Dadanya semakin berdegup cepat, membuat jari jemari tangan dan kaki terus menghentak tak beraturan. Sorot matanya terus mengarah ke hamparan laut lepas. Belum muncul juga sesosok yang ditunggu-tunggunya.
Tak sabar hatinya, badan pun mulai berontak. Beranjak dari tempat duduk potongan batang pohon kelapa. Diraihnya kayu-kayu bakar, dia pantik api berkobar ditaruhnya panci di atas. Dimasaknya air tawar hingga panas.
Dilihatnya jendela yang melambai-lambai karena angin kencang. "Aih" ujarnya. Dengan cepat dia meraihnya, menutup rapat dan menguncinya.
Baru dua langkah menjauh dari jendela terdengar ribuan air hujan turun ramai mendendang irama melalui atap rumahnya.
Hatinya semakin cemas. Detak jantung terus berdenyut melaju kencang. Pikiran mulai diliputi rasa was-was yang tiada jelas.
Dia pun mencoba duduk sembari memandang ke laut lepas, mengharap Abah Emak datang dan pulang. Teringat air tawar yang dimasaknya mendidih dia angkat dan disiapkannya bak hitam mirip baskom untuk mencuci kaki Abah Emaknya. Ritual kebiasaannya menyambut Abah Emak ketika pulang melaut.
Hujan lebat mulai mereda berganti dengan gerimis kecil menyapa. Masih ditunggunya dengan setiap kehadiran orang tua. Hingga gelap gulita datang menyapa. Terdengar suara azan magrib berkumandang, dia pun bergegas menyiapkan sarung baju koko dan mukena milik Abah Emaknya di lantai dekat dipan kamar.
Semangatnya terus berkobar, setia menanti kedatangannya. Nyalinya tak pernah surut, selalu pasang seperti air laut, sesekali dia tengok hingga ke bibir pantai pasir putih. Tak ada sekelabat ataupun tanda-tanda kedatangan itu.
Bergegas langkah kakinya menuju rumah. Ditutupnya pintu belakang dengan pelan dan di taruhnya lampu petromak di meja. Tak lama telinganya menangkap suara. Suara ketukan dari pintu kayu, ditolehnya ke arah pintu belakang dahinya mengkerut. Tak biasa abah emak datang melaut dari pintu depan.
Disambutnya suara ketukan yang kian cepat itu. Berlari dia menyegerakan, dibukanya pelan. Terkejut matanya menangkap pandangan. Si Mbah penjual nasi pecel pinggir dermaga datang.
Sontak dipeluk bocah cilik itu dengan dekap erat. Diciumnya pipi kiri dan kanan. Tak lama berdua duduk beralas karpet plastik dekat kamar. Dipangkunya bocah cilik itu, dielus rambutnya yang lurus terurai rapi dengan kasih sayang.
Tak sampai hati berucap cerita, Si Mbah hanya berpesan, "Kelak dewasa jadilah seperti Abah dan Emakmu. Mereka teladan bagi para nelayan."
Bocah cilik yang baru menginjak kelas 3 SD ini pun hanya mengangguk-angguk kepala. Wajah terus dirundung kecemasan. Hingga magrib berlalu pun tak kunjung datang yang dinantikannya.
"Mbah, kubuatkan teh hangat lah?" Ujarnya menyapa, seperti kebiasaannya menawarkan kepada Abah dan Emaknya sepulang melaut. Namun Si Mbah tak menjawab, dagunya semakin dia tempelkan pada kepala bocah cilik itu. Tangannya semakin erat takkan melepasnya walau sejenak. Masih ditimang-timangnya dia di pangkuannya.
Malam semakin gelap gulita, suara katak terus menyanyikan lagu-lagu kerongkongan, saling bersahutan. Tak lama terdengar suara kaki menapaki tanah dari luar rumah memecah kebisuan. Hati sang anak kecil pun mulai berkecamuk, "langkah itu aku mengenalnya, bukan, bukan!" Gumamnya.
Lagi-lagi dari pintu depan. Ketukan di daun pintu yang semakin menderu, tergesa-gesa. Si Mbah melepaskannya, dia pun beranjak membuka daun pintu dengan pelan. Dilihatnya sesosok kepala Dusun dan beberapa kawan, "Sudah kau katakan!" Ujarnya menyapa.
Namun Si Mbah membalasnya dengan membuang wajah iba menghadap anak kecil yang baru saja dia pangku bersama. Kepala Dusun masuk dan mendekati bocah cilik yang bernama Cikal itu.
"Cikal. Bersabar ya Nak. Bapak, Si Mbah dan semua kawan-kawan ini, akan menghantarkanmu hingga tumbuh dewasa" Ujar Kepala Dusun kepadanya. Cikal yang mendengar ucapan ini seperti ceracau di malam hari. Kepala Dusun pun memanggil kawannya, meminta sesuatu dari tangan mereka.
Diberikannya, dayung perahu dan jala ikan bertulis "Udin dan Maimunah". Cikal sadar betul itu nama Abah dan Emaknya.
Dielus pundak Cikal bocah cilik itu, untuk membesarkan hatinya. Tapi apa boleh dikata. Cikal sejenak menaruh dayung perahu dan jala ikan itu. Bergegas dia lari masuk ke kamar.
Si Mbah yang ingin beranjak, tiba-tiba pundaknya diraih Kepala Dusun. "Biarkan malam ini untuknya melepas rindu kepada Abah dan Emaknya. Tataplah dia dari sini, bila kembali masuk rumah peluklah dia." Ujarnya.
Tak lama terlihat Cikal keluar kamar. Bergegas dia menuju bibir pantai dengan berlinang air mata. Digenggamnya erat Baju koko dan mukena Abah dan Emaknya. Berteriaklah dia sejadi-jadinya, "Abaah, Emaak. Pulanglah, Cikal percaya Abah Emak pasti pulaaang".
Teriak demi teriak terus saja dia keluarkan. Tekadnya menjadi satu bulat kiranya alam mendengar suaranya. Angin bercampur bau garam masih terus menyapu wajah yang berlinang air mata. Semua menatapnya dari pintu belakang dengan rasa pilu tiada tara. Malam itu di pinggir bibir pantai tersisa Cikal menanti dan berharap agar Abah dan Emaknya pulang.