Jikalau temanmu tergolong pintar, juara kelas atau tidak namun berpengetahuan lebih dibandingkanmu, kau akan lihat bagaimana dia berusaha untuk menghindari percakapan "kerja sama ujian", lebih-lebih kalau dia egois dan berpegang teguh atas keyakinannya. Sebaliknya, jikalau temanmu termasuk dalam golongan "kurang", kau akan dengar bagaimana dia gigih mengajakmu kerja sama tetapi dalam konteks yang berbeda; menyontek, misalnya.
Lalu kau hanya perlu memilih; respons seperti apa yang akan menguntungkanmu. Guru-guru menekankan bahwa nilai ujian menjadi penentu kenaikan kelas, sedangkan dirimu yang tak begitu pintar dan tak begitu bodoh, terjebak dalam dua pilihan yang jika diibaratkan serupa tenggelam dalam danau yang tenang atau terseret-seret oleh deras arus sungai. Menyontek berdosa; mendapat nilai rendah berisiko.
Namun kau realistis dan tak muluk-muluk, keuntungan bukan segalanya, nilai ujianmu semester ini bukan penentu masa depanmu kelak. Daripada memikirkan bagaimana mendapat nilai ujian yang tinggi atau bagaimana cara menghindar dari teman yang mengajakmu untuk menyontek, kau malah menyesatkan diri dalam kejujuran yang merupakan ujung dari benang merah persoalan itu. Otakmu tak mau diajak berhenti untuk menggali apa yang tengah merajalelai siswa-siswi yang hendak ujian seperti satu sekolahmu.
Dan pada akhirnya, pilihanmu jatuh pada titik masalah.
.
"Ibu ingatkan sekali lagi, jangan ada yang menyontek. Daripada menjawab kertas dengan ilmu haram, lebih baik kamu tulis di kertas itu 'saya enggak tahu jawabannya, Bu, tanya sama soalnya aja, jangan sama saya, karena Ibu enggak bakal dapat jawabannya'. Saya lebih menghargai hasil otak kamu ketimbang hasil searching-an Google." Kalimat yang sama berulang-ulang diberitahukan oleh guru-guru ketika di ruang kelas, yang mana memuakkan jikalau masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri; sekaligus memotivasi jika direnungi.
Beda lagi, ketika salah satu temanmu dipanggil ke ruang guru. Katanya, dia dihakimi oleh guru yang sudah berulang kali menyuruh supaya tidak menyontek saat ujian lantaran nilainya terlalu buruk untuk dimasukkan ke rapor. Kau tidak suka ikut campur masalah yang tidak penting kecuali yang akan berpengaruh pada masa depanmu, tapi diam-diam kau menguras otak untuk menemukan kesalahan apa yang telah terjadi.
Dan pada satu kesempatan, kau berhasil menyimpulkannya. Sebuah argumen yang berasal dari kebimbangan, pengamatan, dan kekritisan.
"Mengerjakan ini saja kamu tidak tahu, padahal sudah ada buku, ada contoh soal dan cara penyelesaiannya, jadi selama satu semester ini kamu ngapain sewaktu Ibu mengajar?
Jangan sepele, lho, Nak, kimia ini peminatan kamu. Nilai di bawah KKM, otomatis tinggal kelas. Memangnya kamu mau jadi siswa abadi? Pelajar abadi sih tidak apa-apa, tapi siswa abadi? Jangan... jangan... rugi orangtuamu melahirkan kamu kalau pada akhirnya menjadi siswa abadi."
Terlalu banyak siswa-siswi bodoh di kelasmu yang jika dipahami lewat logika, mereka hidup hanya dengan ikut-ikutan saja. Tetapi beda persepsi jika dipahami ulang lewat pemahaman dan realitas yang ada, bahwasanya setidak-tidak adanya tujuan hidup atau setidak bergunanya mereka dilahirkan, mereka tetap punya keinginan dan kesempatan. Tinggal menunggu kapan keinginan itu tak perlu diwujudkan dan kapan kesempatan itu kadaluarsa.
Lantas, dengan tekat yang sudah runcing bagai anak panah yang siap dilesatkan untuk menusuk arah tujuannya, kau menggencarkan argumen kepada guru kimia yang sedang memulai sesi ceramahnya itu. "Bagaimana kalau kami bayar nilai ujian yang tinggi itu dengan kejujuran?"
Sekejap, guru kimiamu tampak kebingungan. "Ya bagus kalau kamu jujur. Tapi alangkah lebih bagus lagi kalau kamu dapat nilai tinggi hasil kejujuran dan kerja keras, bukan ilmu sontek!"
Kau keras kepala dalam persoalan seperti ini. Bukan tak mungkin jika teman-teman sekelasmu malah bersorak, mengatai betapa bebalnya kau mengajak guru kimia berdebat. Tetapi lebih mungkin lagi, teman-temanmu malah mendukung, dalam diam dan ketidakberanian berharap agar debat dadakan ini dimenangkan olehmu.
"Tapi, Bu, ada alasan untuk kita menyontek. Ironisnya, alasan itu karena ingin mendapat nilai tinggi. Padahal masa depan, kesuksesan, kebahagiaan, tidak diukur dari nilai tinggi atau pernah-tidaknya menyontek.
Kalaulah nilai ujian satu sekolah ini tinggi-tinggi semua, menurut Ibu, apa bisa dipastikan mereka semua pintar? Apa sudah tentu benar, ketika ditanyai satu per satu dan mereka menjawab bahwa nilai tinggi itu berasal dari otak dan kerja keras mereka? Seandainya Ibu tidak bisa membedakan yang mana kebohongan, dan murid tidak mau berlaku jujur, apa masih berlakukah nilai ujian?"
Kau pandang lurus ke mata guru kimiamu. Yang paling mungkin kautemukan adalah: dia termakan oleh argumenmu. Dan semuanya lewat begitu saja, kau tahu konsekuensinya, tetapi asalkan argumenmu sudah melesat dan gurumu kena tusuk, santai saja ketika dihakimi di ruang BK.
.
Jadi, ide cerpen ini muncul tepat ketika saya akan menghadapi ujian semester setelah di minggu sebelumnya harus disuruh mengerjakan seabrek tugas sampai tangan pegal-pegal. Saya upload juga sehari sebelum ujian dan menjadi entri pertama saya di Kompasiana sebagai kompasianer.
Saya harap dengan menciptakan cerpen ini, setelah membacanya, kamu juga tertusuk oleh argumen yang saya bagikan berdasarkan observasi saya, sekalipun kamu sudah bukan anak sekolah lagi.