Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Pada Satu Malam Kopi Nikmat Sekali

9 Desember 2024   07:53 Diperbarui: 3 Januari 2025   13:30 298 34
Pada Satu Malam Kopi Nikmat Sekali

Sungguh menakjubkan program debat di televisi raksasa yang terpampang di sudut gedung itu. Sebuah program yang digadang mampu mengurai berbagai masalah rumit di negeri in. Mungkin itu menurut versi mereka, tentu bagi yang hadir di dalam televisi raksasa itu. Mereka kerap memakai istilah-istilah rumit biar dianggap aneh dan nyeleneh. Kalau sudah begitu, aku dan dari sekian pengunjung di kedai kopi Mak Irah, hilang gairah menaruh perhatian. Detik itu juga, tak ada yang mau peduli.

... ... ...

Sore itu, penyakit malasku tiba-tiba saja kambuh. Bukan karena aku tak suka dengan tambahan jam lembur, tapi... Ah, sudahlah, toh seperti apa menggerutu tetap saja aku yang harus lembur. Mungkin, ada baiknya, aku bersihkan lantai parkir dari dalam hingga kemudian berakhir di area luar. Setelah itu, aku lanjutkan lagi santai di kedai Mak Irah sembari menyedu kopi.

Sebetulnya, banyak dari teman-temanku yang menginginkan jam lembur ini. Hasilnya lumayan, bisa untuk beli nasi rendang padang 30 bungkus. Namun, entah kenapa, Big Bos hanya memilihku. Sampai detik ini, aku tidak tahu apa maksudnya.

Semua Teman-temanku terkadang tak habis pikir, mereka yang lebih tertib dan manis, justru tidak pernah lagi dapat jatah lembur di hari khusus ini. Kalau sekedar etos kerja jadi tolak ukur, apa yang kulakukan sebetulnya kalah jauh dibanding dengan teman-temanku. Aktivitas ngopiku justru lebih banyak ketimbang kerjaku.

Suatu kali, Big Bos di jeda waktu istirahatnya menemuiku di kedai kopi Mak Irah. Kami mengobrol banyak dan santai. Tentu, Big Bos menguasai penuh tema obrolan. Terkadang tentang soal remeh-temeh. Tentang anaknya yang masih duduk di SMA pengin sekali punya mobil. Sudah bosan katanya kalau hujan selalu pakai mantel. Tentang istrinya yang terjangkit candu pelesiran ke luar negeri. Tentang encoknya yang sering kambuh. Atau tentang dukun pijat yang top di kota ini.

Dulu, sebelum aku yang dapat jatah lembur, Big Bos selalu memperlakukan teman-temanku sama persis seperti apa yang kualami. Satu yang kuingat betul kata sopirnya tempo itu. "Pokoknya Mas! Sampean cukup dengarkan saja saat Big Bos bercerita tentang hal apa pun."

Pada suatu malam, Big Bos tidak sempat berkunjung di kedai kopi Mak Irah. Padahal, aku sangat menantikan uang tambahan, eh salah, maksudku kehadirannya. Keceplosan. Namun, Pak Udin yang menggantikannya untuk mengunjungiku di kedai Mak Irah tepat di seberang jalan depan gedung milik Big Bosku itu. Pak Udin ini sopir pribadi Big Bos. Cuma dia saja sopirnya, tidak punya stok lagi. Dan aku, orang paling beruntung bisa mengenalnya lebih dekat.

"Sudah berapa lama ikut Big Bos, Pak?"

"Sepuluh tahun Mas."

"Wow! Pak Udin kok betah ya?"

"Bagaimana enggak betah Mas, bisa buat bikin rumah di kampung." Terang Pak Udin sembari menuang kopi yang masih panas ke sebuah lepek.

Jawaban Pak Udin sebetulnya membuatku tertegun, tetapi aku berusaha datar. Seolah apa yang baru saja dikatakan tidak membuatku terkejut. Alias biasa saja. Kini, ganti Pak Udin yang bertanya.

"Mas Tomi sendiri kok juga betah kenapa?"

"Ya... Bagaimana menjelaskannya ya Pak." Jawabku kebingungan harus memulai dari mana.

"Ah! Mas Tomi bisa saja. Enggak usah malu-malu. Oh ya, ada titipan dari Big Bos." Ujar Pak Udin sembari menyodorkan sebuah amplop tebal.

"Ja-ja, jangan Pak! Sampaikan saja ke Big Bos.  Terima kasih." Balasku dengan dua tangan menolak. Namun, Pak Udin sepertinya jauh lebih berpengalaman soal ini. Begitu kedua tanganku terangkat di situ tanda ada celah. Sesaat Pak Udin memaksa amplop cokelat mendarat mulus di saku celana panjangku. Dan, aku pasrah tak bisa berbuat banyak.

"Salam untuk Big Bos ya Pak. Kenapa sih kok harus repot-repot seperti ini!" ujarku sedikit basa-basi.

"Ah... Mas Tomi bisa saja." Timpal Pak Udin dengan kalimat khasnya. Kemudian melanjutkan. "Yang penting. Dijaga loh Mas. Enggak usah banyak tanya. Pasti lancar kok."

"Aman. Aman Pak Udin." Tukasku sembari menyeruput kopi. Dan malam ini kopi terasa nikmat sekali, batinku.

Kini ganti aku yang memancing obrolan.

"Pak Udin enggak pengin menonton?" tanyaku dengan jari telunjuk ke arah televisi raksasa yang pas kebetulan sorot kamera ke arah Big Bos yang sekaligus pemandu program.

"Ngapain Mas, kurang kerjaan saja."

"Tapi, barangkali nih, tiba-tiba saja Big Bos bertanya, bagaimana?"

"Memangnya, selama ini, Big Bos pernah bertanya soal itu ke Mas Tomi?" ujar Pak Udin balik bertanya.

Aku menggeleng.

"Oh ya! Mas Tomi ini, menurutku orang paling lama yang dipilih Big Bos daripada teman-teman yang lain."

"Oh ya!" balasku dengan melempar senyum.

Pak Udin mengangguk kecil.

Malam itu kami berdua mengobrol santai tentang soal yang banyak. Dan kami sudah seperti bapak dan anak. Karena sudah pegang amplop tambahan, aku bisa ambil gorengan sesukaku.

"Hati-hati loh Mas, malam ini dingin sekali. Bisa mencret terlalu banyak cabai rawit." Ujar Pak Udin mengingatkan.

Menurutku, justru malah pas dong. Cuaca dingin menikmati gorengan diiringi cabai rawit. Badan jadi hangat dan berkeringat. Biasanya, program debat yang dipandu Big Bos selesai tepat jam dua belas malam. Terkadang sedikit aku coba melirik ke layar raksasa itu perdebatan semakin panas. Sesaat aku izin sejenak untuk ke toilet. Pak Udin mempersilakan.

Dari sekian teman-temanku, hanya aku yang masih melajang. Sebetulnya usiaku sudah cukup untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga, tetapi aku masih menikmati kesendirian ini. Sesaat, aku sudah bergabung bersama Pak Udin lagi dan melanjutkan obrolan. Pak Udin juga mengisahkan tentang pribadi Big Bos. Kalau sudah begitu suaranya mengecil. Di tengah pembicaraan, aku, lagi-lagi izin ke toilet.

"Betulkan! Apa kata saya tadi!" ujar Pak Udin meramal apa yang sedang menimpaku.

Kali ini badanku mendadak begitu terasa lemas. Sudah dua kali ke toilet belum juga tuntas mules yang aku rasakan. Pak Udin coba membongkar isi tasnya. Namun, dia tidak menemukan apa yang sedang dicarinya itu.

"Biasanya saya selalu bawa obat mencret." Ujarnya sembari menyusuri kantong-kantong kecil di tasnya.

