Sebagaimana disampaikan Ilham Habibie yang dikutip dari Kompas.com (19/5/2014), pengembangan design pesawat R-80 sudah dilakukan sejak tahun 2013 dan ditargetkan rampung seluruhnya akhir tahun ini. Fase selanjutnya setelah tahap design adalah pembuatan prototype pasawat lalu dilanjutkan dengan fase pengujian. Proses pengembangan R-80 sendiri terdiri dari 3 fase pengembangan yang keseluruhannya akan memakan waktu 6-7 tahun dan diharapkan maksimal tahun 2019 baru siap beroperasi.
Pesawat baru Habibie ini tentu tidak bisa dilepaskan dari cerita lama tentang pengembangan industri pesawat terbang nasional (Dulu IPTN - sekarang PT. Dirgantara Indonesia) yang berada dibawah komando Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Adapun R-80 adalah pengembangan dari N-250 yang telah dikembangkan Habibie sebelumnya di IPTN.
Proyek-proyek di IPTN dan BPIS ini telah dihentikan pemerintah atas rekomendasi IMF saat krisis moneter 1997-1998 lalu. Dari sekian banyak BUMN yang sakit saat itu, hanya IPTN dan BPIS yang dibubarkan pemerintah karena dianggap sebagai proyek mercu suar yang sangat merugikan keuangan negara.
Peristiwi itulah yang menjadi titik balik bagi Habibie untuk menghidupkan kembali industri penerbangan nasional dan membangun industri strategis yang telah menjadi cita-cita pendiri bangsa ini, seperti diucapkan Habibie yang saya kutip dari kompas.com, "Saya sampai bilang ke Ibu Ainun 'Is that the price I have to pay to get my freedom?’ Kita akan kembali dan bangkit melaksanakan perjuangan yang sementara terhenti'," begitu kenangnya, hingga kemudian berhasil memulai pilot project pengembangan pesawat turbo prop R-80.
Terkait hal ini, ada satu pertanyaan yang muncul di benak saya: Siapa yang mendanai proyek berbiaya sangat mahal ini?
Penelusuran yang saya lakukan mendapati bahwa Ilham Habibie hanya berkongsi dengan PT Eagle Capital milik Erry Firmansyah yang memiliki 49 % saham. Saya tidak menemukan jejak-jejak bahwa pemerintah Indonesia ikut serta membiayainya.
Jika benar seperti itu dimana pihak swasta murni yang membiayai keseluruhan proyek Habibie tersebut, maka yang hadir kemudian adalah semacam ironi bagi saya.
Pemerintah seharusnya melihat industri pesawat terbang nasional sebagai trigger bagi tumbuh-kembangnya industri-industri manufaktur, sarana untuk alih fungsi teknologi, sekaligus untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Alasan-alasan inilah yang membuat pemerintah seharusnya mau memberikan “insentif”, namun pada kenyataannya justru menjadi pihak yang menghentikan proyek ini dulu.
Sementara disisi lain, pihak swasta yang notabene profit oriented malah tertarik untuk membiayai proposal Habibie karena mempertimbangkan profitabilitas yang bisa dihadirkannya di masa depan.
Namun, ironi ini justru menimbulkan berkah dan keuntungan tersendiri bagi keluarga Habibie berupa kemandirian dalam pengelolaan bisnisnya. Habibie akan bisa fokus pada detail tahap-tahapan proyek R-80 tanpa perlu dipusingkan dengan birokrasi pemerintah dan tidak perlu berbenturan dengan kepentingan politik apapun.
Keterlibatan pihak swasta murni juga mengindari perdebatan yang melelahkan baik secara akademis maupun politis yang akan timbul terkait anggaran; apakah proyek ini layak dibiayai? Apakah ini tergolong proyek mercu suar atau tidak? Tidak akan ada pertanyaan tersebut karena tidak ada dana pemerintah untuk membiayainya.
Disamping itu, kemandirian PT. REI dalam mengembangkan pesawat R-80 juga menjawab permasalahan klasik negara ini berupa jurang yang lebar antara antara dunia riset/penelitian dengan sektor industri yang akan mengimplementasikannya.
Habibie seolah-oleh telah menunjukkan pada kita semua bahwa jembatan antara riset dengan sektor industri bisa diciptakan, berapapun nilai investasinya, sekaligus mengakhiri anggapan bahwa hasil riset dan penelitian itu kebanyakan hanya akan berakhir untuk mengisi lemari arsip saja.
***
Buah dari perjuangan tanpa henti seorang Habibie ini tentunya telah berakhir dengan manis dan sangat elegan. Pesawat R-80 ini tidak hanya merupakan perwujudan dari idealisme Habibie yang tak kenal lelah untuk menghidupkan kembali industri pesawat terbang nasional, namun lebih jauh akan mampu memberikan keuntungan sosial-ekonomis bagi Bangsa Indonesia sebagaimana yang dipaparkan diatas, selain menumbuhkan harapan baru akan munculnya industri pesawat terbang buatan anak bangsa yang akan membuat kita bangga.
Habibie, dalam perjalanan panjangnya sejak pembubaran BPIS, telah berhasil menginspirasi banyak pihak untuk tidak mudah menyerah, seperti tertuang pada judul buku yang diluncurkannya tentang R-80 : "Tak Boleh Lelah dan Kalah".
Maju terus Pak Habibie, semoga panjang umur ...
Sumber:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/05/19/0804199/Ini.Perkembangan.Pesawat.R-80.Karya.Habibie.
http://www.pikiran-rakyat.com/node/199172