Hal ini baru saya sadari justru setelah usia saya tidak lagi anak-anak dan sepertinya tidak ada yang menyoroti kebiasaan menebar amplop di kalangan para guru.
Bermula dari kecintaan saya pada pengembangan pendidikan inilah yang menjadikan saya menekuni dunia pelatihan dan personal development secara profesional tetapi bukan berarti saya jadi kehilangan empati terhadap para guru-guru ini, khususnya guru-guru yang bekerja di sekolah swasta.
Pada awal Januari lalu, saya dan rekan-rekan dari Trainers Management Indonesia bermaksud menyelenggarakan pelatihan untuk guru-guru swasta di Wilayah DKI Jakarta selama 3 hari 2 malam, rencana pelatihan ini memang berbayar, tetapi hanya 50% dari seluruh komponen biaya yang timbul.
Karena Trainers Management Indonesia menggandeng perusahaan-perusahaan yang memliki keperdulian pada dunia pendidikan dan profesi guru.
Waktu itu banyak yang menawarkan untuk menggunakan lokasi training selama 3 hari 2 malam termasuk konsumsi serta fasilitas out bond di hari terakhir. Dan penawaran yang masuk per orang ada di kisaran angka Rp. 800-1300ribu, tentunya harga itu masih kami rasa mahal.
Alhamdulillah atas referensi dari seorang teman, kami mendapat bantuan keringanan biaya dari Bapak Ibrahim pemilik Sekolah Jubilee yang berada di sekitar Kemayoran Jakarta Pusat. Jubilee memberikan subsidi keringanan beban biaya sewa jika menggunakan Jubilee Camp dan fasilitas lainnya.
Keringanan biaya itu sudah termasuk komponen penginapan dan fasilitas ruang pelatihan, konsumsi selama di lokasi, infocus serta menggunakan fasilitas outbond pada hari terakhir. Biaya yang di minta sama Pak Ibrahim hanya di kisaran Rp. 525-600ribu, atau tepatnya hanya di angka Rp. 175ribu per hari termasuk konsumsi 2x coffee break dan 3x makan dan 75ribu untuk penggunaan alat outbond di kenakan biaya Rp. 75.000. Biaya ini hanya timbul jika menggunakan alat out bond, jika tidak ya di kisaran Rp. 500ribu saja.
Saat itu penawaran untuk para calon peserta atau untuk para guru-guru ini hanya di bebankan Rp. 350ribu saja, sudah termasuk pelatihan selama 3 hari 2 malam, konsumsi selama pelatihan, fasilitas antar jemput ke lokasi terdekat sampai ke Jubilee Camp di sekitar Ciawi Bogor Jawa Barat, dan souvenir berupa T-Shirt.
Artinya selisih biaya yang timbul masih akan ada subsidi dari kami dan rekan-rekan dari perusahaan lain yang juga perduli terhadap profesi guru.
Singkat cerita lebih dari 110 Sekolah setingkat SMA Swasta di wilayah DKI Jakarta ini yang kami berikan penawaran, baik secara langsung melalui telepon, pengiriman proposal dalam bentuk hard copy melalui Pos Indonesia & TIKI sampai hanya bisa di kirim melalui email karena budget yang kami miliki mulai menipis. Hanya untuk menanggung ongkos pulsa dan ongkos kirim dokumen.
Sungguh saya dan teman-teman merasa prihatin dengan respon yang kami terima atas penawaran tersebut. Beberapa respon yang kami terima antara lain :
1. Sulit mengatur waktu untuk meninggalkan anak didik, karena meskipun di laksanakan hari Jumat hingga Minggu, para guru harus mendampingi anak-anak kelas akhir yang akan menghadapi UAN dan UAS. Karena pada hari Sabtu masih ada kelas bimbingan belajar khusus siswa kelas akhir.
2. Tidak mendapat ijin dari pihak sekolah, atau pihak sekolah tidak bisa membiayai pelatihan tersebut dengan alasan guru yang mengajar di sekolah swasta bukan lah guru tetap dan setiap guru bisa mengajar di lebih dari satu sekolah.
3. Selama masa penawaran tidak ada satu orang guru yang berminat ikut secara mandiri, atau membayar biaya pelatihan dari koceknya sendiri
4. Mereka, para guru ini baru akan berangkat jika di sponsori oleh pihak sekolah
5. Mereka, para guru atau calon peserta menyampaikan kepada kami, bahwa mereka akan hadir ke acara pelatihan yang kami selenggarakan hanya jika di sediakan uang pengganti transport dan tidak di bebankan biaya tetapi tetap mendapat fasilitas seperti yang di tawarkan sebelumnya.
Dari sini kami sungguh prihatin sekali dengan pola berpikir para guru-guru tersebut. Sementara di luar sana masih banyak guru-guru di pedalaman dan jauh dari berbagai fasilitas yang harus merogoh kantongnya sendiri guna meningkatkan keahliannya dalam mengajar.
Sementara yang mendapatkan kesempatan untuk ikut pelatihan dengan biaya yang sangat terjangkau masih tega menanyakan apakah kami memberikan uang pengganti transport untuk mereka... Subhanallah sambil menghela nafas panjang dan geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan tersebut.
Akhirnya pelatihan tersebut belum bisa kami selenggarkan karena kami belum bisa mendapatkan peserta yang dengan suka rela membagi waktu dan menganggarkan sebagian rezekinya untuk ikut pelatihan.
Selidik punya selidik, ternyata memang seperti itu lah budaya yang berlaku di dunia pendidikan. Setiap kali akan menyelenggarakan kegiatan, apapun bentuk kegiatannya, mereka selalu mendapatkan amplop berisi uang dan berbagai cenderamata lainnya. Terlebih lagi jika yang menyelenggarakan kegiatan ini adalah dari Pemerintah atau Diknas.
Pantas saja, beberapa rekan seprofesi pernah mengatakan hal demikian, “Percuma berbagi dengan guru..., mereka sudah terbiasa hidup di manja, pasti nggak akan berhasil”.
Tetapi usaha kami tidak sampai disitu saja, kami meyakini masih ada guru-guru yang bersedia membuka diri dan menerima kami dengan melakukan banyak penyesuaian.
Hingga akhirnya saya secara tidak sengaja menemukan sebuah website Sekolah Luar Biasa Negeri 04 Jakarta. Rasa salut kami dengan perjuangan para guru pengajar di sekolah tersebut pun semakin kuat.
Membayangkan mereka harus dengan sabar dan perhatian yang luar biasa demi melatih dan mendidik anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus ini.
Maka kami putuskan untuk menyambangi sekolah tersebut dan setelah mendengar maksud kami, Alhamdulillah ... Kepala Sekolah SLBN 4 Jakarta menerima kami dengan terbuka. SLB Negeri 4 Jakarta menjadi tuan rumah untuk penyelenggaraan pelatihan bagi guru-guru SLB di wilayah Jakarta Utara.
Ternyata masih ada guru yang bisa menerima kami yang segalanya tidak selalu di ukur dengan uang.