"Pak Udin! Kayaknya ini parah." Ujarku bergegas lari menuju Toilet lagi. Sampai di toilet, kali ini harus menunggu antre. Sesaat, aku kembali. Pak Udin yang ikut gugup melihat tanganku menahan perut, lalu menunjuk ke arah gedung.

"Ke tangga darurat saja, Mas!"

Seketika, aku langsung bergegas menuju tangga darurat. Sebelum menyeberang jalan, tiba-tiba Pak Udin mengejarku. Memberi tahu agar aku pulang saja. Soal Big Bos, biar Pak Udin yang atur. Begitu katanya. Toilet yang dimaksud letaknya persis di bawah tangga darurat lantai dasar. Dan di lantai dasar ini, menjadi area parkir khusus untuk undangan tamu spesial. Aku hanya perlu memutar sedikit dari halaman depan.

Saat aku menyeberang jalan. Kulihat televisi raksasa itu sedang tegang. Sepertinya sesi debat semakin panas. Orang-orang yang kebetulan lewat berhenti sejenak turut menyaksikan. Kulihat jam di tangan, jarum pendek hampir mendekati angka dua belas, sedang jarum panjang menunjuk angka 45. Itu artinya 15 menit mendatang, program selesai.

Kalau saja ada lowongan nominasi sutradara terbaik, aku berencana mengikutsertakan Big Bos di perhelatan Piala Oscar. Ibarat sebuah film yang dibintangi Tom Cruise, di akhir kisah ia begitu tenang menyelesaikan misi-misinya sesuai waktu yang sudah ditargetkan. Persis seperti itu cara Big Bos memainkan irama di program debat yang dipandunya.

Badanku kali ini betul-betul kurang bersahabat. Ingin rasanya menggeber belalang tempur lalu pulang. Jarum jam di tangan menepi di angka 12 pas. Suasana parkir tidak lagi sepi. Terdengar sayup-sayup suara roda empat beranjak pergi. Kuraih tuas pintu, kubuka pelan-pelan. Belum sempat total terbuka terdengar suara penuh suka cita. Sebuah percakapan seperti tim bola yang didukung mati-matian baru saja menang telak. Naluriku berusaha mencari dari mana asal suara itu. Aku membungkuk mirip adegan detektif Conan mencari sebuah informasi berharga. Kuintip dengan sebelah bola mata, mereka orang-orang yang tadi perang urat saraf di dalam layar raksasa. Mereka saling merangkul pundak. Cengengas-cengenges. Berbagi sebatang rokok. Sesekali menepuk dada. Betul-betul akting yang memukau mirip artis papan atas jebolan Hollywood. Begitu ternyata cara mainnya. Bajingan!

Kali ini di balik dinding toilet aku sedikit menenggelamkan badan. Tuas pintu kutarik dan kembali kututup pelan-pelan. Di saat bersamaan, kudengar sebuah hentakan langkah kaki yang tak asing masuk ke telingaku.

"Melaju kencang, sangat kencang." Sapa Big Bos dengan tangan menepuk pundak orang-orang yang aktingnya tersohor tadi. Mereka berjabat tangan, sebelum berpisah. Lalu satu-satu amplop tebal mereka terima dengan wajah tersipu malu. Untuk mengusir canggung, Big Bos memperlihatkan grafik di layar ponsel, lalu menegaskan bahwa rating program malam ini meroket di luar perkiraan.

Sesaat, aku menarik pandangan dari celah lubang angin. Kuturunkan badan pelan-pelan. Berusaha duduk di kloset duduk semampuku. Memulihkan irama jantung yang berdegup kencang. Memang baiknya aku tetap seperti ini saja. Biar dikata aku seorang benalu itu tak apa. Yang penting amplop cokelat di kedai kopi Mak Irah senantiasa mengalir lancar, selancar jalan tol yang berbayar itu.

TAMAT

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun