyat jelata dia bersikap sopan. Masih ingat dalam kepala saya ketika Jokowi berseteru dengan Gubernur Jawa Tengah, Bibit, dalam polemik pabrik es Sari Petojo di Solo, ketika Jokowi masih menjadi walikota. Waktu itu Gubernur Jateng dengan lantang menyebut Jokowi “bodoh” karena mempertahankan bekas pabrik es dan berani melawan Gubernurnya.

Tentu saja rakyat Solo marah dan membela walikotanya. Tetapi Jokowi malah santai saja. Kepada wartawan yang memancing-mancing kemarahannya, Jokowi hanya menjawab ringan, “saya memang bodoh kok….”

Maka pada suatu ketika, Jokowi bertemu dengan Gubernur Bibit dalam acara serah terima Walikota Solo dari Jokowi kepada Rudiyatmo, wakilnya. Tentu saja waktu itu Jokowi sudah terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Apa yang dilakukan Jokowi saat itu, dengan santun dia mendatangi Bibit, menyalami dan mencium tangannya. Itulah bentuk “perlawanan” Jokowi kepada atasannya yang mungkin saja tidak menyadari kesalahannya. Ini jenis perlawanan khas Jawa, yang tidak mempermalukan.

Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan).

Jadi, benarkah Jokowi Capres Boneka? Benarkah ketika nanti dia terpilih menjadi Presiden RI hanya tunduk sepenuhnya pada Megawati? Kalau ternyata hal itu bakal terjadi, saya sepakat dengan sopir taksi itu, “mari kita lawan Megawati !! !” (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun