Pernahkah Anda mengalami situasi memalukan ini: tidak mampu menjawab soal fisika karena lupa rumusnya? Saya yakin setiap orang pernah, bahkan tidak satu dua kali saja. Saya tidak sedang membicarakan rumus fisika yang rumit atau canggih, tapi kadang rumus fisika SMP sekalipun.
Untuk mensiasatinya orang lalu membuat buku kumpulan rumus fisika atau bahkan sebuah lembar kertas besar lengkap dengan semua rumus fisika dasar berukuran kecil. Ada kesan kalau mau nilai tinggi harus hapal sebanyak mungkin rumus agar bisa memasukkan angka angka dalam soal fisika dengan benar. Tapi ada ratusan rumus fisika dasar lalu bagaimana cara menghafalnya? Pastilah guru fisika itu superman karena bisa mengingat begitu banyak rumus.
Anggapan ini begitu mengakar, orang berlomba untuk mengerjakan soal soal fisika dengan bertitik tolak pada rumus kemudian memasukkan angka angka dan mengecek jawaban mana yang sesuai. Fisika dengan demikian tereduksi menjadi perlombaan menghafal rumus, padahal kalau boleh jujur semua itu hampir tidak ada gunanya.
Ketika Anda kecil, saya yakin Anda pernah bertanya pada orang tua Anda, menunjuk nunjuk dengan jari untuk menanyakan nama dari sebuah benda. Kemudian saat Anda mulai bertambah besar, Anda mulai bertanya lebih jauh, mengapa ini dan mengapa itu. Menurut saya, tujuan dari pendidikan bukan untuk membuat Anda menjadi seorang penghafal tetapi membantu mengasah rasa ingin tahu Anda yang sudah ada sejak kecil.
Alasannya sederhana, pendidikan haruslah memanusiakan manusia. Artinya, mencetak manusia yang madani, secara intelektual dan humanis. Sains dan teknologi berkembang karena riset, dan riset itu didorong bukan oleh nilai ujian tapi oleh beragam motivasi seperti uang dan ketenaran. Namun, telah terbukti bahwa faktor pertama yang menggerakan ini adalah kecintaan pada keingintahuan, atau rasa ingin tahu yang besar.
Prestasi akademik adalah permukaan dan barometer, tetapi intinya terletak pada bagaimana pendidikan mewujudkan manusia yang mampu menghasilkan prestasi tadi karena didorong oleh intelektualitas dan humanisme, dan ini tidak didapat dengan menghafal rumus. Pesan ini seringkali tidak sampai pada mutiara mutiara bangsa di masa depan yang menjadi tumpuan harapan riset di Indonesia sehingga kita kehilangan banyak fisikawan handal. Perumus kurikulum harus menyadari bahwa hapalan saja tidak akan mencetak ilmuwan yang mampu melakukan terobosan (breakthrough) atau penemuan (discovery).
Pendidikan fisika sejak dini harus difokuskan pada perangsangan rasa ingin tahu (curiousity) dan kreativitas bukan pada formulasi. Lebih baik seorang anak tahu konsep dasar fisika ketimbang sekedar memasukkan angka angka. Pertanyaan harus lebih banyak mengarah pada "mengapa" ketimbang "berapa". Mengapa langit berwarna biru? Mengapa kita merasakan sensasi ketika berada diatas komedi putar? Mengapa sinyal HP bisa hilang saat kita berada dalam gedung?
Jika intelektualitas dan humanisme seseorang tinggi maka secara otomatis ia akan mencari jalannya sendiri, datang ke perpustakaan tanpa dipaksa, belajar tanda disuruh, membaca tanpa beban. Ketika rasa ingin tahunya sudah terbentuk, soal soal fisika dapat diselesaikan dengan bantuan penalaran bukan hapalan. Orang yang memahami fisika tahu bahwa hampir setiap rumus fisika bisa diturunkan dari prinsip prinsip utama.
Meskipun saya pernah menulis buku ringan mengenai mekanika kuantum untuk pemula, jangan heran jika saya gugup ketika Anda meminta saya menuliskan sebuah formulasi kuantum karena mungkin sekali saya lupa! Begitu juga ketika Anda menanyakan rumus optika nonlinier yang menjadi bidang riset saya jangan aneh jika sayapun tidak hapal semua rumus di buku optik. Tapi jika Anda bertanya dari mana rumus itu datang atau bagaimana gambaran fisika yang melatarbelakangi rumus itu jangan kaget jika uraiannya bisa menghabiskan berlembar lembar kertas lengkap dengan corat coret permodelan fisika yang lahir dari imajinasi seorang fisikawan.
Janganlah kita membebani calon calon ilmuwan kita dengan hapalan dan rumus rumus yang mengintimidasi tapi bantulah mereka untuk membuat terobosan terobosan. Biarkan mereka berimajinasi dan berekspresi dengan membawa peralatan sehari hari untuk melakukan eksperimen sederhana. Ujilah dengan mengapa dan pancinglah mereka agar banyak bertanya karena kecintaan pada ilmu. Jangan menjustifikasi mereka ketika nilai fisika mereka rendah karena mungkin mereka tidak memiliki seorang guru yang memotivasi dan menggugah rasa ingin tahu mereka.
Fisikawan pun....tidak hafal rumus fisika.