Pemerintah Singapura menolak seorang penceramah agama dari Indonesia masuk ke negaranya karena dianggap menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi yang ditolak oleh masyarakat Singapura yang multi-ras dan multi-agama.  Ini tidak terlepas dari realita bahwa  di era perkembangan teknologi informasi dan media yang sangat pesat, pandangan para pemuka agama dengan mudah dinilai dari sikap, ucapan, dan perilaku yang ditunjukkan di ruang-ruang publik.  Aktivitas siar agama yang beliau lakukan di Indonesia, dan tersebar di berbagai media sosial mendapatkan perhatian dari pemerintah negara tetangga yang merasa persatuan, kedamaian, dan keharmonisan antar umat beragama yang mereka telah berhasil mereka bangun akan terancam dengan kehadiran beliau di negaranya.  Kenyataannya akan berbeda andai penceramah tersebut dinilai oleh pemerintah Singapura sebagai seorang pemuka agama yang menyuarakan kedamaian, persatuan, dan keharmonisan dalam ceramah-ceramahnya. Pemerintah Singapura sepertinya sadar bahwa pemuka agama pemimpin dan panutan umat. Suara mereka didengar, petunjuk mereka diikuti, dan nasihat mereka dituruti. Bahkan tidak jarang ada yang sampai menjadikan mereka sebagai idola yang tidak pernah salah. Oleh sebab itu, kekuatan pengaruh para pemuka agama harus digunakan dengan sebaik-baiknya karena sangat bermanfaat untuk menjaga dan merawat Indonesia, khususnya melalui pemahaman dan praktik moderasi beragama sebagai sebuah proses dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang.  Dalam konteks agama Buddha, menghormati agama lain, memperdalam pengetahuan agama Buddha, dan menyampaikan khotbah Dharma yang damai adalah praktik-praktik moderasi beragama yang harus dilakukan oleh para pemuka agama Buddha.
KEMBALI KE ARTIKEL