Aku curiga, saat malam, kulitmu sering dikerumun nyamuk, karena dia senang pada remang-remang, pada angin tak bercahaya. Mata fasetnya silau dengan sinar. Yang selalu tampak di pikirannya, hanya tetes darah yang ada di balik kulit langsatmu.
Tapi pada situasi yang kau anggap setengah kiamat begini, bukankah kau ditakdirkan punya sumbu dan secenteng minyak. Ayolah, sayang. Lupakan lumrahmu. Sekarang terang sudah menjadi barang langkah. Ini saatnya sumbu menyala. Bukankan kita terlahir selalu memecah sunyi dan khawatir?
Kau masih ingat, ketika orang tuamu menceritakan detik-detikmu keluar dari lubang tersucinya, tangismu yang getir, memecah kesepian keluargamu. Kau adalah penantian lima tahun. Bisa kau bayangkan saat orang tuamu mengisahkannya padamu, ada raut yang tak biasa kau lihat dari wajahnya –kegembiraan.
Aku teringat pada kunang-kunang yang menebar sinar walaupun sudah jarang. Kalau mereka lewat di sudut gang, selalu berformasi membentuk huruf-huruf namamu.
Kalibata, Maret 2014