Gadis itu lemas berbaring sembari tangan mendekap erat boneka hadiah terakhir. Sesekali tangannya berusaha membelai bingkai foto pria gagah yang tergeletak di samping wajah manisnya. Tangisnya mungkin reda, tapi hatinya hancur berkeping-keping.
Ibu yang sedari sore berusaha menenangkan. Tak henti-henti membelai rambut buah hati semata wayangnya itu. Segala cara ia kerahkan agar putrinya mau mengerti, tetapi putrinya masih diam membisu.
... ... ...
Entah setan apa yang merasuki Febi sore itu sepulang dari bermain, ia masuk dengan membanting pintu kamar sangat keras. Ibu yang saat itu menanak nasi seketika terhenyak. Kira ibunya barangkali ada yang salah dari perayaan ulang tahunnya hari ini.
Wanita paruh baya itu berada di dua pilihan. Ia tinggalkan nasi yang belum matang atau beranjak menenangkan putri kesayangannya. Febi menangis sejadi-jadinya, tangisnya seolah mencabik lembut hati ibunya itu.
Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Lembut tangannya pelan-pelan mengaduk nasi yang sebentar lagi matang. Bau kunir dan wangi pandan menyeruak seisi rumah. Perihal seperti ini tak satu dua kali terjadi, tetapi ibunya mengerti ini bukan salah putrinya, dan bukan pula salah ia melahirkan. Sang Ibu kemudian mendesir.
Tiga tahun mereka berdua tinggal bersama. Dan tiga tahun pula rumah yang mereka huni tidak pernah lagi ada seorang pria. Cinta yang terpatri di benak ibunya tak pernah goyah. Ia hanya tak mau sosok yang dicintainya menunggu sendiri di sana.
"Nak. Ini Ibu bawa nasi tumpeng lengkap Febi pasti suka," ia merayu putrinya dari balik pintu.
"Enggak mau."
"Ibu masuk ya?"
"Enggak usah."
Nasi tumpeng favoritnya belum juga meluluhkan hati putrinya. Ibunya masih juga memikirkan cara apa lagi yang harus dilakukan. Ia begitu sabar sebab memang hanya itu yang tersisa dari dalam benaknya.
Terakhir kali Febi merayakan hari ulang tahun saat usianya tepat empat tahun, dan tentu perayaan tempo itu menyisakan kesan yang dalam. Saat itu Romo mendatangkan dua badut dan satu pesulap untuk memeriahkan hari ulang tahun. Kenang ibunya merenung di balik pintu.
Berbagai atraksi ditampilkan. Dua badut bersiap tampil di awal waktu. Tak diragukan, dua Badut itu sungguh terampil, Febi digendong badut berambut merah muda di atas sepeda beroda satu yang mengayun maju mundur. Febi teriak kegirangan. Badut berambut hijau daun datang menyambut. Kini Febi berpindah gendongan dari badut yang juga sama mengayuh sepeda beroda satu. Anak-anak bertepuk tangan.
Kemeriahan masih berlanjut, badut berambut merah muda memainkan tiga bola bowling berputar melayang beraturan. Anak-anak berdecak kagum. Badut berambut hijau daun menyusul tak kalah terampil memainkan lima botol bowling sekaligus berputar melayang beraturan. Anak-anak bersorak sorai.
Tak lama atraksi selesai dua badut itu duduk bersandar kursi dengan selonjor kaki, aksi itu seolah menggambarkan mereka sedang kelelahan hebat. Sesaat anak-anak berebut meraih badut. Diusap-usap perut badut kenapa besar bulat. Dipegangnya rambut badut kok bisa keriting rapi seperti pegas dan berwarna-warni. Dipegangnya lagi bulat merah besar hidung badut sesaat keluar bunyi terompet keras. Anak-anak terkejut, mereka semua tertawa ngikik.
