mari kita lanjutkan ceritera hari esok"
(Iwan Fals: Lonteku)
kalau rumah pelacuran itu ditutup
aku tidak lagi bertemu kau
perempuan muda yang selalu duduk
menopang dagu dan menawarkan diri
putih dari balik rok yang tidak panjang
seperti kemarin dulu
kita berbagi ranjang
lalu berceritera tentang kamar-kamar
penjara tempat kehidupan membusuk
seperti, rasa peduli yang tidak lagi sewajarnya
yang digantung di dalam brankas
tempat kemanusiaan dijual murah
jangan pikir kita murahan
berbagi kelamin tanpa peduli asusila
yang mendogma hingga kumal kitab-kitab
moral yang ditulis dengan tinta cina
namun tetap saja dikebiri
lantas dipajang di etalse pameran
untuk bangsa asing yang selalu datang mengunjungi basa-basi
kau seperti merpati yang bertengger
pada pucuk tiang mozaik sembari menanti
saku-saku kelamin yang tak kuasa menahan berahi
yang tidak pernah peduli
pada anak-bini yang juga sesibuk robot
pada dunia penuh nostalgia tanpa koma
penuh rasa bersalah-rasa bersalah kesekian
kesekian kalinya rumah pelacuran itu terancam
bila saja punah, maka kau tidak lagi kulihat
dan betapa sulit kita bercengkerama sungguh
tidak hanya soal saku kelamin
karena peduliku padamu bukan sebatas vagina
yang doktrinkan aku agar rebah
dan daki tiap kemungkinan yang tidak pernah aku jumpa
pada hidup yang gersang, yang teralalu basah
untuk menanam dan memanen
maka sebelum rumah pelacuran itu runtuh
ingin kusapa kau yang selalu pamerkan belah dada
pada bajumu yang selalu tidak peduli pada dinginnya malam
juga pada cemooh kaum idelais
yang juga tidak malu-malu berman kelamin dengan bini tetangga.
"walau kita berjalan dalam dunia hitam,
benih cinta tak pandang siapa."
(Iwan Fals: Lonteku)
maka datanglah padaku
dan kita akan berbagi ranjang seutuhnya
tidak lagi sekedar menukar kelamin pada uang