Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Antara Iwan J. Piliang dan Ibu Risma Setelah Acara Mata Najwa

20 Februari 2014   10:41 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:25 264 6

Sehabis membaca artikel bung Iwan J. Piliang di Kompasiana tentang ‘perampokan’ yang terjadi di PT. Timah Tbk serta carut-marutnya Kuasa Pertambangan Timah di Bangka Belitung, saya ingin mengatakan lewat tulisan ini bahwa Bang Iwan telah berusaha menjalankan peran sebagai trigger bagi terus memanasnya isu-isu pemberantasan korupsi lewat penggambaran satu contoh kasus tentang betapa luar biasanya praktek-praktek korupsi di sektor pertambangan.

Artikel berjudul “Sketsa: Garong Tambun Timah “Legal”?” adalah contoh konkrit tentang sebuah berita usang di Republika Online (3/10/2013) bahwa KPK mensinyalir terdapat sekitar Rp 5.000 triliun pendapatan negara dari pajak dan royalti pertambangan menguap karena adanya kebocoran sistem pendapatan atau pemasukan. Sinyalemen seperti ini bukan hanya dirilis KPK disektor pertambangan, tapi juga di sektor migas dengan potensi kerugian Negara yang juga sama mencapai ribuan trilyun.

Jujur saja, bang Iwan lewat banyak artikelnya yang bergaya investigative sudah menunjukkan kapasitas sebagai seorang ‘opinion maker’.  Tapi, belakangan saya melihat ide dan pemikirannya mulai kesepian, seperti juga banyak pikiran-pikiran kompasianer lain, ibarat gayung tapi kurang bersambut.

Saya menganggap artikel Bang Iwan layak menjadi sebuah isu besar, bahkan seharusnya topik ini bisa mensejajarkan diri dengan topik “Ibu Risma setelah acara Mata Najwa” yang secara habis-habisan di paparkan oleh para kompasianer dari segala penjuru mata angin, sehingga tiba-tiba saja Ibu dengan tetes-tetes air matanya itu berubah menjadi ‘public darling’ dan seminggu berturut-turut ruang HL dan TA hanya didominasi ulasan tentangnya saja.

Saya tidak bermaksud ’mengecilkan’ Bu Risma di tulisan ini. Sama seperti yang lain, saya juga bersimpati terhadap nasib Bu Risma yang berada dalam tekanan luar biasa hingga sampai terlontar keinginan untuk mengundurkan diri. Bu Risma, sekali lagi, adalah sebuah potret dari sistem politik negeri ini yang begitu kejam dengan menjadikannya sebagai korban.

Permasalahannya adalah sensitifitas untuk menghayati angka-angka yang menjadi potensi kerugian Negara. Kurang se-strategis apa potensi perampokan Negara senilai ribuan trilyun? Bahkan jika dikaitkan dengan cita-cita luhur pendiri republik ini untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat, bukankan angka-angka tersebut layak membuat mereka juga mengucurkan air mata?

Bukankah dengan memberantas korupsi di satu sektor pertambangan saja akan mampu mengakhiri perdebatan panjang dan ‘berdarah’ setiap kali pemerintah ingin menaikkan harga bbm? Bukankah ini artinya kita bisa juga dengan arogan mengabaikan tetangga ‘tengil’ Singapore bahkan Amerika Serikat sekalipun dengan menutupi hutang dan ketergantungan kita ke mereka? Bukankan ide tentang peningkatan kesejahteraan rakyat dengan mensubsidi semua masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dan menggaji seluruh pengangguran di negeri ini dengan mudah direalisasikan?

Ada yang unik (saya menggunakan kata unik untuk mengganti sebutan anomaly) terhadap peran Kompasiana selaku media yang mengusung jurnalisme warga dalam membangun respon para kompasianer secara khusus dan bahkan untuk membangun opini publik secara umum. Kata unik disini saya gunakan dalam konotasi yang menyedihkan dan membuat hati menjadi miris.

Saya tentu percaya kredibilitas staff redaksi atau admin kompasiana yang pastinya memiliki kriteria-kriteria yang ketat untuk mengklasifikasikan atau menilai suatu artikel sebagai HL atau TA. Namun tetap saja seorang admin adalah manusia biasa yang tak luput dari subjektifitas.

Banyak artikel yang menurut saya, dan juga berdasarkan comment beberapa orang diartikel tersebut, layak untuk diangkat menjadi issu penting dengan menjadikannya HL ataupun TA, tapi kenyataannya sepeti tertatih-tatih bahkan luput dari pantauan admin atau bisa juga tidak masuk klasifikasi admin untuk kategori Headline dan TA.

Bukankah menjadi peran Kompasiana sebagai sebuah media yang menjadi jembatan bagi pemikiran-pemikiran para kompasianer untuk dikonsumsi seluas-luasnya hingga menjadi opini public agar bisa menjalankan fungsi kontrol atau bahkan menekan pemegang tampuk kekuasaan hingga mau menunjukkan ‘political will’ menuju perbaikan Indonesia menjadi lebih baik?

Bukankah sisi positif dari fenomena somasi kepada Sri Mulyono adalah salah satu cerita sukses Kompasiana? Bahkan jika somasi tersebut juga diikuti dengan somasi-somasi lain kepada Iwan J. Piliang, Faisal Basri, bahkan Ellen Maringka, hal ini akan menjadi bukti empiris tentang dahsyatnya Kompasiana dalam memainkan opini hingga menjadi referensi utama masyarakat di negeri ini?

Saya khawatir jika terjebak pada arus deras ‘budaya pop’ maka kedepannya Kompasiana hanyalah menghasilkan ruang penjara imajinatif bagi pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif karena tidak lagi dijadikan referensi oleh publik. Semoga juga kekhawatiran ini hanya halusinasi picisan akibat insomnia yang tidak beralasan sama sekali.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun