Hari pertama berangkat waktu sore. Pergi ke daerah Muntilan di Jawa Tengah. Perjalanan sekitar 12 jam untuk sampai kesana.
Ketika sampai, kami turun di sebuah gereja Katolik, disana sudah disediakan makanan. Kami makan dengan daun, bukan dengan piring. Wow, amazed saya dibuatnya. Makanannya sederhana, nasi dan pecel untuk sarapan. Setelahnya, kami diajak berdoa. Tapi pastornya menggunakan bahasa Jawa, dan saya ga tau dia ngomong apa.
Menjelang siang, kami berangkat ke desa. Ada beberapa desa, dan kami disebar. Satu rumah hanya untuk 2 orang. Desa yang saya tinggali bernama Desa Gantang. Perjalanannya? Sungguh tak terbayangkan. Kami menggunakan truk yang biasa dipakai untuk mengangkut sapi. Ya! Mengangkut sapi. Tapi sudah dibersihkan, jadi tidak ada bau-bau yang aneh.
Jalanannya pun rusak, jauh masuk ke dalam. Tidak ada satupun mobil kendaraan umum atau mobil kendaraan pribadi disana. Sejam kemudian, sampailah kami semua. Saya menunggu dijemput oleh keluarga yang rumahnya akan saya tinggali selama beberapa hari. Keluarga dengan dua orang anak. Anak pertama bernama Joko dan yang kedua Putri. Keduanya masih kecil.
Rumahnya? Tanpa ubin, hanya tanah, lampu? Hanya ada dua, itupun lampu kuning kecil. Satu untuk diruang tamu, satu lagi dekat kamar mandi dan kandang sapi. Tidak ada langit-langit rumah, tidak ada cat tembok, hanya bata dan semen. Mereka adalah keluarga petani, dan mempunyai satu ekor sapi.
Entah kenapa, mereka sangat baik sekali terhadap kami. Memberikan kami tempat tidur terbaik, selimut terbaik yang mereka punya. Walaupun hanya sebatas papan beralaskan kasur yang sangat tipis, serta bantal-bantal yang sudah usang, kami tetap bisa tidur nyenyak disana. Bahkan ketika saya dan teman saya ingin melihat tempat tidur mereka, kami tidak diijinkan. Entah kenapa, apa karena mereka tidak mau ketauan kalau mereka ternyata tidur di gudang???
Udara daerah sana sangat sejuk. Siang hari memang agak panas, tapi kalau malam hari, udaranya cukup dingin. Minuman yang kami minum setiap hari itu adalah teh. Hampir tidak pernah disajikan minum air putih. Mungkin karena tradisi mereka untuk menyediakan teh bagi tamu nya. Kami juga disediakan biskuit. Bentuknya sih seperti biskuit merek terkenal, tapi ternyata setelah dicoba, rasanya berbeda sangat jauh. Tapi tak apalah, itu adalah yang terbaik yang mereka punya.
Hari berikutnya, kami mulai membantu mereka bekerja. Dimulai dari yang mudah terlebih dahulu. Kami bersama sang ibu pergi ke sawah yang letaknya tidak jauh dari rumah (menurut mereka). Sampai disana, kami tidak bisa membantu banyak. Hanya pada waktu pulang, kami membantu ibu untuk membawa pakan ternak sapi berupa rumput yang tinggi dan besar. Tajam di sisinya. Nampaknya bukan rumput, tapi saya pun tidak tahu namanya apa. Kami hanya diberikan setengah dari beratnya yang ibu bawa. Namun setelah diangkat, beratnya minta ampun. Saya tidak bisa membayangkan betapa beratnya beban yang ibu bawa pulang. Setelah beberapa lama perjalanan, kami sampai dirumah dan ibu memberikan sapinya makan. Saya dan teman saya bernasib berbeda dengan ibu. Tangan kami semuanya penuh luka lecet. Ya, satu lengan, dua-duanya lecet. Perih rasanya. Dan tidak ada obat dirumah itu, jadi kami diberikan body lotion entah merek apa untuk diolesi ke lengan kami.
Malamnya, kami makan dua telur goreng. Yang dibuat untuk dimakan berlima. Nasi yang kami makan adalah nasi putih, tapi yang mereka makan adalah nasi jagung. saya tanya kenapa, dan jawabnya adalah supaya cepat kenyang dan lebih murah. Miris mendengarnya, karena saya terkadang tidak menghabiskan nasi yang saya makan kalau dirumah.
Hari berikutnya, kami minta diajak pergi ke sawah yang (kata mereka) letaknya sedang jauhnya. Saya dan teman meminta ikut kesana. Ternyata, "jauh"nya mereka dengan kita sangat berbeda. Lokasi sawahnya sangat jauh. Jalanan terjal, dipinggir jurang, dan kalau tidak hati-hati, bisa jatuh terperosok karena licin. Belum lagi mereka membawa dirigen yang isinya kotoran sapi untuk pupuk. Alhasil, sampai disana kami tidak diperbolehkan untuk membantu. Hanya bisa duduk-duduk saja. Bermain dengan salah satu anaknya yang ikut dan tidak terlihat lelah.
Perjalanan pulang juga sangat memakan tenaga kami, Sembari membantu membawa dirigen kosong. Kami berjalan pelan-pelan. Sampai rumah, kami pun hanya duduk karena sangat kelelahan. Saya tidak membayangkan bisa hidup dan bekerja seperti mereka. Lelahnya luar biasa, tetapi yang di dapat tidak seberapa.
Hari ketiga, kami meminta mereka untuk membangunkan kami pagi-pagi. Saya dan teman saya ingin ikut mereka pergi berbelanja ke pasar. Kami dibangunkan pukul 5 pagi. Dan berangkat menggunakan mobil pick up. Bisa ditebak, kami berdiri di belakang. Hanya itu kendaraan yang mau lewat disini untuk membawa warga disana pergi ke pasar. Lokasi pasarnya tidak terlalu jauh. Kami turun dan ibu mulai berbelanja. Saya dan teman saya pun punya misi. Kami mau memberikan tas kepada dua anaknya yang masih sekolah. Karena kami lihat, tas yang mereka pakai sudah rusak, usang dan belum ada gantinya. Sembari membeli tas, ibu membeli kol yang banyak. Katanya untuk masak sup. Kami membayangkan sop ayam yang biasa kami makan. Hmmm enaknya...
Sampai dirumah, ibu langsung memasak makanan. Kami ikut membantu. Saya terkejut, karena sup nya berbeda. Banyak sekali kol nya (kata ibu kol itu kesukaan Joko anak pertamanya). Lalu tanpa bumbu, hanya sedikit sekali royco sisa. dan sedikit garam. Bisa dibayangkan rasanya? Tasteless. Saya akhirnya pergi ke warung terdekat dan membeli MSG dan garam (ya memang ga sehat, tapi daripada makan kuah bening berbau kol). setelah di cicipi, ya lumayanlah ada rasanya. Pengalaman sekali seumur hidup makan sayur sop yang isinya hanya kol, setengah wortel kecil (ya, wortel kecil yang dibagi 2, hanya setengah) tanpa daging sapi atau ayam, MSG dan sedikit garam.
Ketika makan bersama, semuanya makan dengan lahap. Mereka nampak menikmati sup yang isinya kol. Tidak apa-apa, toh ekspresi mereka yang senang membuat saya dan teman saya ikut makan dengan lahapnya. Saya pun makan sampai kenyang.
Hari itu kami memberikan hadiah tas yang kami beli di pasar. Alangkah senangnya Joko dan Puteri. Padahal harga tas nya hanya 50rb rupiah saja. Namun tas itu merupakan barang berharga untuk mereka. Saya teringat, dibandingkan dengan saya, yang membeli tas sekolah di mall. Harganya tentu sangat berbeda. Saya sadar bahwa tas 50rb rupiah bisa membawa dampak yang berbeda untuk mereka.
Hari terakhir. Anatara sedih dan senang. Sedih karena harus meninggalkan mereka. Senang karena saya bisa kembali kerumah bertemu orang tua. Kami bersiap-siap. Ibu sempat beberapa kali berkata kepada kami untuk tinggal lebih lama lagi. Sedih? Tentu, Saya inginnya juga begitu, tapi kan tidak bisa. Kalau tidak balik hari ini, saya pulang nanti gimana? Saya jelaskan ke ibu, ia tampak sedih, begitupun saya. Bahkan ketika mengetik cerita ini, rasa sedih kembali muncul. Ibu tidak mengantarkan kami. Alasannya karena ia tidak sanggup untuk berpisah. Kami berpelukan dan menangis bersama. Bapak yang akhinya mengantarkan kami ke tempat kami berkumpul. Kami berpisah dan saya mencatat alamat mereka untuk mengirimkan foto kami bersama.
Kami naik ke truk. Ya, truk yang diapakai untuk mengangkut sapi. Menuju ke tempat wisma penginapan kami. Kembali makan makanan yang biasanya kami makan. Bahkan, kami sempat makan di KFC. Waktu itu, hampir semua teman saya makan sampai nambah. Bahkan ketika kami makan sayur asem, rasanya itu adalah sayur asem terlezat di dunia. Mungkin karena kami tidak merasakan makanan seperti itu selama di desa.
Satu hal, ketika sampai di Jakarta. Saya teringat, saya melihat keluarga yang sangat sederhana, yang bahkan tidak mempunyai WC dan TV dirumah, sangat kontras dengan kehidupan pejabat pemerintah yang sukanya berfoya-foya dan korupsi. Sedih sekali. Tidakkah mereka berpikir bagaimana jika mereka yang ada dalam posisi keluarga tersebut? Ketika bencana alam gunung meletus di daerah Jogja. Saya tidak tau kabar mereka disana. Apakah mereka juga menjadi korban, ikut mengungsikah mereka? Baik-baik sajakah mereka disana? Sayang sekali, alamat mereka yang saya simpan sudah hilang bersamaan dengan handphone saya yang rusak.
Jakarta, 1 Mei 2012