Produksi : Laeta Kalogridis (Produser Eksekutif), Collin Wilson (Produser Eksekutif), James Cameron (Produser), dkk.
Tahun : 2009
Masih ingat suasana sesaat sebelum Avatar mulai diputar di bioskop-bioskop? Wah, ketika itu seluruh cover majalah film di dunia menampilkan foto adegan atau foto profil dari film Avatar. Semua cover biru. Terbayang betapa gila-gilaan biaya promosi yang digelontorkan. Apalagi tampilan tersebut tidak hanya di cover, melainkan juga ada pada berlembar-lembar halaman dalam. Bahkan tidak sedikit media yang membuatkan suplemen khusus berisi pembedahan habis-habisan atas film terbaru bikinan sutradara yang belakangan disebut sebagai seorang revolusioner sinema, James Cameron.
Tidak hanya muncul pada medium publik, nyata-nyata adegan alam biru Cameron ini juga terpatri dalam cover-cover akun individu di facebook. Beberapa orang dengan relanya memasang tampang Neytiri (Zoe Saldana) atau Jake Sully (Sam Warthington) di sampul depan yang lazimnya dipasang foto diri atau yang berhubungan dengan diri. Begitulah bius Avatar. Teknik promosi dilakukan sedemikian rapi dan masif, mengimbangi proses produksi filmnya sendiri yang meminta banyak waktu dan berbagai sumber daya.
Hingga beberapa saat setelahnya, hingga saat ini ditulis pada 18 Februari 2010, Avatar masih bertahan di bioskop-bioskop dan menduduki peringkat pertama pada perolehan pemasukan. Sungguh patut diacungi jempol teknik promosi sekaligus teknik produksi dan penceritaan yang dapat mengambil hati target penontonnya.
Sesungguhnya cerita dalam film ini sederhana. Mengangkat realita yang ada di permukaan bumi dari masa ke massa. Peperangan, penaklukan, dan penguasaan. Tentu tak lupa menyisipkan kisah cinta sebagai pemanis yang juga merupakan penguat sisi emosionalitas dan kunci perluasan target market penontonnya. Begitu pas Cameron menyindir para penguasa yang gemar menjajah dan rakus kekuasaan. Ketika sumber daya di bumi sudah habis, bumi sudah dieksploitasi sedemikian hebat, mulailah manusia mencari lokasi lain untuk mendapatkan sumber daya demi kelangsungan eksistensi sebagai penguasa yang lengkap, bukan cuma kelangsungan hidup. Manusia digambarkan sebagai makhluk konsumtif, pemakai dan penghabis, tidak bisa mengolah atau beradaptasi dengan kondisi yang ada untuk memenuhi kebutuhannya, lantaran itu selalu mencari daerah baru untuk mencari sumber daya baru.
Sebuah sumber mengatakan bahwa kondisi ini dapat dibandingkan dengan sejarah penguasaan wilayah Amerika. Suku Indian sebagai suku asli Amerika dapat disamakan dengan suku Na’vi, penduduk asli Planet Pandora, karena mereka diserang dan dikuasai oleh orang kulit putih dari Eropa. Di sinilah kesederhanaan dan keringanan cerita dirasakan. Tak banyak perbedaan yang bisa disaksikan antara bangsa manusia dan Na’vi yang dimaksudkan sebagai alien dari planet lain. Semua nyaris mirip dengan kondisi di bumi. Selain itu tetap saja dikedepankan bahwa sang pemenang adalah 'kami' bukan mereka yang 'lian' atau 'the other'. Heroisme Amerika kulit putih masih saja terlihat, sebagaimana biasa film-film Hollywood sejenis. Atau kalau tidak mau menyebut Amerika, ya manusia, kami, makhluk bumi. Meski makhluk bumi digambarkan sebagai penyerang yang rakus, tetap kunci perdamaian ada pada bagian dari masyarakat bumi. Tetap saja ada manusia yang berhati malaikat yang berjasa membuat damai semesta. Hehehe... Di sini alien atau makhluk planet lain yang berlainan dimensi digambarkan tidak lebih pintar daripada manusia, bahkan dianggap terbelakang dan bahkan bodoh. Bertolak belakang dengan fakta-fakta keilmuan dan spiritualitas.
Jika sebelum menonton film ini ada bayangan bahwa apa yang akan disaksikan adalah sebuah kisah yang mampu membuat pikiran berekreasi dengan serunya ke wilayah paling seksi dalam ilmu pengetahuan manusia, sebuah kisah yang kompleks, rumit, menantang, dan menjadi candu bagi pengembaraan pemikiran, bersiaplah untuk kecewa. Film ini sangat jauh dari itu! Masih jauh di bawah The Matrix misalnya (khususnya film pertama dan kedua atau sekuel awalnya). Kisah yang diangkat dalam Avatar begitu sederhana. Semua penonton dari berbagai kalangan umur dapat mencernanya dengan baik.
Barangkali Cameron memang spesialis dalam hal menampilkan sebuah teknik visual yang luar biasa dan tidak pernah dilakukan siapa pun sebelumnya di dunia film. Dengan menciptakan berbagai materi yang belum pernah diciptakan, terutama sebagai alat persaingan dan pertempuran. Pertempuran yang terjadi begitu keras, dahsyat dengan berbagai manuver yang dapat dilakukan dalam waktu cepat. Penyatuan teknik animasi dan pengambilan gambar secara alami begitu kuat, sehingga sulit bagi penonton membedakannya. Belum lagi pemakaian kamera 3D sejak proses shooting, hingga menghasilkan dua jenis film yang dapat dipilih pemirsa, 2D atau 3D, dengan tidak mempengaruhi cerita. Meski teknik seperti ini telah dilakukan The Polar Express pada 2004. Dapat dikatakan, hanya karena kualitas inilah, julukan sebagai revolusioner sinema menjadi beralasan. Barangkali kalau bisa dirinci lagi, julukan yang tepat adalah revolusioner visualisasi sinema.
Cameron sepertinya sudah terlatih untuk menjadi seorang megaloman. Setelah Alien, The Abyss, Titanic, dan kini Avatar, kecenderungan itu makin jelas saja. Tentu saja ini pilihannya. Ketimbang membuat film yang ’asal ada, asal produktif’ tapi ’kurang ditengok’, dia lebih suka karya-karyanya tampil menghebohkan, meskipun cerita yang diusung sederhana. Di sini barangkali dapat ditangkap kecenderungannya yang lain, yakni di bidang marketing. Dapat dikatakan ia juga seorang yang sangat memahami pemasaran. Terlebih dia memang salah satu produser film ini. Ia bukan cuma pekerja seni, tapi juga marketer. Tentu saja dengan dibantu tim yang saling menguatkan. Tim ini betul-betul mengerti bagaimana membuat uang produksi mereka kembali, bahkan berlipat-lipat. Dan dalam waktu singkat mereka telah dan sedang menuai itu. Selamat untuk Cameron dan Tim. Semoga cerita selanjutnya lebih padat bobotnya dan menantang pikiran untuk berekreasi sebebasnya, sehingga tidak hanya segi visual yang bisa dibanggakan. (Henny)