Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung Pilihan

Kopdar Taruhan (3)

16 September 2024   11:30 Diperbarui: 16 September 2024   13:12 163 13
Sore itu, di dalam kamar Sendok udud klepas-klepus. Sendok baru saja selesai memperbaiki laptop milik salah satu temannya. Mukanya tidak berubah, masih sumringah persis seperti tadi saat menerima salam tempel. Saya tidak ingin merusak suasana hati Sendok.

"Dok! Nih, masih sisa lumayan banyak."

Saya kembalikan amplop salam tempel yang didapat dari reparasi laptop milik temannya tadi. Dan kemudian menemani Sendok udud.

"Sisa berapa Hen?"

"Sekitar 250 ribu, Dok."

"Looo, kok masih banyak..."

"Katamu jangan dihabiskan!"

"Cakep."

"Dobol!" gumam saya.

"Ikut yuk!" ujar Sendok sembari mengeluarkan asap rokok berbentuk O dari mulutnya.

"Kemana?" tanya saya penasaran.

"Kopdar," ujar Sendok mendadak berdiri. Kemudian ganti pakaian.

Saya mendekatinya. "Nobar Final Liga Champions ya?"

Sendok mengangguk.

Tempat kopdar kami di kedai kopi sederhana dekat Gramedia Jalan Kayu Tangan. Lumayan jauh dari kos kami yang terletak di daerah Sumbersari. Kira-kira 45 menit jalan kaki sudah sampai. Berangkatlah kami berdua dengan naik angkot. Saat angkot ngetim di Jalan Veteran, Sendok berkisah, konon kawasan yang kita lewati ini katanya, kawasan pendidikan. Tapi entah kenapa keajaiban itu datang, keesokan harinya, sudah tegak berdiri Mall yang begitu gagah. Saya mengangguk-angguk saja. Saya kurang berminat apabila mendengar kisah klenik-klenik semacam itu.

Tidak lama kemudian, angkot mulai bergerak. Menyusuri Jalan Ijen, belok kiri ke Jalan Semeru, dan sebelum perempatan BCA dekat Jalan Kayu Tangan kami turun.

"Sebentar... Sebentar..." ujar Sendok memantik korek menyalakan sebatang rokok dan duduk.

"Rokok Hen... " Sendok menawarkan.

Saya menggeleng. "Duwit ae Dok," tukas saya.

"Woo... Dobol!!!"

Sebatang rokok habis, saya dan Sendok lanjut ke Jalan Kayu Tangan. Tidak sampai 10 menit Toko Buku Gramedia sudah di depan mata. Begitu pula kedai kopi sederhana yang kami tuju terlihat sangat jelas.

Kedatangan Sendok disambut salaman dari peracik kedai kopi. Mbah Lawas panggilannya. Saya ikut bersalaman dengan Mbah Lawas. Lalu Sendok memperkenalkan saya. Si Mbah menyapa, kemudian saya membalas, saya tidak bisa jawa kromo, Mbah Lawas tidak mempermasalahkan. Sesaat kemudian Mbah Lawas menyajikan kopi untuk Sendok dan saya.

Kopi buatan Mbah Lawas harum aromanya. Mumpung masih panas, saya tuang ke lepek, saya seruput pelan-pelan. Saya kaget, langsung cespleng kuat rasa kopinya. Sangat pas kalau disambi dengan rokok kretek. Sambil merokok, saya lihat di sekitar kedai kopi semakin lama semakin ramai. Persis di dekat tempat saya duduk berdiri tegak layar proyektor. Nobar kali ini mempertemukan Milan lawan Liverpool.

Sendok masih terlihat ngobrol asyik bersama Mbah Lawas. Sedikit yang bisa saya tangkap, sepertinya Mbah Lawas berkisah babad Kayu Tangan. Tidak lama rombongan suara knalpot GLpro memasuki area kedai kopi lalu parkir. Salah satu diantaranya, mendekat ke arah kami. Saya kira orang itu pasti kepala suku. Terlihat warna jersey yang berbeda dari rombongan lain. Posturnya, kira-kira kurang dari 175 cm.

"Seeennddoookkk... " teriak pria tersebut. Sesaat Sendok bangkit lalu salaman dan berpelukan.

"Gimana... gimana... " balas Sendok senyum-senyum.

"Ngopi sik... ngopi sik... " tambah pria tersebut, "Kopi pait Mbah, kayak biasa-e."

Sesaat tangan pria itu menunjuk saya.

"Kanca anyar ya... " tanya dia kepada Sendok.

"Kenalan sik... kenalan... " balas Sendok.

"MANGKOK," ujarnya mantap, mengenalkan nama panggilan dan salaman.

"Henri," jawab saya singkat sembari menahan tawa.

Lama-lama saya jadi merasa aneh. Sebetulnya sahabat saya ini punya sekte atau komunitas apa. Kok hampir semua nama panggilan yang saya kenal seperti perangkat kitchen set. Awalnya Garpu, kemudian Sendok, dan sekarang Mangkuk.

"Aja diracun lo Dok, arek iki" ujar Mangkuk yang tangannya menunjuk saya lagi.

"Nggak mungkinlah! Dia pemuda baik-baik." balas Sendok setelah menyeruput kopi.

Batin saya. Pemuda baik-baik macam apa. Wong hidup saya saja bergantung padanya. basa-basi yang nggak lucu.

"Yak apa Dok! kamu berani berapa?" ujar Mangkuk menantang, dan masih dengan gaya khasnya senyum-senyum.

"250. Piye?" balik Sendok menantang mantap.

"Oookee," tukas Mangkuk cepat.

"Deal," ujar Sendok yang langsung disambut Salaman sebagai tanda sah.

Sesaat saya lihat Mangkuk mulai keliling. Menarik tarif taruhan nobar final bola. Ini taruhan model baru, saya kurang tahu konsepnya.

"Dok, maksudmu apa? Itu kan kalo nggah salah uang salam tempel yang tadi?" setengah berbisik saya berkata begitu.

"Hen... Taruhan pake duwit yang didapat dari kebaikan. Pasti membawa kemenangan," ujar Sendok lirih.

"Gundulmu. Bukan itu persoalannya. Sembako yang tadi aku beli, cuma kuat bertahan 2 hari. Dobol!"

"Santai Lur," tambah Sendok. "Kalo aku menang, 15 hari aku santai, kamu juga santai. Enggak repot-repot setor tulisan."

"Saranku. Kamu harus balik kucing. Dan pegang Milan," ujar saya tegas.

Sendok masih tetap kukuh. "Aku sudah dikenal sebagai fans Liverpool garis keras. Dan saranmu, maaf. Konyol!"

"Dok. Tak bilangin ya. Don Carlo sudah pasti pakai taktik, gembling. Ini final kali kedua mereka bertemu. Yang jelas, Milan tanpa beban."

"Hais... haaiisss... teorimu enggak mashhookk! Mending, kamu buat teori tepat guna, yang menghasilkan manfaat besar untuk kehidupan,"

"Yawis... Sebagai kanca kentel, hanya itu yang bisa aku berikan. Dan menurutku, itu yang terbaik."

Sendok hanya mengangguk biasa, acuh.

Pertandingan babak pertama sudah mulai. Kedua tim, memilih jual beli serangan. Sedang Sendok acap kali terpantau mengusap kepala. Mulutnya, terlihat komat-kamit. Ada 2 dugaan saya. Pertama, bisa jadi itu doa. Kedua, bisa juga itu ungkapan lirih serupa umpatan. Dua menit sebelum turun minum Kaka dilanggar. Untungnya, di luar kotak titik dua belas. Menghasilkan tendangan bebas. Pirlo ditunjuk sebagai algojo. Bola pun ditendang kencang. Sebagai penjaga gawang berkelas dunia, enteng saja Reina membaca arah bola. Tapi nahas, tiba-tiba saja bola berganti arah. Bahu Inzaghi penyebabnya. Alhasil, bola berganti arah dan gol.

Sendok teriak. "Inzaghi dobooolllll," ujarnya menyalahkan ujung tombak pemain Milan itu. Saya hanya diam mendengarnya. Satu kosong untuk milan. Hingga datang waktu turun minum, Liverpool belum bisa menyamakan kedudukan. Babak pertama, milik milan.

Berikutnya babak kedua dimulai, Liverpool masih dominan menyerang. Peluang emas dari jenderal lapangan tengah Steven Gerrard belum berbuah gol. Muka Sendok mulai pucat. Inisiatif mengganti pemain besaran-besaran dilakukan. Sepertinya, hampir satu RT dimasukan Liverpool. Menit 81 momen menyakitkan, Kaka memberi umpan trobosan, kemudian Inzaghi meresponnya dengan baik. Gol pun terjadi. Kali ini, muka Sendok berkeringat. Lali menunduk lemas. Sebetulnya Liverpool, juga mencetak gol melalui sundulan Kuyt. Tapi hasil masih tetap dua satu sampai 90 menit berakhir. Milan Kampium.

Sendok masih tampak kesal. Saya biarkan sumpah serapah keluar. "Inzaghi dobol. Jan dobol tenaaannn!!!" lanjut Sendok, mengancam. "Awas kau kalau ketemu di jalan."

Batin saya. Hambok sejak kapan Inzaghi tercatat sebagai warga Malang. Sebetulnya sewaktu pulang, Sendok menyadari. Tapi bukan penyesalan karena taruhan kalah. Tapi lebih kepada tim kesayangannya. Kata Sendok, tim sebesar Liverpool, harus tunduk kepada pemain yang dianggap tidak punya skill selain keahlian lolos dari jebakan offside... bikin malu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun