Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Teaching with Loving

23 Juli 2013   16:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:09 251 0
Mungkin ada sekitar 10-15 anak yang malam itu bermain bersama. Ada yang main petak umpet, dampu, monopoli, loncat karet, ada juga yang main tiup balon, main kembang api sampai main petasan. Inilah suasana di Kampung Jawa Pasar Minggu yang selalu ramai dan meriah dengan kebisingan anak-anak selama bulan Ramadhan.

Atau kalau ada satu anak saja yang belum selesai mengaji, dengan setia mereka berkumpul di halaman rumah sang Ustad. Mereka bermain seperti biasa tetapi entah kenapa mereka pun tetap bisa mengecilkan volume suaranya, sampai teman yang mereka tunggu selesai mengaji.

Tetapi begitu teman yang di tunggu selesai mengaji, entah bagaimana dan apa sebabnya suara anak-anak itu kembali pecah menjadi sangat tidak terkontrol ributnya.

Dan anehnya keramaian itu hanya bisa dirasakan pada saat bulan Ramadhan saja. Setelah bulan Ramadhan berlalu, anak-anak itu seperti enggan keluar, atau mungkin karena sudah lelah bermain seharian.

Ya... biasanya, anak-anak itu hanya bermain setelah mereka pulang sekolah hingga menjelang Azan Mahgrib berkumandang.

Lalu beramai-ramai mereka pergi ke Mushalla untuk shalat Mahgrib berjamaah dan mengaji bersama sudah itu pulang ke rumah masing-masing untuk belajar.

Sementara pada saat Ramadhan, di siang hari sepulang sekolah, mereka lebih memilih untuk tetap di rumah. Dan baru akan keluar rumah biasanya ba’da Ashar untuk membeli jajanan berbuka atau sekedar untuk menunggu datangnya waktu berbuka dengan main monopoli atau karambol atau congklak dan bekel. Rasanya sepanjang hari di bulan Ramadhan jadi penuh semangat.

Bahkan luar biasanya lagi, anak-anak itu tidak memandang perbedaan agama. Ada 2 anak yang beragama Nasrani, mereka kakak adik.

Demi menghormati anak-anak lain yang sedang berpuasa, 2 anak kakak beradik itu pun ikut berpuasa sehari penuh meski tidak ada yang meminta mereka untuk puasa sehari penuh, bahkan sebulan penuh.

Di awal-awal anak-anak yang beragama muslim pun cenderung heran serta menanyakan kenapa mereka ikut berpuasa toh sebagai umat Nasrani tidak ada aturan untuk berpuasa di bulan Ramadhan.Sehingga bisa di maklumi jika mereka tidak puasa. Tetapi kedua anak itu menjawab dengan kalimat yang sangat mudah di pahami, yaitu " laper satu laper semua, minum satu minum semua, adil kan?" singkat, jelas dan benar-benar mudah untuk di pahami sebagai sebuah konsekwensi dari kesatuan dalam keberagaman.

Dan yang lebih luar biasanya lagi ternyata orang tua mereka pun juga ikut puasa mendampingi anak-anak mereka. Kebiasaan itu telah berlangsung bertahun-tahun. Konon sejak mereka pertama kali datang sebagai warga kampung tersebut.

Mereka sekeluarga selalu ikut berpuasa selama 1 bulan penuh. Sama seperti yang orang muslim lakukan, waktu imsak datang mereka berhenti makan dan baru akan makan hingga datangnya waktu berbuka.

Pada saat hari raya Idul Fitri pun mereka ikut berlebaran. Meskipun hanya sebatas menyediakan banyak jajanan kecil buat anak-anak muslim yang merayakan lebaran yang nyatanya juga teman anak-anak mereka. Di sediakan juga bergelas-gelas air sirup orson dingin dan per anak mendapatkan 10 lembar uang kertas berwarna merah pun menjadi kenikmatan lain buat anak-anak ini.

Dulu buat anak-anak itu bisa menerima uang Rp. 1.000 sudah sangat senang. Berbondong-bondong datang dari rumah ke rumah untuk berlebaran, saat pulang adalah saat yang di nanti, yaitu menerima uang dari si tuan rumah sebagai tanda saling berbagi. Kebiasaan ini berlangsung di hari pertama dan kedua Idul Fitri.

Menghitung sama-sama, berlomba siapa yang mendapatkan uang paling banyak seraya meneriakan berapa jumlah uang yang mereka dapat Subhanallah... rasanya bahagia sekali.

Saat itu rasanya nggak mungkin bisa di lupakan, setiap ba’da Mahgrib hampir semua anak keluar rumah berduyun berangkat ke Mushalla dengan mengenakan sarung dan topi hitam bagi anak lelaki dan mukenah lengkap bagi anak perempuan. Bersama mereka selalu ada Ibu atau Bapak yang mendampingi.

Berjalan dengan tenang sambil menggandeng tangan orang tua masing-masing, seperti ada sebuah energy yang mengalir dan mampu memberikan rasa aman di keremangan senja.

Selalu ada obrolan ringan dan tawa kecil yang menemani, perjalanan ke mushalla tidak seberapa jauh, tapi mampu mengalirkan kehangatan dan rasa cinta yang sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata.

Sebuah petunjuk dan arahan dari orang tua pun selalu menjadi teman dalam perjalanan tersebut, seperti tidak terasa sebagai sebuah perintah yang memberatkan. Tetapi nyata di patuhi.

Berbaris secara teratur, menempati ruang yang kosong, berdiri sejajar tanpa memandang adanya perbedaan sudah menjadi pemandangan yang lazim di setiap pelaksanaan shalat. Selepas sholat, pun masing-masing bersalaman sambil menebar banyak senyum. Rasanya setiap pandangan seperti memiliki arti keteduhan.

Selepas sholat, bale-bale pun mulai di pasang berjajar memanjang, dan anak-anak itu duduk dengan tertib tanpa mengeluarkan kata-kata sambil mempersiapkan Juz Amma dan Alquran menunggu sang guru datang.

Sekarang dari jauh sudah mulai terdengar anak-anak itu melantunkan sebuah salam dengan irama yang sangat harmonis. “Raa di tubilla hi rabba, Wa bil Islamidina, Wa bil Muhammadin nabiyaw wa rasulla, rabbi zidni ilman war zukni fahma, Aamiiiiiiin...” menandakan bahwa sang guru sudah bersama mereka.

Selesai mengaji, anak-anak itu pun kembali ke rumah masing-masing. Selalu ada pengetahuan yang tertanam dengan sengaja di kepala anak-anak itu.

Sampai di rumah, Ibu sudah selesai mempersiapkan makan malam untuk seluruh anggota keluarga, dan anak-anak itu pun kembali berunjuk informasi.

Sejenak Sang Ibu berhenti dari segala aktifitas, ia harus membagi waktunya untuk melihat hasil belajar anaknya pagi tadi.

Seluruh anggota keluarga duduk dan makan dengan tertib, obrolan pun hanya seperlu nya dengan suara yang masih sangat ringan.

Selesai makan malam bersama, anak-anak pun tidak langsung bubar untuk mencari remote televisi.

Tetapi mereka dengan sukarela masih duduk disana menunggu sang Ibu datang. Menemani Sang Ibu makan dan membantu membersihkan meja serta peralatan makan lainnya.

Akhirnya berbagai cerita dan arahan pun mewarnai meja makan tersebut, sekali lagi semua terjadi begitu natural dan tidak di rasa sebagai sebuah kondisi yang menyiksa manakala di ketahui ada hal yang kurang menyenangkan terjadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun