Warung masakan Padang punya andil besar dalam hal ini. Suatu kali Sendok dan teman-temannya baru saja selesai menikmati hidangan di warung Padang. Tidak disengaja, salah satu dari mereka menangkap ada yang tidak biasa. Dari sekian meja di warung Padang itu tidak didapati tisu dan tusuk gigi. Yang ada di meja hanya sendok dan garpu saja. Kemudian semua pandangan mendadak beralih pada sosok Sendok dan Riyadi. Nah! sejak saat itu nama Riyadi bertransformasi menjadi Garpu. Diilhami dari situ mengapa Riyadi dipanggil Garpu.
Kala itu nasib saya di Kota Malang tidak jelas, Garpu mengajak saya bertamu ke kos Sendok. Di sini awal saya mengenal Sendok. Garpu bilang, suatu hari saya bakal menemui nasib baik kalau saya berprilaku santun kepada Sendok.
Sedikit gambaran tentang Sendok saya peroleh dari Garpu. Sendok orangnya sangat baik, dermawan, kalau sudah berargumen sulit untuk dilawan. Memiliki wawasan yang luas, kutu buku, posturnya kurus, tingginya 170cm kurang sedikit. Dan indomie goreng campur telor ceplok adalah makanan kesukaannya. Kegiatan sehari-hari Sendok cuma menulis. Kalau sudah menulis bisa berlarut-larut. Tapi kalau sudah datang penyakit malasnya juga bisa berlarut-larut.
Sampai saya menulis tentang sosok Sendok di bagian ini, sebetulnya, saya malas sekali. Sendok bukan orang yang gampang dirayu untuk bercerita tentang siapa dirinya. Teman-temannya juga berkata demikian. Bagi Sendok, sajian indomie goreng campur telur ceplok jauh lebih bermakna daripada harus bercerita tentang dirinya.
Suatu kali saya mencoba peruntungan, mengulik cerita dari sosok Sendok. Saya siapkan perangkap. Siapa tahu kalau beruntung, saya bisa menulis sepenggal kisah tentang dirinya. Mula-mula saya siapkan indomie goreng dan telur ayam yang baru saya beli dari Indomaret. Sendok terlihat sangat sibuk di depan monitor. Jemarinya menari-nari di atas papan ketik. Kalau sudah seperti itu dia tidak bisa diganggu. Tapi jauh di lubuk hati paling dalam, saya optimis bisa. Bila gagal, tidak jadi masalah. Pepatah bilang, "Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda." Preeettt.
"Kamu masak indomie goreng berapa bungkus Hen?" tanya Sendok membuat saya langsung kaget seketika. Rupanya kuat juga aroma bumbu indomie ini. Tentu ini kesempatan yang baik buat saya menggiring Sendok masuk perangkap.
"Kenapa Dok? Kalo kamu mau tak buatin aku nggak keberatan kok."
"Pake telor ya Hen!" balasnya cepat.
"Okee. Siaaapp! Dok."
Kali ini pepatah itu salah. Mungkin yang benar seperti ini, "Kesuksesan adalah kegagalan yang tidak jadi." Saya bukan tipikal orang yang mudah menyerah. Bila sudah jadi tekad bulat, tentu saya kejar sampai dapat. Untuk sementara Sendok masuk perangkap. Sejak pagi bangun tidur Sendok belum makan sama sekali. Lalu tiba-tiba saat dia sedang mager karena harus kejar setor tulisan, sudah tentu perutnya pasti lapar. Dan ketika ada seseorang berkenan menyajikan untuk dirinya walaupun sekedar mie goreng campur telor ceplok, hatinya pasti luluh. Saya tahu betul karakter Sendok. Saya mencoba mulai masuk ke pertanyaaan yang sudah saya pikirkan ketika saya selesai belanja dari indomaret.
"Dok. Kira-kira apa yang paling berkesan tentang Ayahmu di saat kamu masih kecil?"
"Dikasih duwit jajan." Jawabnya cepat, singkat, dan nggak masshook.
"Serius ini Dok?"
"Hehhhh! Aku malah lebih serius," Sendok malah ngegas. "Ehhh, Hen. Tidak ada yang tidak berkesan. Beliau itu ayahku. Pertanyaanmu itu betul-betul nggak masshhokk!"
"Yawis-yawis, biasa saja. Enggak usah galak-galak."
"Gini. Ada nggak cerita di mana kamu betul-betul susah lupa selama bareng sama ayahmu?"
"Pertanyaanmu mbulet Hen. Wis jan nggak masshookk! Maksudmu gini, kan! Cerita sewaktu kecil yang sulit dilupakan saat bersama ayah? gitu kan!"
Saya mengangguk.
"Ada satu. Dan itu ngeselin, tapi aku sangat menikmatinya."
Sendok mulai ambil ancang-ancang untuk bercerita masuk lebih dalam. Tapi saya minta intermezzo, saya buatkan kopi dulu. Rasanya kurang pas jika bercerita tanpa suguhan secangkir kopi dan sebungkus rokok, dan satu lagi, asbak.
"Jadi gini Hen. Kamu tahu kan kalo aku ini pintar," ujar sendok sambil mencabut sebatang rokok dari kotak bungkusnya.
"Ya... ya... ya..." gumam saya. Ini pemuda belum cerita sudah besar kepala.
"Ada satu mata pelajaran di raporku nilainya 10. Kamu tahu bagaimana ekspresi ayahku waktu itu?"
"Lha ya mana aku tahu" jawab saya agak kesal. Pertanyaan yang nggak masuk akal.
"Minggat!"
"Haaahhhh!" kali ini saya terkejut.
"Ya, betul. Aku disuruh minggat."
"Lah! kok bisa?" saya semakin heran.
"Ya bisalah. Kata ayahku, nilai 10 itu hanya milik guru. Kalau murid hanya boleh nilai 9 saja. Jadi kalo guru ngasih nilai 10 itu tanda guruku lagi marah sama aku. Cuma biar marahnya nggak kelihatan. Aku dikasih nilai 10. Paham!"
"Terus-terus," saya masih penasaran.
"Sebentar," timpal Sendok sembari menyeruput kopi yang masih hangat.
"Akhirnya, aku berangkat lagi ke sekolah. Minta guruku untuk mengubah nilai 10 tadi. Sampai sekolah, eh guruku menolak. Katanya, nilai itu memang betul hasil dari belajar kerasku. Aku sampai nangis-nangis Lur, ya opo ini. Mana ayah nggak mau tau, pokoknya nilai itu pulang harus sudah berubah. Guruku memang top, enggak tega lihat aku nangis-nangis. Kali ini Kepala sekolah ikut terlibat. Beliau-beliau memutuskan mengundang ayah untuk datang. Geger geden ini Lur."
"Terus-terus," semakin seru ini dalam hati saya.
"Ayahku akhirnya mau datang. Guruku mulai menjelaskan, di pelajaran matematika nilaiku memang benar 10. Bukan mengada-ada. Bukti soal dari hasil ulangan catur wulan dan dari ulangan harian semua menunjukan nilai 10, tapi Ayah masih keras nggak mau terima. Ayah tetap kekeh apapun itu alasannya pokoknya diganti 9."
Saya mendengar sambil manggut-manggut, sementara Sendok saya kasih waktu menghisap rokok, sebelum lanjut bercerita lagi.
"Kepala sekolah mulai walangkerik, seakan ingin nantang berkelahi saja. Batinnya, ini orang tua model apa, punya anak dapat nilai 10 eh malah ngamuk-ngamuk. Akhirnya, demi menjaga kerukunan antar orang tua wali dan guru diputuskan nilai 10 diganti 9. Untung saja guruku dan kepala sekolah sabar dan manut. Tapi, itu setelah mendengar penjelasan dari ayah persis kayak yang dijelaskan ke aku saat di awal tadi, tak berselang lama beliau bertiga pun semua tertawa, terbahak-bahak."
"Ohhh pantesan, waktu itu saat kamu buka-buka aku juga sempat lihat ada coretan tipex di rapormu, apa betul itu Dok?" tanya saya baru saja menyadari.
"Heemm," gumam Sendok menunduk.
Sesaat suasana hening. Namun tiba-tiba, saya saksikan tangan Sendok merayap-rayap seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian Sendok pindah kamar. Tidak berselang lama samar-samar saya dengar dari balik kamar, suara tawa Sendok bersama ayahnya melalui saluran ponsel. Dari sini saya jadi tahu, bagaimana caranya memancing Sendok untuk mau bercerita.