Berikut isi surel -yang aku bahasakan ulang- dari salah satu sobat Kompasiana (saya sebut saja Bung R) sebagai respon atas tulisanku yang berjudul "Introvert yang Memberontak". Sebuah pertanyaan menarik yang mungkin muncul juga di batinku saat aku masih seorang introvert yang belum beradaptasi. Aku tidak tahu seberapa banyak sobat yang punya pertanyaan serupa. Kalau pun tidak ada, aku merasa harus menulis artikel ini -paling tidak- untuk menjawab surel-nya Bung R :)
Pertama, ijinkan aku untuk mengapresiasi Bung R atas niatnya (atau kalau boleh aku bilang keberaniannya) mengirim surel dan bertanya. Kenapa? Karena tindakan tersebut sudah merupakan modal yang berharga baginya untuk mulai membuka pintu bersosialisasi. Aku menduga ada sobat lain yang sebenarnya ingin menanyakan hal yang sama -atau gak ada ya? Aku yang terlalu geer saja :)- tetapi mereka tidak berinisiatif melakukannya. Jadi kalau Bung R sudah meniatkan diri mengirimkan email, that's a great move to change. Karena ada teori yang mengatakan bahwa kalau kita ingin mengubah sesuatu (terlebih kebiasaaan), segala sesuatu harus dimulai dengan adanya niat (intensi). Setuju?
Selanjutnya setelah ada niat, apa yang bisa dilakukan? Jawabannya sederhana : SPEAK UP!
Sebuah niat atau tekad atau resolusi kalau tidak diekspresikan sama saja dengan tidak melakukan apa-apa. Setuju dengan pernyataan itu? Hal ini berlaku juga bagi seorang intorvert yang ingin beradaptasi ke arah ekstrovert. Memang benar kalau ada rasa enggan, malas, canggung, atau risih ketika kita melakukan sesuatu di luar kebiasaan kita. Tapi kalau kita tidak memulainya, bisa dipastikan niat tersebut perlahan tapi pasti padam. Akhirnya perubahan tidak terjadi.
Kalau begitu, untuk melakukannya harus mulai dari mana?
Kalau aku boleh usul, mulai dengan perbanyak mengobrol dengan orang lain. Wah ... usul yang sepele bukan? Iya bagi mereka yang ekstrovert. Tetapi bagi introvert, mengobrol adalah sebuah kegiatan yang 'menakutkan'. Atau kalau aku perhalus bahasanya, mengajak orang lain mengobrol, apalagi dengan orang baru, bagi orang introvert adalah sebuah ketidaknyamanan.
Lantas, apakah ada tips untuk itu? Jawabannya pasti ada. Namun sebelum aku beberkan tipsnya, pernahkah sobat melihat atau berada dalam kondisi seperti ini?
Sebutlah ada dua orang yang baru berkenalan dalam suatu pertemuan. Setelah 'berkenalan' dengan menyebutkan sejumlah data utama seperti nama, tinggal di mana, kerja di mana, dll ... suasana tiba-tiba menjadi hening sehening-heningnya. Apa pasal? Yup. Mereka tidak tahu harus ngobrol apa lagi alias kehabisan bahan bicara. Alhasil keduanya akan sama-sama mengheningkan cipta sambil berharap lawan bicaranya mulai mengajukan topik bicara.
Nah, orang-orang seperti apakah yang sering mengalami kejadian di atas? Sepengamatanku kebanyakan dari mereka adalah orang belakang layar (konteks perusahaan kami menyebutnya orang back office). Dan kalau menarik benang merahnya lebih jauh, tipe apakah mayoritas orang back office? Yup. Introvert.
Tempatku bekerja mendesain satu program pelatihan komunikasi yang dibingkai dengan tema "Speak Up and Be Counted". Sasaran dari pelatihan ini adalah membantu orang yang menghadapi kendala dalam berkomunikasi untuk mahir berbicara dalam berbagai situasi sehingga mereka bisa diperhitungkan, baik dalam dunia kerja maupun sosial. Dasar pemikiran adanya program ini juga karena ada riset yang mengatakan bahwa kemajuan karir seseorang sangat ditentukan oleh seberapa luwes orang tersebut dalam berkomunikasi. Sehingga kalau berbicara training pengembangan diri, tema komunikasi adalah tema abadi yang dibutuhkan oleh banyak orang.
Nah, salah satu bagian yang dieksplore di awal-awal pelatihan Speak Up and Be Counted adalah bagaimana berkenalan dengan orang baru. Tidak sebatas itu saja, pelatihan ini juga memberikan sejumlah tips untuk mampu mempertahankan pembicaraan sehingga suasana kaku dan canggung bisa diminimalisasi. Aku pikir tips ini akan berguna bagi orang introvert dalam melawan ketidaknyamanan mereka dalam bersosialisasi dengan orang lain.
Nah, ijinkan aku akan share 5 tips yang dianalogikan dengan simbol-simbol (dalam dunia training metode ini dikenal dengan Stacking). Siap untuk itu?
Pertama, bayangkan di lantai ada sebuah kartu nama raksasa ukuran 2x3 meter. Kemudian di atasnya diletakkan sebuah jam dinding ukuran jumbo. Lalu di atas jam dinding, letakkan sebuah meja kerja sehingga kaca jam dinding tersebut retak. Di pojok kiri meja letakkan sebuah gelas berisi es krim, dan di pojok kanan meja letakkan juga sebuah gelas berisi banyak lalat hijau.
Ok, sudah terbayang 5 benda tersebut? Mereka adalah simbol sejumlah hal yang bisa dipakai untuk mengobrol. Apa arti dari simbol-simbol tersebut?
Pertama: kartu nama. Artinya saat bersosialisasi dengan orang yang baru kita kenal, gunakanlah data-data yang ada di kartu nama sebagai bahan obrolan. Apakah saja yang ada di kartu nama? Tentu saja ada nama, kerja di mana, bagian apa, kantornya ada di mana, dll. Kalau konteks sobat yang belum bekerja, bisa menggantinya dengan kuliah di mana, ambil jurusan apa, kampusnya daerah mana, dll.
Kedua, jam dinding. Artinya carilah bahan obrolan yang berkaitan dengan waktu. Misalnya, sudah berapa lama kerja di Perusahaan A. Atau sudah berapa lama tinggal di kota B. Bisa juga sudah berapa lama pakai kacamata. Sudah berapa lama menikah. Sejak kapan menyukai pete? Sejak kapan ngefans sama MU? Dan banyak pertanyaan sudah berapa lama-sejak kapan lainnya. Jadi ingat jam dinding ingat obrolan berbasis waktu.
Ketiga, meja kerja. Artinya hubungkan hal-hal yang berkaitan dengan job desk sebagai bahan obrolan. Contohnya, seorang culture specialist itu kerjaannya apa sih? Atau kuliah di jurusan DKV itu belajar apa saja? Langkah-langkah apa saja yang dilakukan seorang analis kredit sehingga keluar hasilnya diapprove atau tidak aplikasi calon klien?
Keempat, gelas berisi es krim. Artinya kaitkan obrolan kita dengan hal-hal yang disukai. Es krim-es krim yang bisa diobrolkan bisa berupa hobi, makanan, film, tempat wisata, dll. Yakin deh, kalau ketemu hal-hal yang disukai, maka obrolan bisa menyerempet ke topik-topik lain.
Terakhir gelas berisi lalat hijau. Tentu selain hal yang disukai ada pula hal-hal yang tidak disukai oleh tiap orang. Apa saja topiknya? Sama saja dengan topik hal yang disukai. Bedanya cuma konteksnya saja.
Tentu saja ada syarat supaya obrolan bisa berjalan lancar. Syaratnya adalah harus ada tik-tok alias saling menimpali, bukan model satu arah ala interogasi. Dan yang lebih penting adalah lawan bicara mau diajak ngobrol. Jangan melihat lawan bicara kita sedang asyik baca buku, terus kita tanya-tanya terus. Bisa-bisa kita dijitak sama lawan bicara kita hehehe ...
Pertanyaan penutup. Apakah dalam memulai percakapan harus urut seperti simbol yang ada? Jawabannya tidak. Kalau kita sudah terbiasa, kita bisa masuk dari pintu mana saja. Jadi yang penting adalah latihan-latihan-latihan. Ala bisa karena biasa bukan?
Itulah sedikit share dari aku bagaimana proses aku mengalami peralihan dari introvert ke ekstrovert. Bagaimana dengan sobat? Punya pengalaman lain untuk ditambahkan?