hijau? Zaman sekarang, ketika kapital, industri periklanan dan teknologi komunikasi bersatu-padu
"menyetubuhi olahraga, termasuk sepakbola yang saat ini kita bicarakan, maka itu membawa kekayaan
(juga mungkin kesejahteraan) bagi klub dan para pemain sepakbola.
Di Indonesia, walau liga dan kompetisinya masih abal-abal, para pemain mau tak mau mengakui sudah
mengalami peningkatan kesejahteraan. Dari durasi kontrak 1 tahun (liga di Indonesia begitu, durasi kontrak
paling lama setahun sebelum kemudian klub susah payah lagi cari uang), seorang pemain paling tidak bisa
membangun rumah untuk orangtuanya di kampung atau membeli mobil pribadi.
Di era sebelumnya, sulit mencari banyak pemain sepakbola nasional yang sejahtera. Paling-paling nanti
mereka setelah pensiun akan menjadi PNS atau pegawai BUMN/BUMD. Kalau di liga-liga Eropa, dari dulu
pesepakbola sudah bisa menghasilkan duit dari setiap kontrak yang mereka terima.
Namun, belum tentu kaya-raya atau "gemah ripah loh jinawi" seperti pesepakbola sekarang yang
penghasilannya tak melulu dari gaji klub yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu euro atau
poundsterling, melainkan jaga dari bagi hasil penjualan kaos, celana, sepatu, bahkan sempak dan
shampoo yang dikenakannya.
Anda tak percaya? Lihat saja David Beckham, Ronaldo, Lionel Messi, Frank Ribbery, dan lainnya. Tapi,
apakah dari banyak pemain itu muncul kesetiaan pada sepakbola dan tim yang melahirkan dan
membesarkannya? Belum tentu? Godaan harta serta kemewahan gelar/tropi membuat banyak pemain
memilih "mengejar mataharinya sendiri" ketimbang harus bersusah-payah membangun dan meleburkan diri
bersama tim yang melahirkannya.
Dalam transfer sepakbola di Eropa, lumrah seorang pemain pindah ke klub lainnya. Tak melulu perpindahan
itu karena egoisme pemain, melainkan karena ia ingin membantu keuangana klub asalnya yang lagi
sekarat. Penjualan diri sang pemain yang bernilai mahal mungkin akan menyehatkan keuangan klub.
Perpindahan striker Gabriel Batistuta dari Fiorentina ke AS Roma di Liga Italia pada awal musim 2000
adalah salahsatu contoh itu. Manajemen dan suporter klub tentu akan terharu dengan pengorbanan sang
pemain kesayangan mereka itu.
Tapi kebanyakan transfer yang terjadi memang bermotifkan uang dan kegelimangan trofi, apalagi bila sang agen pemain turut mengipasi proses transfer itu. Kesetiaan bisa hilang ditelan deru transfer uang.
Lihatlah yang terjadi pada Michael Owen, sang pemain kesayangan Liverpool FC yang pindah ke Real
Madrid, lalu Newcastle United, Manchester United, lalu terpuruk di Stoke City, Ronaldo (Sporting Lisbon
/Manchester United), Zinedine Zidanne (Bourdeux/Juventus/Real Madrid), Ronaldo da Lima (PSV
Eindhoven/Intermilan/Barcelona/Real Madrid), Luis Figo (Barcelona/Real Madrid), dan lainnya.
Bisa dipastikan mereka yang penulis sebut berada dalam kondisi gelimang harta dan prestasi. Mereka
berada di tim yang bisa membeli pemain terbaik di seluruh dunia, sehingga "tak terlalu rumit" untuk menjadi
juara di berbagai ajang kompetisi.
Steven Gerrard
Lalu, apakah hal itu salah? Tidak, itu tak salah. Namun, sepakbola yang menarik itu adalah apabila ada "sesuatu" yang membuat sepakbola itu layak dihormati dan dikenang sebagai sebuah permainan yang tak melulu berisi kemenangan, tapi juga berisi kesetiaan dan keinginan satu atau beberapa pemain untuk memajukan klub yang melahirkannya.
Sangat jarang ada pemain yang bisa setia bertahan di klub asalnya dari mulai "lahir", masuk tim junior, level senior, hingga pensiun. Ryan Giggs dari Manchester United mungkin layak masuk kategori ini, walau tak sempurna 100%. Sebab, sesngguhnya ia adalah anggota skuad junior rival sekota, Manchester City.
