Oleh ; Malin manangguang
PALANTA - Atau Lapau tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dalam konsep budaya Piaman dan Minang umumnya,
Di lapau sambil sarapan pagi, terjadilah berbagai dialog, pembahasan, mulai dari persoalan sehari-hari yang berkaitan dengan kehidupan, ilmu pertanian, ekonomi, sampai politik dan hukum.
"Sasampit sampik" (sempit sempit) apapun waktu yang tersedia, orang-orang yang ada di lapau pasti sempat membahas sesuatu. Dan yang lebih penting. lapau bukan untuk menggosip, tetapi tempat saling berbagai pengalaman, adu argumen/pendapat, dan semua yang ada di situ berperan sebagai "Narasumber". Dan biasanya pembahasan akan menggunakan berbagai sudut pandang.
Seperti agama, politik, Serta persoalan sosial dan realita kehidupan serta filosofis adat minang sendiri ( adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah ).
Bagi orang Minang, berfikir filosofis adalah milik setiap individu/pribadi orang minang itu sendiri. karena sudah terbiasa berbicara dengan "petatah petitih" yang mengandung filosofi tentang kehidupan sosial dalam keadaan sehari hari.
"Saciok Bak ayam, Sadantiang Bak basi"
Adalah sebuah kata kata filosofi yangg sering kita dengar di palanta (lapau) seiring dengan MOMEN Pemilihan Legislatif (pileg) di setiap kota dan kabupaten, terutama di perantauan. Dan di mana Rantau yang di Dominasi oleh Perantauan Minang dan Piaman khususnya, sering kita Dengar kata kata "saciok Bak ayang ,sadantiang bak basi" atau dari pado "mangadangan kabau urang, ancak kabau Kito di gapuak kan" .
Dua kata kata di atas mengandung makna untuk Seiya Sekata dan berpihak pada kelompok (Minang) , namun hal itu kerap hanya berupa ajakan atau himbauan atau hanya sekedar mengiringi nikmat kopi di Palanta. Tanpa ada upaya membangun konsekuensi dari kata kata itu sendiri.
Inilah orang Minang.! Terutama warga piaman di Rantau yang sadar akan keberpihakan dalam politik secara terang terangan akan menimbulkan dampak kurang menguntungkan baik dari segi ekonomi maupun pergaulan.
Dan berprinsip "tidak kemana mana,tapi ada di mana-mana".
Pertanyaan nya. Berarti orang piaman di Rantau tidak kompak dong .?? Jelas kompak.!
Loh kok. Di politik punya sikap seperti itu (di atas)?
Tentu pertanyaan itu kerap kita dengar dan jawaban juga sering kita lontarkan untuk menjawab pandangan orang bahwa kita kita tidak kompak..
Secara organisasi orang Minang di rantau dalam bersikap pada politik, "Netral" dan tidak tidak berpihak pada calon tertentu,baik suku Minang sendiri maupun pada suku lain. Ini jelas. Sejalan dengan di bangunnya pangayuban Minang terutama Persatuan keluarga Daerah Piaman yang di singkat menjadi PKDP, yang merupakan organisasi payung Panji adat masyarakat Piaman di Rantau.
Tetapi secara moralitas dan kebersamaan dan Rasa bedunsanak. jelas menjadi keinginan masyarakat rantau itu sendiri untuk mendukung dan mendorong setiap warga Rantau untuk ikut dalam kancah politik , baik itu pileg dan pilkada.
Dan inilah, yang selalu menjadi Tema pembicangan di setiap palanta (warung kopi) dalam menyikapi keinginan mereka (dunsanak) yang maju Pileg di dapil masing masing.
Namun keinginan itu. Kadang kala tidak di akomodir dengan rapi rapi sehingga timbul banyak Caleg yang terkesan "Hoby Caleg" dalam pandangan seorang tokoh dan penasehat PKDP Arisman di Rantau Karimun.
Pandangan ini tentu sangat beralasan, karena di sebabkan banyaknya caleg dari suku Minang (Piaman) tanpa bisa bisa bendung. Sehingga sulit untuk mendudukkan satu perwakilan di DPRD,
Ini problem, bagi masyarakat rantau dan juga problem bagi persatuan . Ini ibarat makan "buah simalakama" di dukung secara organisasi,jelas menciderai semangat organisasi itu sendiri. Di dukung secara gerilya (moral) jelas . Tidak ada jaminan dan konsekuensinya bagi yang menyatakan mendukung. Sehingga sering terjadi . Para penyataan mendukung dengan Slogan "dari pada mengemukakan kerbau orang ,bagus kerbau yang di gemuk kan" itu bermain kaki dua dalam hal pilihan. Artinya dukung itu berupa hanya di Mulut. Dan pemanis pahit kopi di Palanta.