Tidak satu pun menyadari, bunyi keras terompet itu sebuah kode pertanda lakon baru siap berganti tampil.
Sesaat dari dalam rumah keluar melewati pintu utama seorang pria rapi berbalut jas hitam komplit kemeja putih keluar perlahan membawa tongkat mirip Charlie Chaplin. Anak-anak mendadak bengong, kemudian riuh rendah suara lepas dari bibir di antara anak-anak itu.
"Sulap! Sulap! Itu Paman Sulap yang terkenal."
Sang Pesulap berhenti sejenak. Melepas topi hitam panjangnya kemudian membungkuk sesaat.
"Halo semua."
"Halooooo," serempak anak-anak membalas.
"Halo Febi."
Febi melempar cium telapak tangan penuh semangat dari jarak yang tak seberapa jauh .
"Sebelum Paman Sulap memulai..." sapa Sang Pesulap memperkenalkan diri, lalu melanjutkan.
"Anak-anak boleh meminta sulap yang seperti apa, silakan." Ujarnya basa-basi menawarkan seolah Sang Pesulap membawa segudang atraksi sembari menata perlengkapan sulap. Padahal ia tak lebih menampilkan dua atraksi saja.
"Oke, sekarang Paman Sulap mulai ya," sapa Sang Pesulap bersiap, dan anak-anak seketika memperhatikan. Sesaat mereka pun lupa atas tawaran yang tadi.
Sang Pesulap menggembungkan pipinya lalu melepas udara dari dalam mulutnya. Berulang tiga kali. Kemudian melepas topi lalu satu tanganya menggaruk rambut. Ia seakan lupa atas trik sulap yang sudah direncanakan. Anak-anak sedikit ragu, ini pesulap yang terkenal itu atau hanya penampilannya saja agar terkesan mirip pesulap.
Sesaat Sang Pesulap membetulkan sikap kaki lalu merapat. Ia menarik kedua telapak tangan ke depan, membolak-balikkan telapak tangan dan memperlihatkan seolah tidak sedang memegang apa pun. Kemudian ia melakukan gerakan tangan menggenggam, pelan-pelan memasukkannya ke dalam mulut.
Sang Pesulap menggembungkan pipinya persis seperti tadi lalu berlagak menelan sesuatu. Setelah itu ia merogoh mulutnya dengan tangan kanan dan muncullah sebuah pita.
Ditariknya pita itu bergantian dengan tangan kiri. Berulang terus. Namun pita itu seolah tak akan pernah habis ditarik oleh kedua tangannya. Setelah beberapa saat pita itu akhirnya habis juga. Anak-anak pun bertepuk tangan.
Sang Pesulap kemudian mengambil topi yang dipakainya.
"Ini saatnya Paman Sulap membagi hadiah untuk anak-anak."
Sontak suasana ramai tenggelam, anak-anak terlihat mengepal kedua tangan, berharap hadir sebuah hadiah berharga dari Sang Pesulap terkenal.
"Baiklah anak-anak, kita mulai bareng-bareng ya." Pinta Sang Pesulap sembari membolak-balik topi memastikan bahwa topi itu benar-benar kosong.
"Simsalabim jadi apa prok, prok, prok," sorak sorai anak-anak mengikuti ucapan.
Sesaat Sang Pesulap mengeluarkan tangan kanannya dari dalam topi kira-kira hampir 30 permen lollipop berjatuhan. Dan semua anak-anak yang hadir mendapat bagian.
“Baiklah anak-anak. Hadiah terakhir untuk sahabat kita, Febiiii,” anak-anak kembali sorak sorai.
Febi yang namanya merasa disebut oleh Sang Pesulap terlihat malu-malu. Romo yang sedang memangkunya kemudian berbisik. Febi mengangguk.
"Boneka."
Sang Pesulap yang seketika merasa tak yakin kalau aksinya kali ini bakal berhasil. Ia berusaha membuang batuk, mengusir gugup.
"Baiklah anak-anak, tolong bareng-bareng lagi ya bantu topi Paman Sulap mengeluarkan boneka seperti permintaan Febi." Anak-anak mulai tegang bagaimana mungkin topi itu mampu mengeluarkan boneka.
"Simsalabim jadi apa prok, prok, prok," sorak sorai anak-anak mengikuti ucapan Sang Pesulap lagi.
Sejenak topi malah mengeluarkan kain hitam, ditariknya kain itu malah semakin panjang dan menjuntai lebar hingga topi Sang Pesulap terjatuh. Anak-anak tampak heran, sesaat keluarlah boneka sesuai dengan permintaan Febi. Sebuah boneka besar berbentuk Angsa berbulu sembilan.
“Waa hebat. Hebat.” Teriak anak-anak menyaksikan.
“Terima kasih anak-anak,” kata Sang Pesulap sembari membungkukkan badannya. Pertunjukan selesai.
Hari itu menjadi hari paling bahagia bagi Febi. Paman Sulap yang terkenal itu sungguh baik. Memberinya hadiah boneka Angsa berbulu sembilan. Tentu boneka itu bukan sembarang boneka. Dipesan khusus begitu Febi mendengar.
Sebelumnya, Romo tampak gelisah. Paman Sulap menolak permintaan yang ini, sebab ia membayangkan bagaimana bodohnya jika aksinya gagal. Ini betul-betul di luar kemampuannya sepanjang karier menjadi pesulap
Sesuatu yang mustahil boneka sebesar itu masuk ke dalam topi hitam yang hanya sebesar batok kepala. Beruntung ibu Febi memiliki selendang hitam. Setidaknya Sang Pesulap masih bisa mengecoh pandangan anak-anak yang menyaksikannya.
Mengenang hal ini, ibu Febi tersenyum dan menggeleng kepala. Sesat ia merasa memiliki kekuatan untuk meluluhkan hati putri semata wayangnya itu.
****
"Ibu jahat!!! Ibu jahaaattt!!!"
Teriak Febi begitu keras. Sudah dua jam sejak ibunya beranjak dari dalam kamar Febi tak bersuara. Teriakan itu seolah memberi tanda Sang Ibu tampak lega.
Tumpeng lucu sebesar piring makan siap merayakan ulang tahun Febi yang ke-tujuh. Sang Ibu masuk ke dalam kamar pasrah. Ia melihat Febi masih berbaring membelakangi ibunya sembari memeluk erat boneka Angsa berbulu sembilan.
Diambil bingkai foto tergeletak di samping wajah putrinya. Sang Ibu memberi kecupan rindu di foto itu lalu meletakkan berdiri menghadap ke arah putrinya.
"Maaf ya nak, belum bisa menghadirkan ulang tahun seperti tiga tahun yang lalu." Ibunya merayu lembut.
Mendengar itu, Febi yang menatap sela-sela bulu sembilan terkejut. Sesaat ia membalik badan.
"Hmmm..." Ibunya memperlihatkan tumpeng mini favorit Febi.
Sembari membangkitkan Febi dari tempatnya berbaring, Sang Ibu dengan tangannya yang lembut ikut memegang boneka hadiah terakhir kesayangannya itu.
"Febi sudah tahu boneka Angsa berbulu sembilan ini apa maksudnya!!"
Febi mengangguk. Sekejab Febi memeluk Sang Ibu sangat erat.
"Tahun depan genap delapan tahun ibu janji. Kita undang Paman Sulap lagi ya!" katanya lirih.
Sontak Febi tampak marah manja, "Nggak mau!! aku kira Paman Sulap yang kasih Angsa berbulu sembilan."
Sang Ibu tertawa lepas. Febi terlihat manja. Sang Ibu menunjukan sebuah tulisan dari rangkaian benang terselip di antara Angsa berbulu sembilan. 'Romo, 29 Februari'.
TAMAT