140 juta melawan 40 juta. Itu adalah premis yang dibangun pada awal film
Moneyball, rilis September tahun ini. Angka tersebut menggambarkan ketimpangan ruang gaji di klub Major League Baseball (MLB) New York Yankees dan Oakland Athletics (A's) pada tahun 2002. Dengan jurang tersebut, maka dunia baseball disebut General Manager (GM) A's, Billy Beane, sebagai "unfair game". Betapa tidak, dengan slot gaji yang minim, A's harus selalu merelakan pemain bintang mereka pergi ke klub-klub besar. Dan setiap tahun, Billy sebagai GM harus membangun tim "from scratch". Billy Beane adalah "loser" sejati. Ia memiliki motivasi tinggi untuk mendongkel kemapanan. Dan bagi banyak Daud di dunia ini, posisi membidik ke atas - ke mata Goliath - adalah hal yang paling wajar. Billy adalah atlit gagal yang
desperately ingin menang. Sebagai pemain ia gagal. Dan sekarang sebagai GM klub semenjana ia wajib menemukan cara untuk mengatasi jurang perbedaan finansial A's dan
powerhouse MLB. Di sini ia menemukan sosok Peter Brand, seorang analis ekonomi lulusan Yale yang memiliki passion terhadap MLB. Metode Brand adalah menggunakan statistik luar untuk menganalisa nilai pemain. Anda yang penggemar sepakbola, bayangkan statistik pemain syang standar berupa menit main dan jumlah gol - yang sering menjadi acuan pemandu bakat konvensional. Nah, statistik luar lebih menghitung rataan peluang, daya jelajah, dan sebagainya. Di baseball, statistik yang paling sering menjadi acuan adalah persentase pukulan dan homerun. Tapi nilai itu juga menjadi patokan semua klub yang mengincar potensi pemain. Termasuk klub kaya terntunya. Akan susah bagi A's untuk melawan Yankees memperebutkan pemain (berdasar statistik standar) dengan diferensiasi finansial yang cukup besar. Oleh karena itu, Beane dan Brand membidik pemain berdasarkan
On Base Percentage (OBP), statistik yang jarang dilirik pemandu bakat lain. Dengan analisa Brand, serta latarnya sebagai mantan pemain dan
scout, Billy Beane kemudian mencari pemain-pemain unortodoks. Mantan bintang yang pernah cedera, pemain tua, pemain
underdogs yang
undervalued. Pada dasarnya ia mengumpulkan sesama "losers" yang termotivasi untuk membidik big runners. Aura "against all odds" memang kental di sini sebagai plot utama film Moneyball. Brad Pitt berperan dengan sangat meyakinkan sebagai Billy Beane (Pitt kemungkinan besar menjadi
fore-runner di ajang penghargaan melalui peran ini). Sementara di klubnya sendiri, ia juga berperang melawan konservatisme, antaranya dari barisan
scouts dan pelatih kepala yang diperankan oleh Phillip Seymour Hoffman. Moneyball diangkat dari buku Michael Lewis,
Moneyball: The Art of Winning Unfair Game. Aaron Sorkin dan Steven Zaillian mengangkat buku tersebut menjadi naskah untuk sutradara Bennett Miller dengan tidak menjadikannya sebagai film klasik olahraga. Zaillian awalnya membuat film ini menjadi semi-dokumenter untuk sutradara Steve Soderberg. Semua karakter di film ini (kecuali Peter Brand) memang merupakan karakter nyata. Dalam perkembangannya, studio menolak skrip dan ide Soderberg, sehingga masuklah Sorkin sebagai
co-writer untuk merevisi model skrip Zallian. Yang tersisa dari ide Soderberg barangkali masuknya
footage asli pertandingan baseball, dan gaya penuturan analisis yang tampak mengalir seperti wawancara. Kita akan melihat sebuah
silent process yang dibangun dalam film, seperti halnya "The Social Network" yang juga ditulis oleh Sorkin. Alur waktu tidak murni linier, dan kadang menyandingkan fragmen di
far-past (Billy sebagai pemain) dan
near-past (seperti gambaran kepastian Scott Hatterberg bergabung dan proses nego yang dibalik). Ini menjadikan film efektif dalam bertahan di aras utama mengenai sistem manajerial dari Billy Beane. Baseball mungkin bukan olahraga yang familiar bagi kita di Indonesia. Tapi jangan khawatir karena dimensi pembahasan dalam film ini menyentuh aspek yang lebih luas. Moneyball adalah film yang merangkul aspek lebih luas ketimbang film olahraga yang menonjolkan sisi heroisme dan
underdog. Kritikus Roger Ebert menyebut film ini justru memberi banyak ide-ide bisnis (sesuai dengan judulnya). Meski demikian, tetap ada formulasi alur "losing - turnaround - heroic climax" yang ditampilkan, sebagai
core dari film berbasis olahraga. Itu adalah elemen romantik dalam dunia olahraga, seperti yang kerap disampaikan Beane. "How can't we be romantic about baseball."
KEMBALI KE ARTIKEL