Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Khusus Indonesia, Selain Hari Buruh, Sepertinya Juga Perlu Ada 'Hari Pengusaha'

2 Mei 2014   04:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:57 57 0
--------------------------------------------------------------------------------

Hari buruh bagi banyak negara lain adalah momen yang baik untuk menyampaikan keluhan. Mereka adalah buruh yang bekerja keras setiap hari mengejar produksi dan omset.

Profesionalisme dan kapabilitas mereka; yang mereka dapat dari pelatihan dan pendidikan yang memerlukan waktu, tenaga, dan biaya untuk mendapatkan sertifikasinya, diperjuangkan agar selaras dan setimpal dengan upah mereka yang didapatkan dari perusahaan.

Perusahaan juga seringkali terlalu fokus dengan profit tanpa membaginya dengan kepedulian terhadap karyawan.

Padahal para pengusaha mendapatkan bantuan, fasilitas dan kemudahan regulasi dari pemerintah; karena pemerintah ingin mereka dapat menyelenggarakan bisnis dengan khusyu dan konsentrasi, supaya negara dapat terbantu dengan produksi barang dan jasa mereka sehingga putaran ekonomi negaranya terbantu.

Pemerintah meringankan pajak, memudahkan syarat administrasi dan birokrasi, menekan bunga pinjaman usaha, membukakan akses dan mengupayakan berbagai biro jodoh bisnis agar para pengusaha bisa bertansaksi bisnis dengan pihak yang seluas mungkin.

Dengan berjalan lancarnya usaha yang dilakukan para pengusaha ini, pemerintah mendapatkan manfaat, dan membantu meringankan beban pemerintah untuk meningkatkan daya saing ekonomi melalui berbagai kelimpahan produksi dan jasa dengan tingkat harga yang sehat.

---

Pengusaha di Indonesia lain.

(Sebelumnya saya defisinikan dulu, bahwa yang dimaksud dengan pengusaha Indonesia di sini adalah para pengusaha yang berdikari, bukan bisnis yang mendapatkan beking otoritas/pejabat negara, atau bisnis kepanjangan tangan para pejabat, atau bisnis kamuflase yang sebetulnya profitnya lari ke dompet para pejabat)

Pengusaha di Indonesia, pada realitanya, dipersulit oleh birokrasi dan aturan; untuk melewati berbagai rintangan berlapis dan berstruktur seret ini, pengusaha harus mengeluarkan biaya untuk melicinkan. Lapisan yang musti dilicinkan banyak, kadang juga panjang, dan adakalanya biayanya habis dijalan sebelum bisnisnya tiba di tujuan. Jumlah biayanya sulit diduga. Kalkulasinya ada di perut mereka, jadi harga yang harus dibayar adalah harga seenak perut mereka. Meski mereka sedang bertugas untuk negara, biaya yang masuk kebanyakan tidak masuk ke negara.

Yang lebih kreatif adalah oknum mereka. Kadang mereka secara proaktif datang ke perusahaan untuk "survei kelayakan". Jika ditemukan sesuatu yang tidak layak, mereka biasanya memberikan nomor telepon, yang harus dihubungi oleh pengusaha jika mereka ingin "membereskan" urusan.

Belum lagi ada berbagai varian dan spesies preman; ada preman bertato, berdasi, berseragam, kadang ada juga yang berjubah. Mereka juga meminta bagian, japrem namanya; jatah preman.

--

Dan pengusaha masih beruntung bila tak bertakdir bertemu dengan LSM tertentu (tidak semuanya). Katanya sih singkatannya Lembaga Swadaya Masyarakat, namun bisnisnya adalah mencari cari celah kesalahan atau pelanggaran pihak lain; atau lembaga pencari kesalahan.

Dulu pekerjaan ini dilakukan oleh oknum wartawan, tapi sekarang wartawan kalah populer oleh mereka. Padahal menilai dan memproses pelanggaran adalah pekerjaan para penegak hukum, tapi entah mengapa daya imanjinasi mereka begitu tinggi sehingga sampai terpikirkan untuk menjadikan aktifitas ini sebagai mata pencaharian.

Belum lagi ada berbagai pihak yang merasa sudah otomatis harus mendapatkan bagian, seperti pihak-pihak yang ada di sekitar lingkungan tetangga dari perusahaan itu. Itu belum apa-apa, pas hari tertentu, misal hari raya, dari mulai tukang ojeg, tukang mie tek-tek, tukang cendol, semuanya minta THR.

---

Sakit kepala para pengusaha tak berhenti di situ. Para karyawan yang kadang datang ke tempat kerja telat, lalu kemudian main HP atau sambil telepon sana sini cari bisnis sampingan; siangnya lalu keluar dengan alasan cari makan siang, lalu datang agak sorean kemudian main facebook. Kemudian pulang lebih awal dengan berbagai alasan, juga tiba-tiba mendadak jadi pegawai yang semangat, penuh kreatifitas ketika berbicara tentang hak libur, asuransi, tunjangan, bonus, kenaikan uang jalan, uang berobat, cuti bulanan, tahunan dsb.

Dekat hari raya, pengusaha tambah sakit kepalanya; jika orang lain pada gembira karena akan mendapatkan berbagai insentif dan bonus dari pekerjaannya; pengusaha sebaliknya. Mereka menghitung-hitung berapa banyak biaya yang tiba-tiba harus "bocor besar" saat itu. Dan tiba-tiba mendadak muncul berbagai pihak yang merasa sudah otomatis harus mendapatkan THR; mulai dari hansip, tukang sampah, tukang parkir partikelir, tukang ojeg, tukang mie tek-tek, tukang cendol, semuanya minta THR.

--
Seluruh biaya-biaya ini membuat produksi barang dan jasa mau tak mau menjadi tinggi dan sulit bersaing. Sehingga negara kita menjadi negara yang berdaya saing rendah dibanding negara lain.

Negara kita saat ini bukan butuh banyak buruh. Negara kita terlalu terbiasa untuk menjadi buruh dan pencari upah. Bangsa kita lebih banyak membutuhkan para entepreneur, para pengusaha,para penyedia lapangan pekerjaan; masyarakat yang tangannya berposisi di atas; bukan tangan tangan yang menegadah dari bawah.

---

Dan karyawan yang punya keluhan, hari ini adalah momen yang baik untuk menyampaikannya, bersama-sama secara massal dengan yang lain, supaya lebih sounding dan lebih efektif.Atau jika ada pihak yang lain yang mau "titip pesan" juga bisa sekalian, jadi lumayan, turut mengurang-ngurangin biaya.

Tapi kalau para pengusaha punya keluhan, mau mendemo siapa?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun