Ketika langit meremang jingga jauh di sebuah pos jaga melintas sesosok bocah hilang di antara batang-batang tebu yang menjulang tinggi. Sekejap Penjaga tebu mendapati hal itu ia teringat akan sesuatu. Ia menerka-nerka apa gerangan ingatan itu.
Ketika ingatan itu menampakkan secercah cahaya, sekejap cahaya itu kemudian meredup. Sesaat muncul lagi, seketika lenyap lagi. Begitu terus menerus. Hingga suatu ketika ia merasa lelah oleh beban ingatan itu. Tanpa berpikir panjang di atas meja ia letakkan tangan melintang menjadi sebuah bantal dari kepalanya yang kliyengan.
"Pak! Pak!!" sapa bocah itu sembari menggoyang lengan Penjaga tebu. Namun, bukan malah terjaga, tetapi suara dengkur yang semakin keras didapatnya.
"Sudah mau magrib, Pak!!" lanjutnya sedikit nyaring. Sontak penjaga tebu itu terjaga. Kali ini, pandangannya tertuju ke langit lalu ingatannya akan sesuatu mulai menampakkan titik terang.
Sesaat, sorot bola matanya beralih ke arah bocah yang baru saja membuatnya terjaga.
Dipandangnya bocah itu dari ujung rambut hingga  jempol kaki. Ia mengernyit, mendapati sesuatu tepat di sebelah kaki bocah itu. Tampak jelas seikat daduk dan potongan tebu. Penjaga tebu lalu berdiri.
"Sebatang tebu?" tanya Penjaga tebu.
Bocah itu mengangguk.
Sesaat, Penjaga tebu, menarik napas panjang... ... ... ... ...
Sudah empat hari setiap jam tiga sore Rusdi selalu pergi ke ladang tebu untuk mengumpulkan seikat daduk. Sebetulnya ayah Rusdi sudah melarang, sebab ladang tebu itu bukan milik mereka. Tetapi, milik pabrik gula yang letaknya tidak jauh dari dusun tempat mereka tinggal.
Terlebih, para penjaga ladang tebu, konon dikenal tegas dan sangar. Jangankan sampai menebang satu batang tebu, meranting daduknya saja tidak boleh. Andai kata berbuat nekad, lalu tertangkap. Urusan bisa jadi panjang. Dan apa yang dilakukan para penjaga tebu tidak salah, mereka dipekerjakan memang untuk seperti itu.
Ladang tebu milik pabrik gula itu sudah pasti sangat luas. Luasnya sejauh mata memandang. Karena dusun tempat tinggal Rusdi masuk dalam lingkaran ring satu, salah satu warga di dusun mendapat jatah menjadi pegawai di pabrik gula itu.
Nama warga yang beruntung itu adalah Supeng. Pasturnya tinggi, kumisnya tebal mirip Pak Raden di serial Unyil Usro. Di dusun itu Supeng dikenal seorang pria yang gagah, badannya atletis perutnya berbidang. Kata orang zaman sekarang populer dengan sebutan Sixpack.
Akan tetapi, semenjak Supeng diangkat menjadi pegawai tetap dan berdinas di bagian divisi keamanan, ia seakan lupa dengan bentuk badannya yang dulu pernah sixpack itu. Walau begitu Supeng sedikit-sedikit masih mau mengolah badan, ia sadar juga mungkin ada yang keliru dengan bentuk perutnya yang kini berubah menjadi onepack.
Di usia yang sudah tidak lagi segar, Supeng memiliki anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Satu kelas bersama Rusdi. Nama anaknya Supri. Mereka berdua akrab. Sangat kompak. Sejak berkawan Rusdi anaknya kerap mewakili sekolah menjadi kontingen perhelatan tahunan lomba cerdas cermat.
Suatu sore, ketika Rusdi sedang asyik santai di sebuah gubuk bambu dekat ladang tebu Supeng menghampiri. Mereka saling bercakap-cakap.
"Eih... Santai Kali kau Rus!"
"Santailah, Pak."
"Banyak kali rumput kau tebas."
"Kambing satu ekor, tapi soal makan, kuatnya minta ampun."
"Sudah kubilang ke ayah kau itu, aku takut kambing yang kau punya itu jangan-jangan, Rus, kambing jadi-jadian."
"Eiihh... Ada lagi baru Bapak nih bisa-bisanya mengarang cerita."
"Nah, Rus, kau dengar kali ini," ujar Supeng seperti beranjak serius. "Tempo itu ayah kau bilang susah kali kayu bakar didapatnya. Resah juga ayah kau itu mana batu bata kering sudahlah menumpuk. Mana mungkin tungku menyala kalau kayu bakarnya saja tak cukup."
Rusdi khusyuk mendengarnya. Lalu Supeng masih melanjutkan. "Kau bantu ayah kau itu sedikit-sedikit."
"Apa yang bisa kubantu, Pak. Tak banyak kukenal orang yang menjual kayu bakar."
"Bukan itu maksudku!" Supeng melanjutkan. "Kau bisa kan, masuk ke dalam, kumpulkan daduk-daduk itu lalu bawa pulang. Berbakti sedikit-sedikit lah ke ayah kau itu."
"Aiihh. Mencuri itu namanya. Tak mau aku!!!
Supeng terkekeh mendengar itu. Kemudian Rusdi melanjutkan.
"Masih ingat betul ayah berkata waktu itu, dilarangnya keras aku memungut daduk-daduk di ladang tebu."
"Eh, Rus!!! Bilang pada ayah kau, aku yang suruh."
Rusdi manggut-manggut. Magrib hampir menyapa. Mereka berdua kemudian bergegas pulang.
Begitulah awal bermula Rusdi berani memungut daduk di ladang tebu. Ayahnya betul-betul merasa terbantu. Hingga pada suatu ketika gudang hampir penuh dengan tumpukan seikat daduk. Rusdi pun bersiap-siap berangkat.
"Ke mana lagi kau mau pergi?" tanya ayahnya.
"Tinggal sedikit lagi, penuh."
"Daduk..." tanya ayahnya lagi.
"Sudah pasti."
"Cukup Rus. Tak enak hati ayah kepada Supeng."
"Tak apa, Yah. Mungkin hanya dengan cara ini Pak Supeng membantu kita"
"Tapi, masih kau bantu kan anaknya itu!"
"Pastilah." Sesaat Rusdi pun berangkat ke ladang tebu.
"Hati-hati, Rus!!!" teriak ayahnya.
Mulanya saat menuju pulang Rusdi tampak begitu tenang memikul daduk di atas kepala, tetapi ia terkejut saat sorot matanya menangkap petugas pos jaga yang kebetulan saat itu bukan giliran Pak Supeng. Akan tetapi, lelaki tambun Mandor tebu yang seketika tahu mendadak berubah merah murka.
"Hooiii...!!!" bentak Mandor tebu.
Sontak Rusdi menurunkan daduk yang dipikulnya.
"Apa ini...!!!"
Rusdi menunduk.
"Panjang tangan kamu ya, haahh!!!"
Rusdi diam membeku.
"Ayo jawab!!! Kecil-kecil sudah berani masuk ladang milik pabrik!!!"
Rusdi masih mengunci mulut .
"Ayo jawab!!!" bentak Mandor tebu kali ini lebih keras.
"Se-se-seikat-t-t da-duk, Pak," jawab Rusdi gagap.
Memang sekelebat tampak seikat daduk, tetapi Mandor itu tak percaya. Ada yang janggal di seikat daduk itu. Tak lama ia bongkar ikatan daduk itu.
"Ngangudbillah!!! Ini apa...!!!"
Rusdi mulai ketakutan. Ia mulai sesenggukkan. Sore sudah mau tenggelam. Supeng yang kebetulan baru saja selesai memancing di sungai dekat ladang tebu, mendengar suara keras yang tidak asing. Ia mendekat.
"Ndor... Sudah Ndor, sudah-sudah, magrib ini Ndor," ujar Rusdi menenangkan Mandor dengan kedua tangan memegang pundaknya.
"Apa-apaan ini Peng! Kalau manajemen tahu, ini nasib kita...!!!"
"Iya, iya, aku mengerti Ndor. Begini Ndor..." Supeng membisikan sesuatu ke Mandor tebu. Sesaat dia manggut-manggut.
Tak lama berselang ia mendekati Rusdi, entah apa yang dikatakan Mandor itu. Rusdi terlihat mengusap pipinya yang basah. Kemudian pamit dan beranjak pergi. Kini tinggal mereka berdua menyelesaikan masalah ini di pos jaga itu... ... ... ... ...
"Sebatang tebu?" tanya Rusdi lagi.
Bocah itu mengangguk.
Sesaat, Rusdi, menarik napas panjang.
Rusdi menunduk, lalu ia pisahkan sebatang tebu yang sudah dipotong pendek-pendek itu dari tumpukan daduk tadi. Kemudian Rusdi mengikat daduk seperti semula. Sesaat Rusdi bangkit, ia keluarkan beberapa lembar dari dalam dompetnya.
Bocah itu masih menunduk, Rusdi kembali menyapa.
"Ini, untuk adikmu. Dan yang ini, kau simpan disakumu. Sekarang segera pulang magrib sudah mau datang."
Bocah itu mengangguk lalu beranjak pergi. Meninggalkan Rusdi beserta potongan tebu di pos jaga.
***
Sesampainya bocah itu di pelataran rumah, ia mungkin mengira Penjaga tebu datang dan melapor kepada ayah dan kakeknya dari apa yang baru saja ia lakukan di ladang tebu tadi.
Sesaat ayahnya menyambut seikat tebu yang dipikul bocah itu, menaruhnya di gudang dan membawanya duduk di kursi bambu. Mengetahui cucunya baru datang, dan tampak lemas, Supeng menuangkan segelas air tebu yang masih segar. Si Bocah mendadak bengong.
"Dua botol air tebu ini, khusus buat kau katanya." Bocah itu meminumnya pelan-pelan.
"Iya, Kak. Baru saja Pak Rusdi datang." Teriak adiknya asyik membuka bungkus kresek besar yang penuh dengan aneka jajan.
"Aigh! Akrab kali kau dengan Pak Rusdi!!" timpal Supri kepada anaknya itu.
Bocah itu masih belum mengerti apa maksudnya ini, sesaat ia berubah tampak riang, kemudian loncat-loncat kegirangan.
Rusdi belum jauh dari tempat itu menyaksikan tawa penuh bahagia dengan perasaan paripurna. Sebetulnya, apa yang ia lakukan hanya mengulang seperti tempo itu Supeng memperlakukan pada dirinya sama persis.
***
TAMAT
Catatan
Daduk: Daun kering yang melekat pada batang tebu.