Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Sebuah Ruang Publik Bernama “Kompasiana”

7 Februari 2014   13:18 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:38 48 3

Sudah lama saya mendengar tentang “kompasiana”, tapi setiap kali membaca berita di Kompas.com tidak pernah terbersit sedikitpun hasrat untuk mampir berkunjung, tidak tahu mengapa. Tapi, ada satu peristiwa yang menggugah rasa ingin tahu saya ketika pengacara Presiden SBY melayangkan Somasi kepada seorang kader PPI terkait tulisannya di Kompasiana. Apa yang telah terjadi disana?

Selanjutnya, demi menjawab rasa penasaran saya coba meluangkan waktu untuk menjelajahi ruang publik ini. Kesan yang saya rasakan saat pertama menghirup udara disini adalah biasa-biasa saja; Kompasiana tak lebih dari sekedar sebuah ruang publik yang hiruk-pikuk oleh begitu banyak orang yang beraktivitas lewat tulisan, dan tak perlu waktu lama bagi saya untuk keluar dari sana.

Beberapa hari kemudian saya coba mampir lagi, kali ini dengan mengamati aktivitas orang-orang di ruangan, tulisan demi tulisan, tanpa mencoba bertegur sapa atau mencari orang-orang yang saya kenal disini.

Sebuah rasa ketertarikan mulai tumbuh saat menyadari bahwa Kompasiana adalah ruang bebas yang penuh dengan warna-warni. Saya mengamati aktivis-aktivis yang ber-orasi lewat pengeras suara meneriakkan sesuatu mengatasnamakan rakyat, lalu beranjak ke area “kompetisi” dimana barisan-barisan tulisan berderet memperebutkan hadiah berupa status TA dan HL dengan beberapa orang telah menjadi langganan pemenangnya, selanjutnya saya juga dengan antusias meluangkan waktu lebih lama di wilayah konflik tak bersenjata antara pecinta capres terpopuler dengan gerombolan para penentangnya.

Sangat menarik, bathin saya, sambil melangkah ke salah satu pojok dimana beberapa orang sedang bercengkerama dan tidak bersedia menerima kehadiran orang lain yang mengkritisi salah satu diantara mereka. Hmm.., sah-sah saja bathin saya lagi, Kompasiana adalah ruang bebas dimana semua orang berhak untuk beraktivitas apapun, dengan siapapun, termasuk menyendiri di tengah keramaian.

Saya juga mengamati beberapa orang yang seperti saya, sendirian, mencoba mengatakan sesuatu, bahkan ada yang sambil berteriak, tapi tak banyak orang yang menggubris mereka. Beberapa di antara orang-orang ini diam-diam menyelinap lalu menghilang sementara beberapa orang lagi terus berusaha mencari perhatian.

Hal lainnya yang selalu ada di tengah keramaian tentu saja para pebisnis. Tetap saja iklan-iklan berserakan dimana-mana, di lantai, di dinding, langit-langit, bahkan ada yang terpasang di baju beberapa orang.

Terlepas dari itu semua, tentu ada satu yang mencuri perhatian. Tidak seperti ruang lain yang pernah juga saya singgahi sebelumnya, ruang publik Kompasiana terlihat lebih bersih. Tidak banyak sampah-sampah tulisan yang berserakan. Tentunya saya sangat mengapresiasi sebuah karya yang telah menjadi tulisan terbaik di Kompasiana tentang etika berkomunikasi di media sosial dan media online. Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah hak semua orang, tapi tentu harus ada batasan-batasan etis terkait pemanfaatan ruang bersama untuk menyatakan sesuatu.

Saya lalu memutuskan untuk beraktifitas dan mulai menulis. Setelah selesai, hasil tulisan tersebut saya tempel di dinding kemudian bergegas pergi karena teringat artikel yang ditulis Kangndo, 2 hari yang lalu, tentang efek buruk kompasianer. Saya sedikit merinding dengan potensi penyakit komplikasi yang bisa ditimbulkan seperti masuk angin karena telat makan & kurang tidur, sakit perut kebanyakan tertawa sendiri kaya orang gila, sakit kepala, stress karena takut diomelin istri, dll.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun