Profesor Ikrar Nusa Bakti tampaknya tidak nyaman ketika semua jabatan pimpinan DPR RI diborong oleh Koalisi Merah Putih, ia menilainya sebagai sebuah kerakusan. Ketika jabatan pimpinan MPR sekali lagi dikonteskan antara paket pimpinan MPR yang diajukan KMP (Koalisi Prabowo-Hatta) versus KIH (Koalisi JKW-JK), sekali lagi KIH kalah dalam pemungutan suara, sekalipun kali ini Fraksi PPP -yang semula berpihak kepada KMP- dan Dewan Perwakilan Daerah berpihak ke kubu KIH, namun tentu sulit memegang 130an anggota DPD supaya satu suara mendukung paket yang diajukan KIH, satu suara mendukung Oesman Sapta Odang sebagai calon Ketua MPR versi kubu Koalisi JKW-JK.
Profesor Ikrar berkali-kali mengatakan bahwa pak Harto saja masih memberi tempat kepada PPP dan PDI dalam komposisi kepemimpinan DPR-MPR pada zaman Orde Baru, bahkan satu dua kursi menteri untuk dua partai 'penyeimbang' Golkar pada zamannya itu.
Menurut pendapat saya apa yang dinyatakan oleh Profesor Ikrar Nusa Bakti tidak tepat, seperti membandingkan jeruk dengan apel. Berikut ini beberapa alasan ketidaktepatan pendapat Prof. Ikrar.
Dari sisi Pemerintahan Orde Baru:
- Pada zaman Orde Baru, pak Harto secara de facto 'penguasa tunggal'. Betul ia pernah memberi satu dua kursi menteri untuk tokoh PDI dan PPP, misalnya untuk jabatan Menteri Sosial, Menteri Agama, tapi tak pernah memberikan pos kementerian bidang ekonomi kepada PPP dan PDI. Menteri-menteri ekonominya bila bukan orang Golkar biasanya teknokrat dari universitas ternama.
- Pembagian jabatan yang lebih kokoh diberikan di DPR dan MPR, Kursi Ketua DPR pernah dijabat tokoh PPP dan kedua partai PPP dan PDIP selalu mendapat kursi Wakil Ketua DPR. Demikian pula di MPR kedua partai ini selalu mendapat tempat di posisi pimpinan.
- Apakah pemberian jabatan itu menunjukkan 'ketidakrakusan' Orde Baru? Tentu saja bukan, karena lembaga DPR-MPR pada zaman Orde Baru itu dinilai hanya pemberi stempel atas kebijakan Pemerintah saat itu. Jauh berbeda peran DPR dan sikap para politisinya saat itu dibanding DPR-MPR zaman sekarang. Perhatikan berapa kali RUU dan Perppu yang diajukan Pemerintah digagalkan DPR zaman sekarang, sedangkan pada zaman Orde Baru suatu hal yang mustahil.