Sudah sekitar tiga bulan ini, pekerja migran di luar negeri khususnya di timur tengah wa bil khusus lagi di Qatar terkena gonjang-ganjing demam kartu sakti besutan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Biarpun nggak seheboh berita kicauan dan penangkapan Nazaruddin, kartu yang bertajuk KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri) ini cukup membuat para pekerja migran khususnya pekerja profesional di Qatar gelisah dan ujung-ujungnya meradang. Berbagai milis yang saya ikuti hampir setiap hari dipenuhi oleh umpatan, makian, namun ada juga yang mendukung kartu berwarna dasar merah putih ini. Tak heran, jika satu thread tentang kartu KTKLN bisa mendapat respon hingga puluhan bahkan ratusan posting. Anehnya, tak satupun tanggapan resmi berasal dari otoritas terkait mengenai hal ini. Ironis memang, tapi ya begitulah normalnya Indonesia. Pandangan pertama saya pada kartu ini terjadi pertengahan Juli lalu, ketika saya yang bekerja sebagai IT profesional di Qatar sengaja membuat kartu KTKLN ini di kantor BNP2TKI di Jalan Soekarno Hatta Bandung. Kebetulan waktu itu saya sedang mengambil cuti tahunan di Indonesia. Berikut ini sedikit cuplikan kejadian dan percakapan antara saya dan beberapa petugas di kantor badan yang diketuai oleh Jumhur Hidayat, mantan aktivitis mahasiswa di Bandung. Secara sengaja saya datang pagi-pagi sekitar jam sembilan hari Senin dengan harapan menghindari antrian panjang. Datang bersama supir, sampai lokasi seorang petugas keamanan kantor itu menunjukkan loket pembuatan kartu KTKLN. Terlihat hanya beberapa orang saja yang sedang mengisi semacam form di depan sebuah ruangan kecil. Saya kemudian masuk ke ruangan tersebut dan terjadilah percakapan berikut: Hendra, "Selamat pagi. Saya mau membuat kartu KTKLN". Petugas, "Selamat pagi. Oh silakan Pak...Bapak sedang cuti?". Hendra, "Betul". Petugas, "Surat cutinya ada ?!" Dalam hati saya, sudah lebih dari lima tahun saya bekerja di timur tengah baru kali ini dengar ada yang namanya surat cuti. Ingin mencoba sedikit menggertak tapi saya tahan lebih dulu. Hendra, "Wah..saya tidak ada surat cuti dan memang setiap cuti juga tidak pernah saya dapat surat seperti itu". Petugas, "Kalau gitu kartunya nggak bisa dibikin, Pak. Bapak harus bikin dulu surat cutinya". Prakk...kesabaran saya sudah mulai habis. Hendra, "Begini Mas (saya panggil mas karena memang orangnya kelihatan masih muda), saya mau buat kartu KTKLN dan informasi yang saya dapat syaratnya hanya fotokopi passport dan ID card di negara tempat saya bekerja. Saya nggak pernah diminta untuk memperlihatkan surat cuti". Jawab saya mulai sedikit ngotot. Petugas, "Maaf pak (suaranya juga mulai meninggi), kami disini hanya menjalankan tugas (jawaban yang klise). Kalau begitu bapak menemui saja Ibu Isye (kalau tidak salah ingat) di lantai dua. Beliau atasan kami". Dari tadi kek dalam hati saya yang kemudian bergegas naik ke lantai dua. Disana terlihat seorang siswa SMP ditemani seorang petugas lainnya sedang mengentri data di komputer. "Mau ketemu siapa Pak?", tanya salah seorang perempuan berseragam hijau kecoklatan yang kelihatan baru lulus kuliahan. "Mau ketemu Ibu Isye", jawab saya. "Oh Ibu Isye-nya sedang keluar, tunggu saja dulu". "Masih lama nggak?", tanya saya mulai agak sewot. "Ditunggu aja pak". Baru sekitar lima menit saya duduk, datanglah seorang ibu setengah baya juga dengan seragam coklat kehijauan (atau hijau kecoklatan). "Selamat pagi, Bu", sapa saya. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya beliau lumayan sopan. "Begini bu, saya kan mau buat kartu KTKLN di bawah tapi katanya saya harus buat surat cuti. Padahal informasi yang saya dapat cukup dengan fotokopi passport dan ID card (sambil saya keluarkan keduanya) sudah cukup buat bikin kartu itu. "Betul pak, memang dua itu saja sudah cukup. Bapak TKI mandiri kan?" katanya sambil juga bertanya. "Betul bu, saya memang TKI mandiri", jawab saya sekenanya. Padahal saya sama sekali tidak tahu definisi TKI mandiri dan tidak mandiri, yang penting kartunya cepat jadi begitu pikir saya dalam hati. "Oke, kalau begitu Bapak isi formulir dulu nanti datanya akan kami isikan ke dalam aplikasi," kata Ibu Isye sambil menyuruh anak buahnya memberikan formulir isian kepada saya. Saya sedikit kaget ketika melihat apa yang dinamakan formulir isian tak lain adalah printout dari aplikasi yang mereka pakai. Ini terlihat dari beberapa isian yang mengharuskan mengisi berdasarkan pre-defined data (maaf agak teknis sedikit). Ini jelas memperlihatkan sebuah ketidaksiapan dari Badan yang langsung bertanggungjawab kepada presiden. Okey lah..pikir saya dalam hati, yang penting kartunya cepat selesai dan saya tidak akan punya masalah saat melewati petugas imigrasi di bandara saat kembali ke Qatar. Saya pun mulai mengisi formulir tersebut. Nama, alamat, nomor passport. Saya cari alamat email yang biasanya ditanyakan tapi tidak ada dalam formulir tersebut. Saya pikir alamat email sudah menjadi hal yang lumrah bagi para pekerja migran profesional (mandiri?), tapi nyatanya malah tidak ditanyakan. Sudah hampir menyelesaikan halaman pertama, tiba-tiba dahi saya sedikit berkerut sambil sedikit menahan ketawa. Ternyata disitu ada satu pertanyaan "Nama majikan". Saya harus isi apa yah? Nama atasan saya langsung di kantor? Atau nama CEO tempat saya bekerja? Akhirnya pertanyaan itu saya kosongkan saja. Beberapa pertanyaan yang saya rasa tidak relevan juga saya tidak isi. Setelah isi formulir, kemudian saya serahkan ke petugas yang sama di lantai bawah. Begitu diserahkan, mereka meminta fotokopi passport dan Qatar ID card saya. "Oh, perlu fotokopinya ya?", tanya saya, "Ini, silakan difotokopi". "Wah, kami nggak ada mesin fotokopi, Pak. Bapak bisa fotokopi diluar". Ini dia...kantor boleh keren, aplikasi katanya online, kartunya katanya pake magnetic card tapi kok mesin fotokopi nggak punya. Jadi teringat keponakan saya yang ABG, "cape deeh"...ya sudah akhirnya saya dan supir terpaksa cari fotokopian disekitar situ. Masih untung memang ada beberapa yang sudah buka. Kembali ke loket pembuatan kartu, hanya hitungan menit saya kemudian difoto dan kartu kontroversial itupun sudah jadi. Gratis tanpa bayar seperakpun. Minggu pertama Agustus, saya pun kembali ke Qatar karena masa cuti sudah habis. Setelah check-in beres, dengan rasa percaya diri yang hampir luber saya melenggang boarding melewati petugas imigrasi. Sambil melihat passport saya, Si Petugas tanya, "Baru selesai cuti ya Pak?" "Iya", jawab saya pendek sambil dompet sudah siap mengeluarkan kartu sakti KTKLN. Tok-tok-tok...passport saya dicap, "Silakan Pak," kata si petugas pendek. Tangan saya mendadak turun lagi. Jangankan disuruh kasih lihat kartunya, ditanya saja nggak. Jadi ingat lagi keponakan saya yang ABG, "cape deeh..".
KEMBALI KE ARTIKEL