Begitu juga dengan defender Liverpool FC, Jamie Carragher. Ia memang berlatih dan bermain bagi The Reds sejak kecil hingga pensiun pada musim 2013 lalu. Tapi, ia sesungguhnya adalah fans Everton, rival sekota Liverpool. Namun, Carragher tetap sangat layak mendapatkan bintang atas kesetiaannya itu pada Liverpool. tak ada yang boleh merendahkannya.
Yang masih agak tepat adalah Francesco Totti dari AS Roma yang dari proses "lahir" hingga kini menjadi paling pemain paling senior. Mungkin Totti akan pensiun di AS Roma. Sebenarnya, yang bakal persis menapaktilasi langkah Francesco Totti adalah Steven George Gerrard, jenderal, kapten, sekaligus "nafas utama" dari Liverpool FC.
Sejak umur 8 tahun ia berada di The Reds. Saat menerima kontrak profesional pada November 1997, pemain yang dikenal dengan inisial SG itu senang bukan alang kepalang. Impiannya masuk ke tim idolanya
kesampaian. Namun malang, SG masuk ke klub idolanya, namun seperti harus menjadi Batman sekaligus Superman di klub itu.
Kesulitan demi kesulitan keuangan yang dialami manajemen klub, terutama sejak perubahan format liga menjadi English Premiere League (EPL) pada musim 1991-1992 membuat LFC selalu kelimpungan. Akademi binaan klub memang menghasilkan beberapa pemain bintang, seperti Robbie Fowler, Michael Owen, serta SG sendiri. Namun, untuk posisi lain di lapangan, tak ada lagi pemain bintang yang bisa dilahirkan.
Untuk membeli pemain bintang, klub tak sanggup. Lihatlah apa yang dialami pelatih Gerrad Houlier, yang ketika menangani LFC ia sempat berpeluang merekrut Ronaldo dari Sporting Lisbon. Namun harga 12 juta poundsterling yang diminta Sporting Lisbon hanya mampu dipenuhi 9 juta poundsterling oleh LFC. Dan kita tahu, Ronaldo kemudian bergabung ke Manchester United.
Ketika Michael Owen memilih hengkang dari LFC karena ingin merasakan gelar juara, SG memilih bertahan karena ingin membawa LFC juara. SG sesungguhnya tetap bisa kaya dari sikap setianya di LFC. Ia mendapatkan kontrak yang sangat baik dari manajemen walau tak sebanyak "pemain bintang" yang direkrut seperti Fernando Torres atau Luis Suarez.
Niat SG membawa LFC juara liga tak pernah kesampaian. Ia hanya merasakan 3 kali nyaris menjadi juara dan hanya menjadi juara 2 yakni musim 1998/1999, 2007-2008 (koreksi saya bila keliru) dan 2013-2014. Tapi SG juga memberi prestasi lain bagi LFC.
Seperti "sendirian" ia memberi gelar Piala FA, Piala Liga, Community Shield, Piala Super Eropa, serta yang paling terkenal adalah juara Liga Champion di Istambul Turki pada 25 Mei 2005 dan dikenal dengan sebutan "The Miracle of Istambul".
Ia setia, benar-benar setia pada The Reds. Namun, usianya tak lagi muda. Di era sepakbola yang begitu pragmatis dan mementingkan kemenangan dan juara secara instans, keberadaan dan kesetiaan SG justru menjadi "dilema" bagi pelatih Brendan Rodgers dan manajemen klub yang dipimpin sang owner Jhon W Henry. Baik platih maupun manajemen bingung bagaimana cara "mengusir" sang ikon klub ini.
Akhirnya diambil langkah halus namun menyakitkan, yakni tak memberikan secara sungguh-sungguh perpanjangan kontrak serta membatasi waktu bermain bagi SG. Ini ibarat vonis mematikan bagi SG. Loyalitasnya tak berujung happy ending dalam karirnya di LFC. Ia tahu kalau ia diminta keluar dari pintu Anfield. Ia yang seharusnya bisa pensiun seperti rekannya Jamie Carragher, ternyata sebaliknya.
Ia tahu ia harus pergi. Tapi demi kecintaannya pada LFC, ia tak mau ada di klub mana pun di Eropa. Sebab, itu memungkin ia suatu saat bertemu LFC. ia benar-benar setia walau mendapatkan kenyataan "ditendang keluar" dari kamp pelatihan Melwood dan stadion Anfield pada aakhir musim 2014-2015.
Tapi, kesetiaan SG tetap layak dikenang. Kapitalisme dan industri yang ada di sepakbola ternyata tak mampu mengalahkan kesetiaan Steven George Gerrard (juga Jamie Carragher, dan mungkin juga bagi Francesco Totti di AS Roma). Terimakasih, Kapten SG, engkau layak dicontoh dan dikenang.