Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Mengapa Jokowi dan Dewa Ada di Film "12 Menit untuk Selamanya"?

28 Januari 2014   01:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24 3007 0

Semangat, pengharapan, cinta, kerjasama, pantang menyerah dan disiplin mengalahkan kesakitan dan kesusahan. Proses alamiah yang berlangsung sudah sejak lama tanpa kita sadari. Sifat-sifat positif di atas menjadi modal penting seseorang menggenggam masa depannya. Setidaknya ini terjadi pada anak-anak Bontang, Kalimantan Timur, yang berhasil menjadi juara dalam kompetisi Marching Band di Istora Senayan. Bukan tidak sedikit hambatan menghalangi semangat mereka. Namun, proses dan persiapan yang berluka-luka akhirnya dibayar dengan gelar prestisius yang bukan saja menjadi kebanggaan mereka, bahkan menjadi inspirasi bagi setiap orang. Kisah nyata ini kembalikan dimunculkan dalam sebuah film dengan memodifikasi buku Djaumil Aurora yang sebelumnya telah diterbitkan. Film yang berjudul 12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya ini berhasil menyajikan alur inspiratif bagi para penontonnya.

Suatu kebanggan bagi saya bisa menonton film 12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya secara langsung dan gratis Senin, 27 Januari 2014. Saya mendapat tiket gratis dari Kompasiana. Di Cinema XXI saya bertemu dengan teman kompasianer lainnya yang turut hadir menonton film tersebut, seperti pak Thamrin Dahlan, ibu Nurfaizah Kalsum, kak Kristiana BR Tarigan, mba Desssy, dll. Selain itu, masyarakat umum juga banyak menonton film ini, sehingga Cinema XXI Epicentrum Walk malam itu padat dan sesak. Substansi film ini yang apik, memancing animo masyarakat menontonnya.

Film yang disutradarai oleh Hanny R. Saputra ini menceritakan Rene, pelatih Marching Band sekolah di Bontang (diperankan oleh Titi Rajo Bintang), membimbing 130 siswa mengikuti kompetisi Marching Band tingkat Nasional. Dari 130 siswa tersebut, salah satunya adalah gadis remaja bernama Elaine Higoshi (diperankan oleh Amanda Sutanto), yang pindah dari Jakarta ke Bontang, mengikuti karena pindah –tugas Ayahnya. Sempat ‘Jet Leg’ karena suasana yang berbeda jauh dengan ibukota, Elaine akhirnya berhasil menciptakan kisah indahnya di Bontang.

(dipotret dari layar bioskop)

Latihan mereka keras dan disiplin. Rene menekankan disiplin dan kerjasama, dua hal yang perlu dalam kegiatan tim/kelompok. Segudang masalah hadir dalam proses persiapan menuju kompetisi di Jakarta mulai dari larangan Ayah Elaine yang tidak membolehkan anaknya bermain MB (namun akhirnya luluh), si Tomi (pemandu awal yang akhirnya digantikan oleh Elaine) mengalami patah kaki karena kecelakaan, sampai kematian ayah Lahang ketika mereka akan bertanding. Meski demikian, 12 menit penampilan mereka telah menebus kesedihan dan kesakitan yang mereka alami.

Terlepas dari nilai-nilai positif di atas, ada 2 hal yang membuat film ini hampir anti-klimaks yaitu adegan munculnya Jokowi dan sangat mencoloknya Dewa, salah satu band Indonesia di film ini. Pertama tentang bagian munculnya Jokowi ketika adegan pidato membuka kompetisi MB. Berdasarkan pengalaman saya mengikuti kegiatan skala Nasional seperti ini, seharusnya yang memberikan sambutan atau pidato adalah presiden/mewakil ataupun menteri/mewakili. Sementara sosok Jokowi adalah sebagai gubernur DKI Jakarta. Kalaupun Jokowi memberikan pidato, relevansinya kompetisi dilakukan di Jakarta, namun mesti diikuti, dengan menampilkan perwakilan dari pemerintah pusat. Dari fenomena ini muncul skeptik dari masyarakat, merespon adegan yang memunculkan sosok Jokowi dalam film ini. Apalagi mengingat tahun ini merupakan tahun sensitif terhadap tokoh-tokoh politik.

Kedua, tentang fenomena band Dewa. Meskipun saya harus akui bahwa lagu-lagu band Dewa berseni tinggi, namun dalam hal ini out of context. Seharusnya sutradara bisa memilih lagu wajib nasional atau lagu tradisional yang lebih berwarganegara dimainkan oleh MB ketimbang lagu band Dewa. Selain itu terlalu mencoloknya logo Republik Cinta Ahmad Dhani dalam beberapa adegan, membuyarkan simpati dan fokus penonton. Ketika pesan yang disampaikan oleh film hendak masuk, seketika langsung pecah ketika muncul simbol-simbol tersebut.

(dipotret dari layar bioskop)

Andai saja dua hal ini tidak terlihat oleh penonton, barangkali film ini akan sangat sempurna. Selain sarat akan pesan sosial dan nilai humanitas, film ini juga merupakan satu-satunya film Indonesia yang menceritakan tentang Marching Band, kegiatan ekstrakulikuler di sekolah, sehingga bisa menjadi trade mark ekstrakulikuler bagi siswa. Tentu ini menjadi kritik bagi pemain dan kru film ini.

Terlepas dari hal tersebut, film ini layak menjadi tontonan para masyarakat khususnya siswa-siswa penerus bangsa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun